empat. Makan malam

Malam nanti Ananta akan makan malam di rumahku, hal ini sudah menjadi kebiasaan dari dua keluarga kami yang cukup dekat. Lebih tepatnya ibuku, dengan ayah ibunya. Ada pengecualian kecil untuk ibu tirinya yang entah bagaimana memperumit segalanya. Dia itu membenci kami dengan alasan aneh yang tidak bisa aku mengerti.

Kalau dipikir lagi, sebenarnya aku dan Ananta bernasib hampir sama. Kami sama-sama kehilangan, ayahku dan ibunya meninggal sejak kami kecil. Bedanya, aku masih punya ibu yang perhatian, sedangkan dia sama sekali tidak.

Ayahnya sering kabur dari rumah, anaknya sendiri pun tidak akan tahu keberadaannya karena mereka seperti sama sekali tidak berkomunikasi. Sedangkan si ibu tiri juga sangat membenci Ananta. Karena itu dia lebih sering berada di rumahku dibandingkan dengan rumahnya sendiri. Mungkin, dia hanya akan pulang untuk tidur. Selebihnya dia selalu berkeliaran.

Ibuku sudah sibuk di meja makan. Semua hampir selesai, jadi aku hanya berdiam di kamar. Menatap kesal pada lembar ujian yang bertanda merah di mana-mana. Hari ini aku baru mendapat hasil ujian yang harus dimintakan tanda tangan orang tua.

Aku tahu aku memang tidak jago matematika. Tapi aku tidak menyangka hasilnya akan seburuk ini.

“Halo Ananta, sudah datang??” sapa ibu ketika dia muncul di pintu rumah kami. Ibuku tersenyum lebar, seolah itu adalah anaknya sendiri. Yah, dia selalu bahagia begitu setiap melihat Ananta datang.

“Iya tante” jawabnya singkat dan sopan.

“Makanannya masih tante siapkan, bentar lagi selesai, tunggu dulu ya” ucap ibu, masih dengan celemek dan nasi hangat di tangannya. Semua sudah selesai di tata, tapi dia kembali ke dapur lagi untuk mengambil beberapa lauk.

“Alana ada di kamar, tolong panggilin sekalian ya” ucap ibu lagi memerintah dengan lembut. Dia melangkah menuju ke kamarku, meski aku tidak mendengar langkah kakinya karena masih terlalu fokus mengeluh. Mood ku sangat buruk hari ini gara-gara tinta merah itu.

Dia ini sudah terbiasa dengan rumahku jadi aku terbiasa melihatnya masuk ke kamar tanpa aba-aba.Tapi aku tidak menyangka dia akan langsung masuk ke kamar, berjalan lurus ke arahku untuk mengintip skor ujianku. Dia datang dari arah belakang dan aku tidak menyadari kedatangan nya.

“Huh, perfect zero” ucapnya mengagetkanku. Dia berdiri begitu dekat, membungkuk sedikit di sisi kiriku membuat jantungku berpacu tidak karuan. Andai kepalanya turun sedikit saja dagunya sudah menyentuh bahuku, sedekat itu!

“Hei!!! Ketuk pintu dulu! Ini bukan rumahmu!!” teriakku segera menyembunyikan lembar jawabanku tadi dengan buru-buru meski percuma juga, dia sudah melihatnya. Aku. Malu.

Aku masih berusaha menormalkan detak jantungku, sedangkan dia sedang mengobrak-abrik kamarku dengan tatapannya. Dia mengamati seluruh isinya, seolah keheranan melihat buku-buku yang aku tata rapi di meja dan lemari buku. Aku tahu dia pasti akan memarahiku lagi.

“Bukankah harusnya kamu lebih serius belajar?? Dari pada giat membaca hal-hal seperti ini” ucapnya mengambil satu dari tumpukan komik dan manga kesayanganku.

“Kamu nggak ada hak mengatur apa yang seharusnya aku baca” ucapku sengit. Membaca komik sudah jadi hobiku sejak lama tau. Itu hiburan terbaik saat hal-hal buruk terjadi padaku. Selain game, tentu saja.

“ah, yang tadi itu hanya saran. Jika kamu lakukan mungkin akan sedikit terbebas dari remidi, kalau tidak.. ya! kamu akan tetap sebodoh ini” ucapnya penuh ejekan. Dia tidak pernah banyak bicara denganku di sekolah, dan di rumah.. dia itu cerewet, dan setiap bicara selalu menyakitkan.

“hmmm, iya tuan pintar, terimakasih sarannya. Akan saya laksanakan kalau tidak lupa, huh” ucapku membuang muka sambil meninggalkannya untuk keluar duluan ke ruang makan. Aku tergoda saat mencium wangi yang familiar dari kamar.

“Wah udang!!!” seruku senang, jarang-jarang ibu memasak makanan kesukaanku itu. Aku segera mengambil nasi yang seperti biasanya (sangat banyak). Ananta muncul bersamaan dengan ibu membawa hidangan terakhirnya. Mengikuti aku untuk duduk di kursi sebelahku, berhadapan dengan ibu.

“Alana, Do’a dulu” Ibu menginterupsi, aku pun meletakkan makananku di meja sebelum berdiam menunggu semua bersiap di meja makan, lalu menggumam do’a dengan lirih.

“Ananta udangku!” ucapku spontan melihat udang incaranku berada di sendoknya, tapi meski tahu aku menyukai udang dia tetap tidak membiarkanku memakannya.

“Wajahmu sudah sangat bulat, jangan makan ini banyak-banyak” ucapnya mengejek dengan senyum jahil, kini sendok kami berlomba adu kuat. Aku tidak peduli, biar saja gendut asal aku bisa makan kesukaanku sepuasnya. Ibuku yang gemas akhirnya menengahi pertengkaran kamu dan mengambil udangnya.

Aku tersenyum senang mengira makanan kesukaanku itu akan berakhir di piringku, tapi ternyata aku salah kira karena udang besar itu dia pindahkan di mangkuk Nanta. Tiba-tiba aku merasa seperti anak tiri saja diperlakukan begini.

“sudah, jangan seperti anak kecil Alana, lauk yang lain kan masih ada” tegur ibu menengahi memang benar masih ada, tapi ukurannya lebih kecil dari yang barusan dia letakkan di piring Ananta. Aku masih tidak bisa berhenti merengek. Sudah kubilang kan. Kalau Nanta ada di sekitarku, rasanya mendadak aku jadi anak tiri.

“hiks, udang besar” aku hanya bisa melirik Ananta yang justru melahap udang itu dengan pura-pura lahap dan nikmat. Aku hanya berharap dia tersedak karena kesal. Aku mengalah lagi, mengambil udang yang tersisa dengan ukuran lebih kecil. Bahkan di rumah pun dia masih mengalahkan ku.

Ia pamit pulang setelah menawarkan diri membantu dan mencuci semua piring kotor kami sebagai tanda terimakasih. Yah, dia harus melakukannya, apalagi dia tadi sudah merebut makanan kesukaanku. Aku masih dendam.

Saat dia pamit aku tidak mengantarnya, hanya ibu yang mengikuti Nanta sampai pintu depan.

“hati-hati di jalan Ananta, jangan membenci ayahmu… dia sedang dalam keadaan yang sama-sama sulit” nasehat ibu masih bisa kudengar meski samar.

“iya tante, Ananta pulang dulu.” Jawabnya dengan suara lirih. Terdengar jelas ada kecewa di sana. Aku tahu, dia itu juga rindu pada ayahnya. Orang yang harusnya menjadi tempatnya bersandar yang justru membawakannya masalah dengan menikah lagi dengan istri baru yang membenci anak kandungnya sendiri.

Pada akhirnya, aku tidak pernah benar-benar tahu tentang orang terdekatku itu, semuanya adalah rahasia dalam hatinya. Aku tidak bisa memaksanya bercerita meski aku tahu jelas banyak luka di dalamnya.

Aku hanya akan terus menunggu, hingga hati itu terbuka untuk bercerita kepadaku. Bahkan kepada ibu, aku tidak berani bertanya tentangnya, aku hanya memahami sedikit demi sedikit dari apa yang kudengar dan lihat. Dan apapun itu, pasti menyakitkan baginya untuk dihadapi sendirian. Tapi karena itu Ananta, aku tahu dia kuat menjalani apapun ke depannya. Dia masih ksatria ku, orang yang tangguh menghadapi apapun dalam hidup.

...****************...

Terpopuler

Comments

rani85

rani85

sepertinya kisahnya berbeda. . klo disana ibunya ananta msh hidup dan alana ayah ibunya jg msh hidup. .

2023-01-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!