dua. ksatria

Hari ini, senam pagi kami dilaksanakan lagi. Sangat membosankan sebenarnya, selalu senam yang sama setiap sabtu pagi. Gerakannya persis sama tapi dilakukan berkali-kali, bagaimana tidak bosan. Harusnya guru-guru menambah variasi lagu dan Gerakan supaya muridnya bisa ikut senam dengan sedikit lebih semangat. Pake lagu hits K-pop misalnya, pasti akan jauh lebih seru.

Sama sepertiku, orang-orang menggerakkan badanya dengan malas. Semua pasti berpikiran sama denganku bahwa kegiatan ini tidak menyenangkan sama sekali. Mereka bahkan sudah mencari kesibukan lain. Mereka pasti sangat bosan, serius. Aku bahkan melihat ada yang berteduh di pohon karena posisinya berdiri ada di paling belakang. Mereka pasti sudah tiduran di sana andai guru-guru tidak mengawasi sesekali.

Beberapa yang lain sibuk mencari incarannya masing-masing, beberapa lagi sudah memelototinya selama mungkin. Entah, mungkin dengan begitu orang yang mereka suka akan sadar dan membalas cintanya mungkin, siapa tahu.

Tanpa sempat aku sadari aku juga melakukan hal yang sama, menyisir kerumunan untuk mencari sosok Nanta. Saat ambil posisi tadi aku tidak sempat mengikuti dia, jadilah kami terpisah begini. Sedih sekali (Pura-pura menangis.)

Namun di antara kerumunan itu, seseorang berwajah pucat lebih menarik perhatianku sekarang. Badannya terlihat lemah. Kulitnya terlihat seputih salju, bahkan sudah masuk kategori pucat. Aku melihatnya saat sedang mencari Nanta. Aku gagal fokus karena dia yang berdiri tepat di sebelah Nanta. Posisi yang membuatku iri sebenarnya. oke. fokus.

Menurutku orang itu sedang tidak sehat karena dia bergerak lebih lambat dari yang lain. Gerakannya sudah seperti nenek-nenek padahal usianya masih belasan.

Dan dugaanku benar, dia pingsan setelah beberapa ketukan. Dengan reflek Nanta yang berdiri di sampingnya menangkap tubuh ringkih itu sebelum menyentuh tanah. Sudah seperti drama korea saja. Jujur, aku sangat cemburu melihatnya. Kepada ku saja dia tidak pernah semanis itu. Aku segera menghampiri mereka saat guru pendamping kami meminta Nanta mengantar anak itu ke ruang UKS.

“Bu, boleh saya ikut menemani shinta?” pintaku kepada guru cantik itu. Beliau mengangguk. Aku tidak mau meninggalkan Nanta sendirian bersama perempuan ini.

“Iya boleh, Nanta kamu bawa Shinta ke UKS, setelahnya biar Alana yang menemani Shinta” perintahnya dengan suara yang lembut. Tentu, guru pun pasti tidak membiarkan anak laki-laki dan perempuan ada di ruangan yang sama sendirian.

Aku membuntuti Nanta yang menggendong Shinta dengan hati-hati. Aku kaget melihat sisi lain Nanta hari ini. Aku selalu tahu kalau dia anak yang baik. Dia selalu membantuku dan bersikap baik padaku meski disertai kalimat menyebalkan dan tatapannya yang dingin. Dia jelas peduli padaku.

Tapi ini kali pertama aku melihatnya peduli dan mau membantu orang lain juga. Biasanya dia lebih sering acuh pada orang lain. Menyadari itu, aku tahu... ada yang berubah dari Ananta. Dia menjadi dewasa dengan baik.

Dan lagi, dia terlihat lebih tulus dan ramah saat menolong orang lain. Ananta tidak bicara menyebalkan seperti saat bersamaku.

Ah, aku justru merasa ada yang salah dengan perasaanku hari ini atau, apa aku hanya cemburu?.

...****************...

Sesampainya di UKS, aku merawat shinta sebisanya. Nantinya petugas UKS akan memeriksanya lagi jadi aku hanya akan membenarkan posisi tidurnya dan menemaninya selama di UKS. Aku menyuruh Nanta pergi segera setelah dia menurunkan Shinta di atas kasur.

Beberapa menit kemudian, petugas UKS datang dan dengan cekatan langsung memeriksa kondisi Shinta.

"dia baik-baik saja. Temani dia sampai bangun. Kalau sudah bangun beri dia roti dan teh yang ada di meja." ucap petugas itu menunjuk meja kecil yang sedikit tersembunyi itu. Setelah selesai dia meninggalkan kami dan kembali ke lapangan untuk mengawasi anak yang lain.

Kini tersisa aku dan Shinta disini. Dia terbaring dengan tubuh yang terlihat lemas. Aku mengamatinya untuk memeriksa jika ada luka yang perlu diobati. Dia masih terjatuh cukup keras meski berhasil ditahan oleh Nanta.

Namun aku tidak menemukan luka yang berarti. Aku lebih penasaran dengan kain kasa yang melilit di pergelangannya. Juga plester yang tertempel di leher. Entah luka apa yang membuatnya ditempel di sana. Seharusnya itu luka serius.

Aku terlarut dalam hening cukup lama, hanya mengamati tubuh Shinta yang terbaring dan terpejam. Sampai-sampai aku tidak menyadari kalau dia sudah sadar.

“Sejauh apa hubunganmu dengan Tara?” ucapan pertama Shinta itu dia katakan dengan mata yang masih tertutup membuatku sedikit melotot. Dia, bicara?

Aku hanya diam dan tidak menjawabnya, sejujurnya bukan karena enggan, tapi karena aku tidak tahu harus menjawab bagaimana. Anehnya aku berpikir terlalu keras sampai-sampai hanya diam beberapa lama.

“Kalian pernah ciuman?” tanyanya frontal sesaat setelah membuka mata. Aku yakin dia pasti banyak memikirkan hal-hal buruk di kepalanya sampai berani menanyakan hal pribadi seperti itu. Tapi bagaimana bisa dia menanyakan hal seperti itu pada orang lain, kepada ku, orang yang hampir asing baginya, dengan ekspresi santai lagi.

Aku menjadi gugup dibuatnya, masih tidak menemukan jawaban yang tepat. Aku sedikit kesal, karena setelah dibantu dia justru mengucapkan hal-hal yang membuatku tersinggung.

“Ehm, tidak sopan menanyakan kehidupan pribadi orang lain” ucapku akhirnya membela diri setelah ditatapnya dengan intens. Aku sudah berusaha keras memikirkan jawaban, tapi akhirnya aku mengelak sambil berharap dia akan diam setelah ini.

“Hahaha, enggak pernah ya?” ucapnya dengan nada yang teramat puas mengejekku. Dia mengatakannya seolah dia pernah melakukannya. Tawanya tiba-tiba terdengar sangat menyebalkan.

“Kalau kamu suka sama Ananta, aku punya nasehat sih. Barangkali kamu mau dengar” Ucapnya ringan seakan kami memang sedekat itu. Padahal ini kali pertama aku bicara banyak padanya.

“Siap-siap kecewa ya, karena dia suka sama orang lain.” Ucapnya dengan wajah penuh empati yang tidak perlu. Ya, aku tidak percaya. Kalimat peringatan yang dia lontarkan itu justru terdengar seperti ‘Nanta punyaku, jangan ganggu’ di telingaku.

“Kamu suka Nanta ya?” tanyaku menanyakan makna dari kalimatnya barusan.

“Hah??” lagi-lagi senyumnya mengejekku.

“Aku punya selera yang lebih tinggi dari itu” ucapnya menyombong. Dia membuatku kesal dengan raut, gerak-gerik dan semua perkataannya. Sampai-sampai aku menyesal sempat berempati pada luka di tangan dan lehernya.

“Oh iya. Kamu pura-pura pingsan!!” ucapku tersadar kalau sejak tadi dia membohongi kami, dan menyia-nyiakan tenaga Nanta untuk menggendongnya. Kalimat barusan sekaligus untuk mengalihkan perhatiannya dari pembicaraan kami yang semakin tidak jelas.

“Hahaha, baru sadar. Dasar bodoh” Tawanya renyah tanpa menunjukkan rasa bersalah sedikitpun.

“Kenapa bohong?” tanyaku lagi.

“males ikut senam pagi, lagi badmood” Ucapnya tanpa rasa bersalah sudah membuat kami repot merawatnya sejak tadi.

“kenapa badmood?” tanyaku penasaran. Oh ayolah, andai kalian melihat kulit pucat, luka di leger dan lengannya yang penuh plester dan kain kasa itu mungkin kalian akan percaya kalau dia benar-benar sakit. Atau dia mungkin memang benar-benar sakit, hanya kuat saja menahannya sampai terlihat baik-baik saja.

“Alanaa” ucapnya meniru cara bicaraku tadi.

“tidak sopan bertanya tentang kehidupan pribadi orang lain” lanjutnya dengan nada penuh yang sana denganku sebelumnya. Ah, aku justru bertambah kesal mendengar kalimat itu di lontarkan padaku. Anak ini. Menyebalkan.

Terpopuler

Comments

umi b4well (hiatus)

umi b4well (hiatus)

semangat thor..sama sama saling dukung kita.

2022-12-26

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!