Aku Alana, seorang anak yang hidup di sebuah pedesaan yang menyenangkan. Tempat ini indah dan punya banyak pemandangan yang menyegarkan mata. Meski letaknya sedikit jauh dari kota, tapi aku senang tinggal di tempat ini. Hawa pagi dan udara segar selalu menyambut ku setiap pagi, itu sudah pasti sulit didapat kalau di kota.
Aku bisa dengan bebas memacu sepedaku tanpa takut terkena macet atau polusi. Dan lagi, tumbuh di lingkungan ini sangat menyenangkan. Orang-orangnya terasa familiar dan penuh kasih sayang. Orang asing pun dianggap seperti keluarga asal mau berkelakuan baik. Kami terbiasa hidup dengan saling menjaga satu sama lain hingga satu sama lain sudah seperti saudara.
Setelah tahun-tahun yang berlalu, ada orang-orang yang punya ikatan denganku sedekat keluarga pada satu sama lain. Kami biasa makan bersama, bermain bersama, aku menganggapnya benar-benar seperti keluarga sendiri. Terutama satu orang itu yang sejak lama terus berada di dekatku.
Dia Ananta, tapi aku selalu memanggilnya Nanta meski orang-orang suka memanggilnya Ananta. Kami sudah berteman sejak kecil. Dulu kami menghabiskan banyak waktu bersama setiap hari, dan bagiku dia jauh lebih spesial dari sekedar teman dekat dan keluarga. Aku, menyukainya.
Perasaan itu sudah ada sejak lama sekali, aku pun lupa kapan pertama kali merasakannya. Tahu-tahu sudah suka saja melihatnya. Dan kurasa, aku bisa hidup bersama Ananta selamanya.
Meski sudah berteman sejak lama, semakin dewasa aku semakin sulit memahami isi pikirannya. Dia itu tidak bisa ditebak, sulit dipahami, pikirannya rumit serumit soal-soal fisika. Terlebih, mukanya datar setiap kali menghadapi sesuatu sampai kukira dia memang tidak bisa tersenyum. Aku sudah terbiasa dengan wajahnya sampai-sampai ekspresi itu sudah tidak membuatku kesal lagi.
Meski begitu, dia anak yang baik. Aku yakin dia orang yang baik. Dia selalu ada di titik di mana aku ingin menyimpannya untuk diriku sendiri.
Seperti sekarang, orang yang ku cari pertama kali setiap aku kesulitan pun selalu Ananta.
KRAKK!
Suara keras mengalihkan perhatianku dari Ananta yang masih mengayuh sepedanya dengan santai. Saat aku melihat ke bawah aku tahu ada yang salah. Kayuh sepedaku tidak berfungsi lagi karena rantainya lepas dari tempat yang seharusnya hingga aku harus berhenti.
Aku buru-buru menapakkan kakiku sebelum sepeda kecilku oleng. Lagi-lagi aku dihadang oleh nasib buruk di pagi hari. Padahal pagi ini aku bangun dengan perasaan bahagia, namun ada saja kejadian yang merusaknya. Aku menghela nafas kasar. Sekarang ini saatnya meminta bantuan, karena jelas aku tidak bisa membenarkannya sendiri.
“NANTA!” teriakku. Cukup keras untuk membuatnya berhenti dari mengayuh sepeda untuk melaju lebih jauh lagi. Dengan satu teriakan aku berhasil membuatnya berhenti dan sekarang dia menapakkan kakinya ke tanah sepertiku.
“Rantainya lepas! Bantu aku memasangnya lagi!” teriakku lantang karena jarak kami sekarang. Gunung es itu memarkir sepedanya di pinggir jalan lalu berbalik ke arahku. Wajahnya menatap tidak suka, namun tetap saja menghampiri dan membantuku.
Meski nampak tak peduli, ia tetap saja mengambil posisi jongkok lalu meraih rantai sepedaku dan membenarkan letaknya. Dia melakukannya dengan cepat, tangannya sangat cekatan. Dia selalu bisa diandalkan seperti biasanya.
Ananta memastikan rodanya berfungsi lagi sebelum menatapku dengan wajahnya yang dingin untuk meminta tisu dan membersihkan tangannya. Aku memberikannya, lalu hanya diam memperhatikan. Jemarinya menghitam karena rantai sepedaku. Dia membersihkannya dengan cepat.
“makanya jangan banyak makan, nantinya sepedamu bakal cepat rusak gara-gara keberatan” ucapnya sembari mengembalikan tisu kotor dan tanpa sadar aku menerimanya dengan patuh. Aku lebih fokus dengan ucapannya yang seperti mau memulai pertengkaran itu.
“Enak aja. Ini salah sepedanya yang terlalu rapuh tau. aku tidak berat!” sahutku tidak terima sambil membuang tisu kotornya tadi. Mulutnya ini, tidak pernah bisa mengatakan hal manis tentangku, yang ada hanya mengejek atau mengomentari Habis-habisan.
“mana ada. Jangan menyalahkan sepedanya jelas-jelas itu salahmu” jawab Nanta, dia bahkan sudah pandai menghina tanpa merubah ekspresi dinginnya. Wajahnya tetap tenang meski setiap kata-katanya menyakitkan.
Tanganku sudah siap mengepal untuk meninjunya ketika dia sudah buru-buru balik badan untuk menghampiri sepeda dan mengayuhnya lagi. Mengabaikan aku yang masih berdiri dengan tangan terangkat.
Dia memang selalu begitu. Tindakan dan ucapannya jauh berbeda. Meski wajahnya tampak selalu kesal, dia selalu ada kapanpun aku membutuhkannya... membantuku, dia itu kesatriaku, pangeran pendiam ku yang tampan meski sangat menyebalkan. Ya sudah. Biarkan saja dia bersikap menyebalkan begitu, biar hanya aku yang betah menyukainya seperti ini.
Aku tersenyum tipis ke arahnya. Sebenarnya aku juga merasa berterimakasih pada Nanta, berkat bantuannya itu aku jadi tidak terlambat sampai sekolah. Tapi aku malas berterimakasih. Dia pasti akan mengejekku dengan kata-kata menjengkelkan jika aku mengucapkannya langsung. Aku mau membalasnya nanti dengan hal lain. Jangan beritahu dia rencanaku, nanti dia besar kepala.
Sesampainya di sekolah, kami memarkir sepeda di tempat yang disediakan. Di tempat yang dinaungi atap kecil itu aku menaruh sepedaku di samping milik Ananta. Sepeda biru pastel ku selalu sangat kontras disamping sepeda Nanta yang sederhana, hampir serba hitam.
Dia meninggalkan ku dan pergi lebih dulu ke kelas, membuatku buru-buru mengikuti dibelakangnya. Sedikit terseok karena aku sudah tertinggal beberapa langkah dan masih berusaha mengejarnya.
Dia menaruh tasnya di meja, hanya diam. Sesekali menaikkan alisnya saat melihat temannya di kelas. Caranya menyapa teman pun sangat dingin. Sedangkan aku sudah tersenyum ramah pada semua orang. Dia itu benar-benar, the real gunung es.
"berangkat bareng lagi nih." sapa Feli yang menghampiriku dengan senyum usilnya. Mata yang berbinar itu pasti sudah membayangkan hal yang tidak-tidak tentangku seperti... berpacaran dengan nanta misalnya.
"hmm cuma berangkat bareng" balasku mengkoreksi, membuat senyumnya sedikit pudar. Namun detik selanjutnya Feli mengangkat tangan di depan wajah dengan gestur berbisik.
"di tunggu pacarannya, nggak apa-apa kok... suer" bisiknya lagi dengan suara pelan yang hanya bisa aku dengar sendiri. Diam-diam aku juga mengharapkannya tau. Tapi bagaimana bisa berharap kalau aku dan Ananta tidak pernah punya pembicaraan yang serius selain seperti teman atau adik kakak. Sahabat pun rasanya bukan.
Aku hanya memberikan gestur menyuruhnya diam dengan mengangkat satu jari di depan bibir, yah semoga itu berhasil. Karena akan sangat aneh kalau ada rumor begitu saat aku dan Ananta sungguhan tidak punya hubungan apa-apa. Dia mengangguk patuh masih disertai senyuman.
Aku duduk di kursiku sendiri, mencuri-curi pandang ke arah Ananta yang tidak melirikku sama sekali. Kenapa sulit sekali dekat dengan dengan laki-laki menyebalkan ini, pikirku sedikit frustasi.
...****************...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments
rani85
ini cerita ananta alana kisahnya sama apa beda thor dgn ananta alana di kmr sebelah?
2023-01-19
1