SEIRING berjalannya waktu, aku dapat mengerjakan seluruh pekerjaan dengan lancar.
Benar-benar melelahkan. Kurasa uang tip harian sekaligus gaji bulanan dari pekerjaan inilah yang akan digunakan untuk membayar kuliah dan kehidupan sehari-hari. Aku baru ingat bahwa tidak ada petunjuk mengenai keluargaku sendiri. Apakah aku hidup sebatang kara?
"Akhirnya waktunya pulang," ucap gadis berkuncir kuda dan berkepribadian super ceria yang tadi menyambut kehadiranku.
Pada name-tag-nya telah tertuliskan, "Sherly."
Jam menunjukkan tepat di angka sepuluh dan kartu yang bertuliskan, "close." telah terpajang pada depan pintu masuk.
Semua pegawai mulai berganti pakaian untuk bersiap-siap pulang dari tempat membanting tulang ini. Ada satu hal yang membuat rasa ingin tahuku berdesir. Sedari tadi, aku belum mengunjungi bagian dapur utama yang di mana tempat memasak hidangan berat pada kafe ini.
Aku melihat area dapur yang sedang dibersihkan oleh Kurt dalam mengenakan apron hitam dan berbeda dari karyawan lain. Sepertinya, dia adalah chef khusus di kafe ini. Penampilannya lumayan unik, rambut terikat dengan gaya manbund dan tidak terlalu panjang sekaligus terlihat begitu meringkaskan penampilannya agar tidak menganggu pandangan. Tanpa sengaja, aku menyenggol gelas kaca pada meja hingga membuat sebuah bunyi yang memancing Kurt menoleh kepadaku.
"Maaf," ucapku sembari membungkuk dan memunguti gelas yang telah pecah di lantai. Akhisnya, jariku justru tergores.
Kacamata yang sedang bertengger di wajah Kurt pun mulai diperbaiki posisinya. Dia ikut membukuk di hadapanku sebelum berkata, "Duduk aja di kursi itu, biar aku yang memungutnya."
Tidam ada pilihan lain selain berkata maaf. Jika aku keras kepala untuk memunguti pecahan gelas tersebut, bisa-bisa jari-jariku yang lain akan ikut terluka. Tidak begitu lama Kurt menyelesaikan dalam memunguti pecahan gelas yang berasal dari ulahku, lalu menghampiriku seraya membawa kotak P3K. Dia duduk di sebelahku dan mengobati jariku yang terluka menggunakan obat betadine dan membalutnya dengan plester.
Astaga, aku menjadi merasa bersalah karena merepotkannya.
"Nggak biasanya kamu ceroboh," kata Kurt dengan wajah datar yang berkesan jutek, tapi sikapnya begitu perhatian. "Jangan sampai terulang."
Kejadian yang sama terulang lagi. Pandangan yang mulai pudar, suara lawan bicaraku telah terdengar serak dan menyamar. Perubahan tempat secara mendadak. Lagi-lagi hal ini terjadi.
Kali ini, aku sedang terbaring di atas kasur, tetapi bukan berada di kamarku sendiri. Terlihat dari jarak yang cukup dekat, Kurt sedang membawa nampan berisi makanan dan minuman sembari berjalan ke arahku dengan memakai apron abu. Wajahnya tersenyum, sama seperti yang terlihat sebelumnya pada lokasi tepi danau.
Ada yang aneh. Pria yang tampak jutek tersebut sedang bersikap manis, seakan-akan hari tersebut adalah kebahagiaan pertamanya.
Seketika semuanya kembali normal seperti biasa dalam sekejap. Perlahan, aku mengerjap-ngerjapkan mata dan memberanikan diri untuk bertanya.
"Emm ... Kurt. Apa sebelumnya aku pernah ke rumahmu?" Aku menebak-nebak secara asal.
Kurt mendongak ke arahku dengan mengerutkan dahi. Mungkin, dia lebih cocok menjadi dosen killer daripada chef.
"Enggak, nggak pernah."
Tidak pernah? Apakah tempat yang kulihat tadi bukanlah terlokasikan di rumahnya? Atau, kejadian tadi bukankah penggalan dari memoriku?
"Oh begitu ya," balasku dengan tersenyum canggung.
"Ada-ada saja pertanyaanmu," jawabnya ketus, lalu berdiri dan meletakkan kotak P3K pada laci atas.
Baguslah, pengobatan jariku telah selesai.
"Makasih, aku pulang dulu ya."
Tidak mendapatkan respons dari Kurt, aku pun hanya bisa pasrah pada sikapnya yang cuek, dan melangkah pergi ke luar kafe sesudah berganti pakaian. Saat membuka pintu belakang, terdengar suara keributan yang begitu membuatku terpancing untuk menontonnya.
Jalan menuju area luar kafe dan pintu belakang ini seperti gang kecil yang lebarnya berukuran sekitar dua meter. Sedangkan panjangnya dari ujung ke ujung, kurasa hanyalah enam meter. Aku pun melangkah maju dan mendapati bahwa suara pertengkaran tersebut tepat pada mulut gang. Oh, ternyata terdapat dua orang yang sedang berdiri di depan sana.
"Sialan! Kali ini bakal gue kalahin elo dan bakal bikin lo mati di sini!" teriak salah satu personil pertengkaran yang terdengar emosinya begitu membara.
"Cih, belagu. Kayak bisa aja."
"Bisa dong! Gue sudah bawa senjata."
Apa aku tidak salah dengar mengenai kata senjata?!
Aku pun mefokuskan pandangan dan terkejut saat melihat bahwa dua orang tersebut adalah kekasihku dan River sedang berhadapan dengan wajah permusuhan. Lebih parahnya, kekasihku sedang memasuki tangannya ke aku baju yang menandakan bahwa dia akan mengeluarkan sebuah senjata. Apakah mereka akan bertarung di sini? Itu tidak boleh karena sangat membahayakan, dan mereka harus dicegah!
"Nggak usah sombong! Ayo tunjukkin!"
Serta merta aku berteriak untuk menghentikan mereka dan berusaha berlari secepat mungkin. Kumohon, semoga saja aku sampai tepat pada waktunya.
"Jangan! Berhenti!" pintaku hingga membuat dua orang tersebut serentak menoleh.
Di saat aku berdiri di tengah-tengah mereka, napas ini menjadi sulit terkontrol. Berlari benar-benar menguras tenaga dan membuatku terengah-engah.
"Lo kenapa, Ley?" tanya kekasihku dengan wajah kebingungan.
"Iya, berhenti ngapain?" River ikut bertanya yang tidak kalah bingung saat menatapku.
Mereka benar-benar mengesalkan ketika berpura-pura bahwa aku tidak mendengar apa yang mereka rencanakan.
"Kalian mau berkelahi, 'kan? Lalu, senjata apa tadi?" sergahku dengan raut wajah panik.
Pria yang beridentitas kekasihku pun tertawa keras, sedangkan River hanya menggeleng pelan seraya menepuk dahi. Mengapa tiba-tiba suasananya menjadi cair?
"Bused, gue dan River cuma mau suit. Bukan berkelahi," kilah kekasihku seraya memberhentikan tawanya. "Mana mungkin kami berkelahi gebuk-gebukkan."
"Si Kai kan lembek. Mana mungkin mau ngelawan gue." River menyahuti dengan unsur mengejek.
Kai. Ternyata nama kekasihku adalah Kai.
"Lalu, apa itu senjata tadi?" jawabku menggunakan timpal balik pertanyaan.
"Itu mah cara curang gue yang rahasia, nggak boleh ada yang tahu," sahut Kai sembari mengelus rambutku. "Cukup deh, ayo kita pulang. Gue cabut dulu, Riv."
Pasti wajahku mulai memerah karena malu akibat sudah salah sangka.
Kami berjalan bergandengan di pinggir jalan yang tidak begitu ramai dengan kendaraan. Susana yang begitu tentram dan asri dengan banyaknya pepohonan tertanam di sekitaran. Senangnya dalam meninggali kota ini.
"Habis ini, ada acara apa? Mau jalan sama gue?" Kai bertanya padaku. "Kalau nggak ada, kita dinner di luar, yuk."
"Nggak ada acara kok," jawabku.
Kami berhenti di lampu lalu lintas yang masih menunjukkan warna merah bertanda kendaraan masih mempersilakan pejalan kaki untuk berlalu lalang dalam menyeberang.
Untuk kesekian kalinya, pandanganku mulai kabur lagi. Hal seperti ini kembali lagi. Suasana menjadi berubah dan aku seperti terhempas hingga berpindah tempat dalam sekejap mata.
Sebuah api unggun dan batu-batu di sekelilingnya. Beberapa tusuk marshmellow sedang terpanggang di atasnya dan menunggu akan kegosongan. Aku yang sedang terduduk di tanah, mulai mengalirkan air mata yang tanpa sadar telah membasahi pipi. Kepalaku menoleh dan mendapati Kai sedang mencorat-coret tanah menggunakan ranting kayu kecil dengan raut wajah muram. Selanjutnya, sebuah gumamannya terdengar sekilas olehku.
"Gue ngebunuh bokap lo."
Aku tersentak kaget.
Bokapku? Jadi, ketiadaan bokapku disebabkan oleh Kai? Lalu, di mana nyokapku? Aku benar-benar merasa terpukul saat mendengar dari mulut pria yang sedang menjadi kekasihku telah memiliki rahasia begitu mengerikan.
Pembunuh, aku menjalin hubungan dengan psikopat. Inilah ingatan yang mungkin memberiku peringatan keras akan menjauhi Kai secepatnya.
Pada akhirnya, semuanya kembali menjadi seperti semula. Namun, air mataku tetap ikut mengalir seperti dalam kejadian tadi.
Akan tetapi, sebelumnya aku bertanya mengenai lokasi yang persis seperti di ingatan tersebut kepada Kurt. Lantas, pria itu menyangkalku. Jadi, Kai masih tidak dipastikan telah melakukan hal keji, yakni membunuh. Namun, bisa saja Kurt berbohong mengenai pertanyaanku tadi.
Kemungkinan ... Kai menyembunyikan sifat buruknya saat bersamaku. Bukankah semua penjahat pasti bermuka dua?
Bisa jadi, saat Kai bersama River tepat berada di mulut gang tadi, mereka benar-benar ingin berkelahi. Namun, aku berhasil mempergoki hingga mereka membatalkan hal tersebut dan beralasan untuk suit seperti anak kecil.
Aku harus menyelamatkan diri dan tidak mau bernasib seperti bokapku.
Tanpa berpikir panjang, kakiku langsung melangkah untuk melarikan diri dari Kai. Namun, tindakanku adalah sebuah kesalahan. Di saat yang sama, terdengar sebuah bunyi klakson begitu keras. Spontan kepalaku menoleh, lalu mendapati sebuah mobil yang menderap cepat ke arahku.
"TIDAK! KUMOHON, JANGAN LAGI!"
Dari sekian suara berteriak panik dalam menontonku, aku mendengar jelas suara yang terdengar sangatlah familier. Bukan, ini bukan Kai. Suara itu milik adalah orang lain, tapi siapa dia hingga membuatku dapat fokus pada suaranya sendjri? Lantas, apa maksudnya dari kata 'lagi'? Apakah sebelumnya dia pernah melihat hal seperti ini hingga mengatakan sebuah kalimat yang didampingi dengan kata ambigu tersebut?
Begitu jelas, aku bisa mendengar suara teriakan panik yang begitu menggema dari orang-orang sekitar. Pada akhirnya, seketika semua duniaku menjadi gelap.
- ♧ -
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments