PERJALANAN tanpa kendaraan menuju tempat kerjaku, atau sebenarnya tempat kerja kami.
Tidak perlu memakan waktu banyak untuk sampai pada tempat tujuan. Kafe. Ya, itulah tempat kerjaku. Dari luar tampak seperti vila tua yang berdinding kayu ala pondok tua di pedesaan negri kincir dengan lentera-lentera tiga warna mentari, sekaligus papan nama yang bertuliskan, "Caffe Clair de lune''.
"Gue cabut, ya. Setelah kejadian kemarin, gue jadi takut untuk biarin elo pulang sendirian, nanti gue jemput," ucap kekasihku seraya mengelus-elus lembut rambutku.
Aku memberinya respons tersenyum dan berbalik untuk mengikuti langkah teman sepekerjaanku menuju area belakang. Mungkin, pintu menuju ruang karyawan terdapat di belakang karena tidak mungkin jika seorang karyawan melewati pintu depan yang notabenenya adalah jalur masuk pelanggan terhormat.
Kumasuki kafe dari pintu belakang dan terdapat beberapa orang telah mematung bak diperintahkan oleh seorang dirigen.
"Astaga, Ley! Kamu sudah sehat?" tanya seorang gadis yang berkuncir kuda sembari menepuk-nepuk pundakku dan responsku hanyalah anggukkan kepala dengan canggung. "Bagus deh, jangan paksain diri juga ya."
Aku melihat gadis lain sedang berganti baju di toilet wanita dan membuatku paham untuk berganti baju di sana. Di saat itu pula aku memerhatikan bahwa ada satu loker yang tampak tidak tersentuh sama sekali oleh semua orang. Itu pasti adalah loker milikku.
Tanpa banyak tingkah lagi, aku menderap ke arah loker dan ternyata benar milikku. Sudah pasti itu adalah lokerku, karena ada sebuah cetakan foto soloku tertempel pada bagian pintu, sekaligus foto bersama seluruh teman sepekerjaan seperti yang terdapat di ponsel kemarin. Aku mengambil satu setelan seragam yang tergantung oleh hanger, kemudian dengan cepat pergi ke dalam toilet untuk berganti baju.
Setelah semua selesai, aku melihat pantulan bayangan pada kaca wastafel yang terlihat begitu polos dan sama sekali tidak menarik. Tidak ada riasan pada loker yang sepertinya aku menyukai penampilan natural. Rambut bergelombang berwarna hitam pekat yang panjang disertai bandana putih sebagai pelenggkap seragam. Kemeja putih terhiasi name-tag, "Ashley". Tubuh kurus dan tidak mempesona. Tidak apa, aku hanya waiter biasa, bukan model iklan. Jadi, tidak perlu dipikirkan sama sekali mengenai penampilan fisik.
Sejujurnya, setelah memasuki area pelanggan, aku benar-benar menjadi kebingungan dalam menjalani tugas. Aku harus apa? Berkeliling untuk menanyakan apakah hidangan para pelanggan memuaskan? Atau memasak? Menjaga kasir? Menulis pesanan? Mengelap meja atau mencuci piring?
"Ayo ke pintu, lo ngapain lagi?" tegur pria tadi yang berangkat bersamaku.
Reflek mataku melirik pada name-tag-nya dan mendapatkan bahwa namanya adalah River. Nama yang keren.
Kepalaku pun menunduk karena merasa canggung. "Oh iya, maaf."
Rasanya begitu linglung dalam menatapi sekitaran. Tidak ada perasaan familier, begitu membingungkan.
Sekarang, aku terposisikan di sisi pintu, yang berarti tugasku adalah menjadi penyambut pelanggan. Mungkin harus dicoba. Mencoba menunggu pelanggan, lalu menyambutnya dengan wajah super cerah. Di saat itu terjadi, aku menjadi kaku. Apa yang harus kuucapkan? Ah, asal-asalan saja, tidak apa.
"Selamat datang," sambutku dengan reaksi seramah mungkin pada pelanggan.
"Psstt!" Terdengar suara desisan dari belakang dan saat menoleh, River yang sedang mengelap meja mulai berbisik. "Tambahkan nama kafe ini, lo lupa, ya?"
Oh, ternyata begitu.
Secepatnya aku meralat ucapan sambutan. "Selamat datang di kafe clair de lune.''
Begitulah aku memulai pekerjaan. Dari menyambut pelanggan, lalu diperintahkan sebagai pelayan penghantar di kala dalam keadaan ramai dan menjadi penjaga kasir saat beberapa teman kerjaku sedang izin ke kamar mandi atau alasan yang tidak bisa diberitahu.
"Permisi, saya ingin memesan sesuatu,'' panggil salah-satu pelanggan yang duduk pada bangku di dekatku.
Mungkin, para pelayan penghantar lainnya sedang sibuk hingga pelanggan ini hanya berani memanggilku.
"Iya, ingin memesan apa, Tuan?" Aku bertanya dengan menunduk tanda kesopanan.
"Saya ingin memesan strawberry sundae saja ... ah ya, dan cheese cake," ujar sang pelanggan.
Secepatnya aku pergi ke dapur tanpa membawa catatan pesanan, karena merasa yakin bahwa pesanan tersebut pasti mudah diingat sampai di tempat penyampaian. Ketika berada pada meja pesanan, aku mengatakan semua pesanan pada barista yang sedang membersihkan meja berisi mesin kopi.
"Elo aja yang buat, bisa 'kan? Gua mau buat espresso dulu," pinta pria tersebut dengan tersenyum lebar menandakan keramahan.
Astaga, aku kan tidak tahu cara membuat cheese cake dan strawberry sundae! Mengapa mendadak aku kebagian tugas ini? Dengan kebingungan aku menatap bahan-bahan yang berada di rak dengan panik. Apa yang harus diambil? Apa yang harus dicampur aduk?
Terambil sebuah gelas plisner dan mengambil sendok, yang sejujurnya aku tidak tahu harus melakukan apa. Seharusnya aku menolak permintaan tolong dari barista tersebut. Aku berbalik untuk menolak mengerjakan tugas ini pada pria tadi dan di saat itu juga dia berdiri di hadapanku dengan wajah kebingungan.
"Apa lo lupa cara buat strawberry sundae?" Dia bertanya dengan kedua alis yang dinaikkan.
Ternyata, sedari tadi dia memerhatikan gelagat tidak normalku. Baguslah karena dia mau berinisiatif untuk menanyakan hal tersebut.
"Astaga, Ley. Ini kan menu andalan lo."
"Maaf, gue lupa. Bisa minta tolong ..."
"Pertama-tama ..."
Dia memotong ucapanku, bersamaan dengan mengambil beberapa bahan dari kulkas. Lalu, meletakkannya tepat di meja yang berada depan kami.
Wajahku menjadi memerah saat tangannya memegangi tanganku untuk mengontrolku dalam membuat strawberry sundae. Aku memerhatikan dari es krim yang diletakkan pada gelas, susunan beberapa potongan buah strawberry dan taburan topping warna-warni.
Mendadak pandanganku kabur.
Secara perlahan cahaya penglihatan ini mulai meredup dan suara-suara yang asing dari sekitaran sangatlah terdengar menggema pada gendang telingaku. Suara pria tadi sangatlah lambat dan terdengar seperti speaker rusak.
"Pertama-tama ..."
Kalimatnya tadi yang kembali terulang. Namun, suara dari ucapan tersebut telah terdengar begitu samar-samar.
Tahap-tahapan pembuatan strawberry sundae pun terulang. Seperti sebuah keadaan yang pernah kualami sebelumnya. Apakah ini potongan ingatan yang mulai perlahan kembali?
Perlahan, pandanganku menjadi begitu kabur hingga membuat kepala terasa pusing.
Entah apa yang terjadi hingga sekarang posisiku menjadi berbeda. Aku yang sedang berdiri di kafe untuk membuat strawberry sundae, terasa seperti pernah melakukan ini sebelumnya. Sebuah pengalaman yang terualang kembali, bak video yang sedang diatur dengan fitur replay.
Seketika kesadaranku kembali pulih total dan tahu-tahu saja melihat penyelesaian dalam pembuatan strawberry sundae.
"Udah selesai!"
Aku mengerjap-ngerjapkan mata dan baru sadar bahwa dessert ini telah siap untuk disajikan pada pelanggan. Padahal, aku tidak melihat apa pun dalam pembuatannya kecuali tahap-tahap awal.
"Untuk cheese cake, ambil di dapur. Minta ke Kurt," ucap pria ini yang kulirik name-tag-nya yang bernama 'Vincent'. "Padahal elo dulu yang ngajarin gua cara buat strawberry sundae. Tapi, sekarang kebalikannya."
Sedikit memalukan saat aku mendengar hal tersebut.
"Oke," jawabku yang masih dalam keadaan terkejut.
"Hei, Vin. Kemari," panggil Pak Manajdr yang muncul dan membuat pria yang terpanggil Vin tersebut melangkah pergi.
Aku pun pergi ke dapur dan mendapati seorang berkacamata sedang menata hiasan pada sebuah kue. Kurt, mungkin dialah orangnya.
"Emm ..." Belum saja aku berbicara untuk meminta pesanan, Kurt melirik ke arahku dengan tajam.
"Semua menu sudah kusediakan di lemari kaca. Ambillah." Dia menggedik kepala ke arah lemari kaca yang berisi penuh akan macam-macam kue.
Ketika tanganku baru menyentuh lemari tersebut, tangan Kurt mulai mencegahku. "Tunggu. Biar aku saja,"
Lagi-lagi pandanganku terasa samar.
Aku yang berada di depan lemari kaca, justru keadaan berubah menjadi sedang terduduk di bangku kayu yang terletak pada pinggir danau kecil, menampakan suasana malam begitu hening.
"Rasanya benar-benar tenang."
Suara yang tidak asing.
Reflek kepalaku menoleh dan terkesiap karena terkejut saat melihat Kurt yang tadinya menahanku untuk mengambil pesanan pelanggan, kini telah duduk di sebelahku sembari tersenyum tipis. Wajahnya yang tadi terlihat jutek, menjadi berkesan ramah dan lembut.
Dalam seperkian detik, keadaan mulai memudar dan akhirnya kembali seperti sedia kala.
"Butuh cheese cake, bukan? Ini." Kurt menyodorkan pesanan yang kucari, lalu dia kembali fokus pada kue yang sedang dihiasinya tadi.
Apakah kejadian tadi adalah penggalan kenanganku bersama Vin dan Kurt? Jika iya, itu adalah hal yang bagus. Dengan ini, pasti beberapa kenangan di otakku pada orang sekitar akan muncul sedikit demi sedikit seperti kejadian tadi!
- ♧ -
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 59 Episodes
Comments
Ummi Najwa Ayi
masih mencerna
2022-12-27
0