1. Lilian Ashley

SECARA perlahan, aku membuka mata dan menerima sebuah cahaya yang kini menandakan bahwa kesadaran telah pulih dari kejadian sebelumnya. Apakah aku pingsan atau tertidur?

"Akhirnya lo bangun."

Terdengar suara pria yang sedang mendekat dengan ukiran senyum manis di wajahnya, seakan-akan sudah menunggu lamanya kesadaranku. Wajahnya yang tampak ramah, seperti selalu menampilkan keceriaan dalam hidupnya. Sikapnya seperti manusia hiperaktif dan asik terhadap semua orang. Rambut bermodel 'coma Hair' yang lebat dan hitam pekat. Tinggi dan berdada bidang seperti tubuh para cowok atletis.

Tapi, siapa dirinya?

Aku pun memicingkan mata dalam menatapnya yang kini berdiri di sebelah ranjangku. Ah, rupanya aku berada di rumah sakit. Selimut tipis dan ruangan putih yang menandakan bahwa ini benar-benar ruang rawat inal. Apakah aku ketika kehilangan kesadaran saat di bawah hujan langsung dilarikan ke rumah sakit?

"Kata dokter, lo kelelahan akibatnya pingsan di jalan," ucap pria tersebut dengan nada prihatin. "Lain kali, jangan terlalu maksain diri untuk ngerjain tugas kampus."

Apakah aku adalah anak kuliahan? Ah, aku tidak dapat mengingat apa pun. Apakah aku telah mengidap serangan hilang ingatan? Sepertinya, aku terlalu banyak memikirkan pertanyaan yang tidak bisa dilemparkan pada siapa pun, atau bahkan dijawab oleh orang yang berada di hadapanku.

Oh tidak, apakah aku amnesia?

Pria yang sedang berbicara padaku sangatlah terlihat asing di mata. Namun, tingkahnya begitu santai dan terasa sangat mengenalku dengan akrab. Apakah dia ayahku? Sepertinya tidak, tampangnya terlalu muda untuk memilki anak yang sebesar tubuhku.

Mata ini melirik jam digital yang berada di meja nakas sebelahku. Terlihatlah tampilan jam 18.00 tanggal 20 juli. Aku pun mengembalikkan pandangan pada pria tadi dan mendapati wajahnya yang kebingungan dalam menatap diriku.

"Capek banget ya? Bahkan, lo nggak mau ngobrol sama gue?" ucapnya seraya memiringkan kepala.

Rasanya begitu membingungkan. Apakah harus mengakui jika aku saja tidak mengenalnya?

Mendadak, pria itu menyodorkan ponsel ber-chassing merah muda kepadaku sebelum berkata, "Nih, gue bawa tadi buat ngehubungin manajer lo untuk izin beberapa hari."

Izin kepada manager? Apakah aku mahasiswi sekaligus pekerja kantoran? Itu adalah hal yang tidak mungkin. Walaupun ingatanku hilang, sepertinya logikaku tidak ikut pergi. Tanpa bicara, aku menerima ponsel tersebut dan dalam seketika muncul notifikasi pesan teks yang tampil otomatis di layar.

Reflek jariku menyentuh touchscreen untuk membuka pesan teks tersebut.

Inbox || [Unknown number]: Jangan beri tahu siapa-siapa perihal kehilangan ingatan.

Mengapa ada orang asing yang mengetahui nomer teleponku dan mengirim pesan seperti ini? Dari mana dia tahu bahwa aku telah kehilangan ingatan? Apakah dia seorang dukun yang mencabut ingatanku, lalu mengirim pesan teks dengan gaya memerintah secara halus?

TLING!

Bunyi notifikasi lagi dengan pengirim yang sama.

Inbox || [Unknown number]: Jika kamu terlalu lama terrawat di rumah sakit. Maka, kamu akan sedikit berinteraksi di dunia luar hingga lupa tentang sekitaran, tentang dirimu sendiri, caranya berjalan, cara berekspresi. Bahkan paling parahnya adalah melupakan cara bernapas.

Mengerikan, seperti ada benarnya. Mungkin, aku harus menuruti kemauan pengirim pesan ini, kemudian berpura-pura menghadapi dunia dengan normal. Seiring berjalannya waktu, aku pasti mengingat sedikit demi sedikit. Pasti dan pasti!

"Emm ... aku bisa pulang hari ini?" tanyaku kepada pria tadi dengan nada rendah. Sepertinya pertanyaanku menimbulkan kecurigaan kepadanya.

"Aku? Gaya bicara lo kok formal begitu? Apa BF lo ini kurang manis ya, sampai lo begini?" balasnya sembari mencubit-cubit dagu dengan kedua jari.

Apa itu BF? Apakah maksudnya adalah Boyfriend? Dia pacarku?

"Kepalaku ... gue masih sedikit pusing. Jadi agak ngeblank," kataku terburu-buru.

Pria tersebut duduk di kursi sebelah ranjangku. "Astaga Ley, kalau masih pusing ya, di sini aja dulu."

Siapa namaku yang sebenarnya hingga menyebutku dengan kata 'Ley'? Dia memanggilku dengan panggilan yang setengah-setengah, sehingga membuatku semakin penasaran.

"G-gue nggak betah di sini, pengin pulang," ucapku dengan memelas. "Boleh, ya?"

Pria itu menggeleng pelan. "Ya sudah, tapi besok tetap jangan masuk ke kampus sama kerja, ya?"

"Oke," balasku singkat.

Selama beberapa saat, aku bersiap untuk keluar dari rumah sakit dengan dibantu pria tadi bersama satu suster. Aku mencoba memeriksa papan nama diagnosis yang berada diujung kasurku. Tertera nama "LILIAN ASHLEY" yang membuatku tersenyum tipis. Rupanya, itulah namaku. Jadi, pria tadi yang memanggil sepotong namaku dengan kata "Ley" adalah Ashley. Namaku Ashley.

"Perlu kursi roda? Atau gue gendong aja? Lo bener-bener masih pusing, 'kan? Mending lo duduk dulu aja deh."

Pertanyaan beruntun dari pria tadi telah membuatku bingung untuk menjawabnya. Sikap khawatirnya terlalu berlebihan. Tapi, wajar saja baginya peduli padaku sebaga kekasih, bukan sebatas teman.

"Nggak perlu. Kita Langsung pulang aja."

"Oke deh, ayo cap-cus."

Kami melangkah ke luar dari rumah sakit dan aku mendapati pria tersebut membukakan pintu mobil pada bagian penumpang sebelah pengemudi.

Ingin sekali aku berterima kasih seraya memanggil namanya. Tapi, bagaimana caranya aku memanggilnya?

Akhirnya, perjalanan dimulai tanpa menghabiskan waktu lama. Pria yang belum kuketahui namanya tersebut selalu berbicara dengan berbagai topik yang tidak bisa dimengerti. Dari membahas soal gaji, peliharaannya, wanita asing yang meminta nomor terhadapnya dan seorang pria tua yang berusaha menyalip mobil ketika dia sedang menyebut. Andai saja aku tidak kehilangan ingatan, pasti bisa dimengerti apa yang dia bahas tentang kesehariannya.

Mobil pun telah berhenti pada lapangan parkir di depan gedung apartemen yang kisaran bertingkat lima. Kami keluar dan melangkah masuk menuju lobi, lalu pergi ke lantai tiga.

Benar-benar asing. Aku benar-benar tidak bisa mengingat kenangan semua ini. Semua terasa hampa dan kosong. Omong-omong, dia membawaku ke apartemen siapa? Apakah kami hidup secara bersamaan?

"Hei, lo mau ke mana?"

Sedari tadi, aku hanya melamun dan tidak sadar bahwa sudah berjalan melewati pria itu. Dia sudah memberhentikan langkahnya pada salah satu kamar di koridor ini. Aku mulai uring-uringan. Dengan cepat aku berbalik dan berjalan untuk berdiri di sampingnya.

"Ayo masuk ke apartemen lo," ajaknya.

Sepertinya ini adalah apartemen pribadiku dan dia menungguku untuk membukakan pintu.

Tanganku merogoh-rogoh tas selempang berwarna putih tanpa tertera branded terkenal yang sedari tadi kukenakan. Akan tetapi, usahaku nihil untuk mendapati sebuah kunci.

"Hilang, ya, kuncinya?" tanya pria itu dengan khawatir. "Tenang aja. Cadangannya ada di gue."

Dia menggantungkan kunci pada jarinya tepat di depan mataku. Rasanya aneh, mengapa aku bisa memberi sebuah kunci apartemen pribadi pada seorang pria? Bukankah itu sedikit berbahaya? Sudahlah, aku tidak paham dengan jalan pikiranku saat dulu masih normal.

Kami memasuki apartemen atau lebih tepatnya, apartemenku. Ruangan yang kecil tapi tidak sekecil ruang rawat inap tadi. Hanya terdapat televisi, satu paket sofa tamu yang saling berhadapan dengan meja panjang berisikan vas bunga. Aku bertanya-tanya, apakah aku memiliki teman yang begitu banyak dalam berkunjung hingga memiliki sofa yang memuat banyak tamu?

Selanjutnya, terdapat balkon yang terlihat dari pintu kacanya. Satu kamar tidur dan kamar mandi yang tertutup, sekaligus kitchen set yang sangat rapi. Terlihat begitu bersih dan rapi.

"Gue bersih-bersih apartemen saat lo masih dirawat dirumah sakit." Oh, ternyata dia yang membersihkan. "Apa kepala lo masih sakit?"

Dia bertanya ketika aku sedang memegangi kepalaku. Tentu saja bukan karena sakit, tetapi karena aku berusaha mengingat-ingat hal yang menyangkut pautkan ruangan ini.

"Gue nggak apa-apa kok."

"Kalau masih sakit, gue gendong ke kamar. Kalau bisa, kita balik ke rumah sakit."

Oh tidak, aku tidak ingin dirawat di rumah sakit sendirian hingga tidak dapat berinteraksi pada dunia luar. Hasilnya, lupa akan segala hal, hingga nama, orang-orang terdekat, bahkan lupa kebiasaan manusiawi sehari-hari. Aku tidak ingin seperti itu. Syukurlah seseorang dengan nomor tidak dikenal berhasil memperingatiku akan hal tersebut.

"Nggak perlu. Aku ... gue baik-baik aja," dustaku dengan senyum keki.

"Oke. kalau udah baikan, gue mau kopi," ucap cowok tersebut dengan bersemangat. "Ayo buatin gue."

Merepotkan wanita yang baru saja sembuh. Tidak apa, lagi pula dia pasti banyak membantu ketika aku dirawat inap.

Sebenarnya, apa yang terjadi padaku hingga semua ingatan ini terhempas begitu saja? Apakah aku terbentur dan mempengaruhi saraf otakku? Benar-benar sulit untuk ditebak. Jika saja benar, mengapa dokter tidak bisa menyadari akan penyakit yang menimpaku?

"Hei, mau ngapain?"

Aku tersentak ketika pria itu bertanya saat aku sudah membuka salah satu laci untuk mengambil bubuk kopi.

"Lo beneran mau buatin gue kopi?"

"Iya, lo kan minta kopi?" tanyaku dengan polos.

"Gue nggak suka kopi, dan lo tau itu," timpalnya sembari menatapku lekat-lekat.

Apakah dia bercanda padaku? Sepertinya dia akan memberiku cap sebagai tukang pikun. Sebaiknya aku berpura-pura menyetujui ucapanya, dari pada dia sampai mengetahui akan hilangnya ingatanku dan melemparku ke rumah sakit, itu akan lebih bahaya.

"Jadi, lo mau minum apa?" tanyaku. Semoga saja dia tidak mengetes ingatanku lagi.

"Seperti biasanya dong, Sprite!"

Secepatnya aku membuka kulkas dan mendapati tiga botol besar minuman merk sprite, lalu mengambilnya satu untuk dituangkan pada gelas. Mungkin, aku benar-benar memperhatikannya hingga minuman saja sudah tersedia tiga botol.

Aku menuangkan minuman tersebut pada gelas kaca dan meletakkan di meja depan TV untuk mempersilahkan pria itu alias kekasihku menikmatinya.

Kepalaku menoleh padanya dan mendapati dirinya tertegun tidak jelas.

"Gue, pulang dulu deh. Lo istirahat ya."

Tunggu dulu, bagaimana dengan minumannya? Sepertinya dia dapat membaca pikiranku sebelum berkata, "Minum aja sprite yang udah lo tuangin." Kemudian, dia melanjutkan kalimatnya sebelum aku menyela. "Lagi pula, lo juga suka sprite. Sebenarnya, gue memang suka kopi. Cuma, tingkah lo sedikit aneh tadi."

Ya ampun, aku masih sulit untuk menyesuaikan diri. Baru awal-awal saja sudah dicurigai seperti ini.

"See you, gue pergi ya. Night," pamitnya sembari pergi meninggalkan apartemenku.

Tanpa berpikir macam-macam lagi, aku memasuki kamar tidur dan membuka lemari kayu yang memiliki tiga pintu. Lalu, mendapati baju tidur untuk kupakai malam ini.

Kurebahkan tubuh hingga menatap langit-langit. Apa yang harus aku lakukan esok hari? Kata pria tadi, aku harus beristirahat sehari lagi untuk memulihkan diri. Pada esok hari, aku harus menjalani kehidupan sehari-hari seperti biasa. Aku tidak bisa menjalani hal tersebut tanpa bimbingan orang. Ini sulit, apakah aku harus mengungkapkan kejadian ini dan memohon-mohon agar tidak didepak ke rumah sakit?

TLING!

Muncul notifikasi pesan teks baru dari nomer yang sama saat di rumah sakit.

Inbox || [Unknown number]: Untuk pagi hari, pergilah ke kampus. setelah pulang, masuk kerja di kafe dekat lampu merah yang bernama 'Caffe Clair de lune'.

TLING!

Pesan baru seketika terkirim lagi saat aku baru membuka pesan pertama.

Inbox || [Unknown number]: Tak perlu dijabarkan lebih jelas. Semua akan mudah dipahami ketika mendatangi tempat-tempat itu.

Aku merasa super ingin tahu pada orang yang sedang mengirimkan aku pesan seperti ini. Dari ketikannya saja sudah dapat mengartikan bahwa dia tahu bahwa aku telah kehilangan ingatan. Tanpa ba-bi-bu lagi, aku membalas pesan tersebut.

Resent: Kamu siapa?

Aku mengirim pesan dan seketika mendapat balasan.

Inbox || [Unknown number]: Tebaklah

Ya ampun, di situasi seperti ini saja manusia ini masih bermain tebak-tebakan bersamaku. Tidak aku balas pesan tersebut dan sebaiknya mulai beristirahat sejenak.

Tiba-tiba, perutku berbunyi. Aku baru ingat jika perut ini belum diisi oleh sesuatu sejak tadi. Aku langsung beranjak dari kasur dan segera ngacir ke dapur, lalu memeriksa apakah ada makanan yang bisa dimakan untuk saat ini.

Ternyata ada banyak frozen food dan mi instan. Sebaiknya aku memakan mi instan saja, karena terlalu ribet untuk memasak frozen food. Atau sebaliknya.

Aku melihat tata cara masak mi instan di balik kemasannya. Hanya untuk berjaga-jaga, siapa tahu saja aku melupakan sesuatu hingga ngestuck di tengah proses masak.

TLING!

Terdengar bunyi notifikasi pesan lagi. Aku pun kembali pada kamar tidur dan langsung memeriksa ponsel.

Inbox || [Unknown Number]: Good night. I'll see u letter.

Aku menjadi terus bertanya-tanya, siapa manusia yang sangat mengenalku ini?

- ♧ -

Episodes
1 Prolog
2 1. Lilian Ashley
3 2. First Beginning
4 3. Caffe Clair De Lune
5 4. Sang Pembunuh
6 5. Terbongkar
7 6. Memulai Dari Awal
8 7. Tour
9 8. First Death
10 9. The Second Life
11 10. Semua Menjadi Berbeda
12 11. Mengenal Hal Baru
13 12. Satu Hal Lagi Menjadi Kenyataan
14 13. Si Misterius
15 14. Lagi-Lagi Menjadi Kenyataan
16 15. Kematian Terbaru
17 16. The Third Nightmare
18 17. Paradox (?)
19 18. Ancaman Lain
20 19. Ancaman Lain (2)
21 20. Tertidur
22 21. Apa Yang Sebenarnya Terjadi?
23 22. Melarikan Diri
24 23. Tenggelam
25 24. Fourth Life
26 25. Pernyataan DJ
27 26. Ada Apa Dengan Zack?
28 27. Fakta Yang Terkuak
29 28. Organisasi Cate
30 29. Try to Die
31 30. Kenyataan yang Pahit
32 31. Tour Untuk Kesekian Kalinya
33 32. Berbohong
34 32. Cinta Dan Rasa Takut
35 33. Tanggal 26
36 34. The Most Nightmare
37 35. The Last Death
38 36. Our First Story
39 37. Day-2
40 38. A Love Story Already Begun
41 39. Hari Yang Meresahkan.
42 40. Pantai
43 41. Pendekatan
44 42. Kekasih yang Sebenarnya
45 43. Seorang Psikopat
46 44. Cemburu
47 45. Masa Lalu Zack
48 46. Ponsel Rusak
49 47. Sarana Kematian yang Gagal
50 48. Protektif
51 49. Mimpi
52 50. Kissing
53 51. Posesif
54 52. Permintaan Maaf
55 53. Obsesif
56 54. Obsesif (2)
57 55. Teror yang Sesungguhnya
58 56. Akhir Bagi Segalanya
59 57. Epilog
Episodes

Updated 59 Episodes

1
Prolog
2
1. Lilian Ashley
3
2. First Beginning
4
3. Caffe Clair De Lune
5
4. Sang Pembunuh
6
5. Terbongkar
7
6. Memulai Dari Awal
8
7. Tour
9
8. First Death
10
9. The Second Life
11
10. Semua Menjadi Berbeda
12
11. Mengenal Hal Baru
13
12. Satu Hal Lagi Menjadi Kenyataan
14
13. Si Misterius
15
14. Lagi-Lagi Menjadi Kenyataan
16
15. Kematian Terbaru
17
16. The Third Nightmare
18
17. Paradox (?)
19
18. Ancaman Lain
20
19. Ancaman Lain (2)
21
20. Tertidur
22
21. Apa Yang Sebenarnya Terjadi?
23
22. Melarikan Diri
24
23. Tenggelam
25
24. Fourth Life
26
25. Pernyataan DJ
27
26. Ada Apa Dengan Zack?
28
27. Fakta Yang Terkuak
29
28. Organisasi Cate
30
29. Try to Die
31
30. Kenyataan yang Pahit
32
31. Tour Untuk Kesekian Kalinya
33
32. Berbohong
34
32. Cinta Dan Rasa Takut
35
33. Tanggal 26
36
34. The Most Nightmare
37
35. The Last Death
38
36. Our First Story
39
37. Day-2
40
38. A Love Story Already Begun
41
39. Hari Yang Meresahkan.
42
40. Pantai
43
41. Pendekatan
44
42. Kekasih yang Sebenarnya
45
43. Seorang Psikopat
46
44. Cemburu
47
45. Masa Lalu Zack
48
46. Ponsel Rusak
49
47. Sarana Kematian yang Gagal
50
48. Protektif
51
49. Mimpi
52
50. Kissing
53
51. Posesif
54
52. Permintaan Maaf
55
53. Obsesif
56
54. Obsesif (2)
57
55. Teror yang Sesungguhnya
58
56. Akhir Bagi Segalanya
59
57. Epilog

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!