Part 3

"A--astaga! Bagaimana jika dia ...? Tidak-tidak! Dia tidak akan ." Alana benar-benar panik setengah mati apa lagi mendengar derap langkah besar mendekatinya.

Alana secara perlahan memundurkan langkahnya. Dia benar-benar takut, apakah dirinya akan habis hari ini juga? Apa dia akan menghabisi nyawanya?

"Hufttt! Tenang Alana, ingat pesan komandan dia bisa menc1um ketakutan. Kamu gak boleh takut bersikaplah seperti biasa! Jangan sampai tujuanmu datang ke sini ketahuan."

Alana lagi-lagi mengusap keringat di dahinya, tangannya sendiri terasa dingin. Seolah-olah maut di depan mata.

Alana memejamkan matanya saat sosok itu berada tepat di depannya.

"Apa yang kau bawa?" tanyanya.

"T--tidak! Aku tidak membawa a--apapun," jawab Alana. Dia benar-benar takut jangan sampai karena dia ketakutan dia membongkar rahasianya sendiri.

"Benarkah? Kau tidak membawa sesuatu yang mencurigakan?"

"T--tidak, a--aku bersumpah demi Tuhan. A--aku tidak membawa senjata tajam."

"Kenapa kau ketakutan? Harusnya jika kau tidak membawa senjata tajam atau barang mencurigakan lainnya. Kau tidak perlu takut seperti ini," ujarnya mendekati Alana.

"A--aku baru di sini. A--aku tidak terbiasa dengan l--lingkungan s--seperti ini, jadi aku mohon jangan sakiti aku!"

"Hei, Nona. Siapa yang mau menyakitimu? Kau baru berhadapan denganku saja sudah ketakutan. Apa lagi jika kau berhadapan dengan Kak Levin , kurasa kau akan pingsan."

Jadi dia ini bukan Levin, syukurlah.

"Ka--kau bu--bukan Levin?"

"Iya, kenalkan aku. Rendra anak dari paman dan bibi kak Levin."

Alana berusaha menetralkan ketakutannya. Dia tidak boleh curiga, walaupun dia ini bukan Levin yang dimaksud tapi kalo dirinya ketahuan sudah pasti dirinya akan habis.

"Ma--maaf, aku tidak tahu."

"Tidak masalah, ngomong-ngomong apa kau membawa ponsel?"

"I--iya."

"Berikan!"

"A--apa! Kenapa a--aku harus memberikan p--ponselku?"

"Kau ini, 'kan perancang pesta apa atasanmu tidak memberitahu, kalo selama kau di sini ponsel tidak diperkenankan, itu yang membuat saat kau melewati alat deteksi berbunyi, berikan!"

Alana dengan ragu menyerahkan ponsel miliknya, tapi bagaimana dia menghubungi kedua orang tuanya nanti? Sudahlah dia pikirkan nanti saja yang terpenting dia bisa lolos.

"Untuk sementara ponselmu aku berikan kepada staf. Nanti setelah acara ini selesai kau bisa mengambilnya."

"Baik."

Pria yang bernama Rendra tadi akhirnya pergi meninggalkan dirinya, Alana bisa menarik nafas lega.

"Syukurlah, aku pikir dia akan tahu kalo kalung yang kupakai ini ada alat komunikasi dengan dunia luar. Aku harus memberi tahu komandan bahwa aku sudah masuk ke dalam rumah milik Levin."

Alana dengan segera menekan tombol merah dibalik kalung hati yang dia pakai, kalung hati itu menyala itu artinya dia sudah terhubung.

"Komandan aku sudah masuk ke dalam, nanti aku akan pergi ke beberapa tempat untuk mencari tahu Devano berada di mana."

Tiit!

"Kau hebat Alana. Kau bisa masuk ke rumah milik mafia itu tanpa ketahuan."

"Apa komandan yakin Alana bisa kita percaya?" tanya rekannya.

"Hanya waktu yang akan menjawab."

Alana mulai merapikan penampilannya. Dia harus bersikap normal.

Alana dengan hati-hati mulai memasuki area pesta, banyak sekali orang dan wanita-wanita cantik di sini. Ini bukan pesta pertemuan biasa.

"Aku harus mencari Devano di mana? Tempat ini begitu luas."

Saat Alana sibuk celingak-celinguk mencari sesuatu yang bisa membantunya menemukan Devano. Dikagetkan dengan kehadiran Rendrai tiba-tiba.

"Apa yang kau cari?"

"Ah!"—Alana lagi-lagi mengusap wajahnya. "Tidak, tidak ada. Sudah kubilang aku baru di tempat seperti ini, jadi sedikit bingung," jawabnya berusaha senormal mungkin.

"Apa kau mau aku membantumu?" tanyanya dengan nada yang aneh di telinga Alana.

"Ti--tidak! Aku bisa ...."

"Benarkah?"

Happ.

Rendra menarik pinggang Alana. Alana berusaha untuk mendorong tubuh besar milik Rendra, tapi sayangnya tenaganya tak sekuat itu.

"Aku mohon, le--lepas! Banyak orang yang melihat. A--apa kau tidak malu?" Alana masih berusaha melepaskan tangan Rendra.

"Untuk apa aku malu. Aku sudah terbiasa dengan ini, kau mau menjadi temanku malam ini?"

"Teman apa?" dengan tangan yang masih berusaha melepaskan tangan Rendra darinya Alana bertanya.

"Teman tidur."

"Jangan kau berpikir aku orang baru dan tidak tau apa-apa. Sesukamu kau bisa merayuku dan mengajakku melakukan hal-hal bodoh itu!"

"Hal bodoh katamu? Tapi itu menyenangkan."

"Menyenangkan hanya bagi mereka yang tidak tau aturan dalam berteman atau berhubungan tanpa adanya ikatan sah, apakah kau seperti itu?"

"Iya, aku memang seperti itu."

"Itu artinya kau bodoh!"

"Kau!"

Rendra semakin mencengkram kuat pinggang Alana, apa katanya tadi? Dia bodoh. Berani-beraninya dia. Dia tidak tahu saja siapa dirinya.

"Kau memang bodoh karena mencari kesenangan dunia dengan paksaan."

"Aku tidak pernah memaksa mereka. Mereka sendiri yang mau tidur denganku."

"Hem, itu artinya kau meniduri wanita murahan dan tidak berkelas."

"Apa maksudmu?"

"Karena wanita yang mahal dan berkelas tidak akan mau diajak berbuat zina, yang kau lakukan selama ini adalah perbuatan buruk. Mungkin di mata orang-orang di sekitarmu perbuatanmu berkelas, tapi di mataku kau rendahan!" ujar Alana penuh penekanan.

"Jangan pernah kau memancing emosi seorang Rendra!"

"Memangnya apa yang bisa orang rendahan sepertimu lakukan, hah?!"

Rendra mencengkeram kuat-kuat pinggang Alana. Alana berusaha melepaskan cengkraman tangannya.

"Aku bilang lepaskan!"

"Kau tidak akan aku lepaskan sebelum kau bertekuk lutut di hadapanku."

"Tidak akan pernah!"

Semakin kuat cengkramannya semakin kuat pula Alana berusaha melepaskannya.

"Lepaskan dia. Rendra!"

"Tidak akan."

"Rendra, kuperintahkan lepaskan dia!"

Rendra dengan terpaksa melepaskan cengkraman pinggang Alana, setelah itu dia pergi meninggalkan Alana.

"Siapa kau?" tanyanya pria tersebut.

"Apa dia Le-Levin?' batin Alana saat menangkap sosok Pria bertubuh kekar di depannya yang melihat dirinya dengan tatapan dingin.

"Kalo memang benar aku harus hati-hati, tatapannya menjelaskan dia orang yang berbahaya."

"Aku tidak suka mengulangi pertanyaannyaku," ujarnya.

Alana dibuat gelagapan, lagi-lagi keringat dingin membasahi tangan dan dahinya.

"A--aku perancang pesta."

"Kau perancang pesta, tapi kenapa kau berkeringat?"

Alana mengusap dahinya. Dia benar-benar teliti.

"A--aku baru menangani pesta seperti ini, jadi aku sedikit gugup."

"Pastikan pesta ini berjalan dengan lancar, karena aku tidak suka sesuatu yang merusak keindahan."

"I--iya."

Levin pergi meninggalkan Alana yang sudah hampir pingsan rasanya, berhadapan dengan orang seperti Levin ini memang menegangkan. Lebih menegangkan dari pada masuk kandang harimau.

"Hampir saja ...." Alana menarik nafas panjang-panjang. Dia harus melanjutkan misinya.

Alana mulai berjalan ke beberapa sudut ruangan yang ada di rumah mewah ini.

"Di rumah miliknya dia memiliki pintu rahasia, cari pintu itu! Karena aku yakin Devano ada di sana."

Alana terus beraba-raba setiap tembok, yang namanya pintu rahasia pasti tidak akan mudah ditemukan.

"Aku harus cepat, sebelum ada yang melihat." Batinnya.

"Sedang apa kau?"

Deg.

Astaga! Bagaimana ini?

"A--aku ...."—Alana membalikkan badannya. "A--aku sedang ...?"

"Sedang apa?"

"Eehh ...? Aku?"

Bagaimana ini? Apa yang harus dia katakan.

"Aku tahu kau sedang apa."

"Apa dia tahu kalo aku sedang mencari pintu rahasia?"

Alana kembali mengusap keringat di dahinya, habislah.

BERTEMBUNG.....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!