Tujuh Tahun berlalu.
"Tante beneran mau pergi sendiri? Kalau tante nggak keberatan, nggak apa-apa kok kalau Gita yang mewakilkan tante" kata Gita, gadis remaja berusia 14 tahun yang masih SMP.
"Iya, biar Lia datang sama kak Gita saja, ma" ucap Lia, anak Viviane yang kini sudah berusia enam tahun.
Viviane tersenyum haru, begitu besar rasa empati di hati Lia kecil. Meski dia masih seorang anak TK, namun dia sangat pengertian padanya.
"Nggak apa-apa sayang, mama kuat kok. Nanti setelah pulang dari acara sekolahnya Lia, sekalian kita mampir ke klinik ya. Mama kau periksa" jawab Ane.
"Kan masih ada Gita, tante. Tante bisa menyerahkan semua urusan ini sama Gita" kata Gita lagi, rupanya gadis remaja itu masih mengkhawatirkan kondisi Ane.
"Makasih ya Gita cantik. Tapi beneran kok Tante masih kuat. Lagian kamu kan masih belum dewasa untuk mewakilkan tante datang di acara sekolahnya Lia" kata Ane sambil memoleskan lipstik berwarna nude di bibir tipisnya.
Gita adalah gadis remaja anak dari Bu Lisa, orang yang dipercaya oleh Ane untuk menjada Lia saat dia sibuk bekerja.
Gadis remaja itu memilih untuk home schooling setelah mendapatkan aksi bullying saat masih SD. Tapi dengan bantuan psikiater dan beberapa les bela diri yang orang tuanya berikan, Gita sudah memutuskan untuk sekolah formal biasa saat nanti masuk SMA.
"Yasudah kalau Tante nggak mau Gita wakilkan" ujar Gita santai, dia sudah menganggap Ane dan Lia seperti saudaranya sendiri.
"Kita berdua berangkat dulu ya, Gita. Nanti setelah selesai kalian boleh main lagi" ucap Ane yang sudah siap untuk pergi.
"Tante naik apa?" tanya Gita.
"Tuh, sudah ditungguin sama taksinya" jawab Ane sambil menunjuk sebuah mobil Avanza yang terparkir di depan rumahnya.
"Dah kak Gita, nanti kita lanjutin nonton drakor ya" kata Lia sambil melambaikan tangan.
"Kalian sering nonton drakor ya?" tanya Ane setelah keduanya duduk manis di dalam taksi.
"Iya, ma. Filmnya bagus. Tapi Lia juga suka lihat film action yang banyak berantemnya, seru" kata Lia heboh.
Ane hanya tersenyum mendengar penuturan anaknya. Dia tak menyangka ternyata sudah bisa melangkah sejauh ini.
Melihat pertumbuhan Lia yang sangat baik, dikelilingi orang-orang baik yang menyayanginya dengan sepenuh hati.
Tiba-tiba membuat kepala Ane kembali berdenyut sakit. Dia sedang demam, mungkin vertigo nya kambuh karena beberapa hari ini dia tengah sibuk menyelesaikan skripsinya, bekerja dan tentunya mengurus Lia.
"Mama sakit?" tanya Lia khawatir saat Ane memegangi kepalanya.
"Enggak sayang, cuma sedikit pusing saja" jawab Ane sembari memeluk gadisnya.
Sampai di sekolah Lia, suasana sudah sangat ramai karena para wali murid yang berdatangan bersama anak-anaknya.
"Lia, kau sudah datang? Aku sangat senang melihatmu" ucap Johan, teman sekelas Lia.
"Hai tante, kau terlihat sangat cantik" ujar Johan sembari menyalami Ane.
"Kau masih kecil tapi sudah pandai memuji ya, Johan" kata Ane, dia tahu tentang pria kecil ini saat Lia bercerita.
"Ah sudahlah ma, jangan perdulikan dia. Ayo Johan, kita siap-siap untuk tampil. Mama tunggu di dalam ya, jangan pergi sebelum acaranya usai. Karena Lia hari ini tampil untuk menari dan menyanyi" kata Lia sambil melambaikan tangannya.
Ane hanya menggeleng dan tersenyum, sudah sejak kemarin anak itu mengingatkan Ane agar melihat penampilannya hari ini.
Memasuki ruangan, Ane memilih untuk duduk di bangku deretan depan karena ingin membuat Lia lebih bersemangat saat tampil.
Meski masih merasakan denyutan yang cukup menyakitkan, Ane harus bisa menahannya demi memberikan sedikit kebahagiaan untuk gadis kecilnya.
Acara demi acara sudah di mulai, sudah tiba giliran Lia unjuk kebolehannya bersama dengan Johan sebagai teman duetnya.
Lia sebagai penyanyi dan Johan sebagai pemain gitar. Sebuah lagu berjudul Bunda, tengah dibawakan dengan baik oleh Lia dan Johan.
Semua penonton dibuat berkaca-kaca dengan penampilan duet mereka. Tak terkecuali Ane yang juga menangis sesenggukan mengingat sang ibu yang malah tega membuangnya disaat dia sedang dalam masalah dulu.
Gemuruh tepuk tangan mengiringi usainya penampilan Lia dan Johan. Para penonton sampai berdiri dan tak sedikit para ibu yang berair mata.
"Mama bangga sekali padamu, nak. Kau tumbuh dengan sangat baik" kata Ane dalam hatinya sambil menyeka air matanya yang masih saja meleleh.
Saat Ane ikut berdiri, tiba-tiba kepalanya terasa sangat pusing. Ditambah lagi tadi dia belum sempat sarapan karena takut terlambat untuk mendatangi acara hari ini.
Brugh!!
Ane sudah tak sadarkan diri setelah beberapa saat mencoba kuat untuk berdiri dan bertepuk tangan.
"Mama" teriak Lia yang melihat mamanya ambruk.
Gadis kecil itu berlari menuruni panggung diikuti Johan yang ikut berlari di belakangnya.
"Tolong minta bantuannya ya bapak-bapak, kita bantu bawa bu Ane ke unit kesehatan" kata seorang guru Lia yang mengenal Ane.
"Mama... Mama... Tolong bantu mamaku" suara kecil Lia seolah tertelan tangisannya.
"Tenang ya Lia, mama kamu sedang dalam pertolongan" hibur Johan.
Melihat sang anak yang menghibur temannya, Orang tua Johan mendekati anaknya dan melihat keributan kecil yang terjadi.
"Johan, kenapa sayang?" tanya mama Johan.
"Mamanya Lia pingsan, ma" kata Johan sambil menunjuk pada beberapa orang yang berusaha menolong Ane.
Dan saat Papa Johan menoleh pada arah pandang anaknya, betapa terkejutnya dia saat mengetahui siapa yang tengah ditolong oleh orang-orang yang kebanyakan adalah seorang pria.
"Minggir, pergi. Lepaskan tangan kalian darinya" teriak papa Johan seolah tak bisa mengontrol dirinya sendiri.
Pria itu menghempaskan beberapa tangan lelaki yang berusaha menolong Ane. Dan segera menggendong Ane seorang diri menuju ke unit kesehatan dengan panduan seorang guru Lia. Tak lupa Lia yang sejak tadi juga mengekor kemanapun mamanya dibawa.
"Papa kenapa, ma?" tanya Johan heran dengan sikapnya.
"Mama juga tidak tahu, sayang. Sebentar mama kejar papamu dulu" kata mama Johan geram, dia berbalik menuju kursinya untuk mengambil tas sebelum mengejar suaminya.
Wanita itu setengah berlari agar tak kehilangan jejak suaminya yang terlihat bingung karena wanita lain.
"Bapak bisa meletakkan bu Ane di ranjang ini, pak. Agar dokter sekolah bisa memeriksanya" ujar guru Lia setelah masuk ke unit kesehatan.
"Tolong tinggalkan ruangan ini dulu ya, pak. Biar saya bisa memeriksa dengan baik" ujar sang dokter yang tak melihat pergerakan dari Papa Johan setelah meletakkan Ane diatas ranjang.
Dan saat mendengar rintih tangis seorang gadis kecil, membuat perhatian Papa Johan teralihkan.
Diapun berjongkok dan memegang kedua bahu Lia yang sedang menangis sambil memanggil mamanya.
"Apa dia ibumu, gadis kecil?" tanya Papa Johan.
Lia hanya mengangguk.
"Sebaiknya kita keluar dulu ya, biarkan bu dokter memeriksa ibumu" kata Papa Johan berusaha menenangkan Lia.
Melihat Lia yang bergeming, Papa Johan berinisiatif untuk menggendongnya keluar ruangan.
Dan entah bagaimana bisa, Lia menurut saja padanya.
"Siapa namamu?" tanya Papa Johan setelah mendudukkan Lia di kursi, di depan unit kesehatan.
"Saya Angelia, om" jawab Lia yang masih menangis kecil.
"Baiklah, Angelia. Apa yang terjadi pada mamamu?" tanya Papa Johan lagi.
"Panggil aku Lia saja, om" tegas Lia.
"Tadi mama bilang sedikit pusing, dan mengajakku ke klinik setelah pulang dari sekolah. Tapi mama malah pingsan" kata Lia yang masih sesenggukan.
"Tenang ya sayang, semoga mamamu cepat sembuh" kata Papa Johan sambil mengangkat Lia dan memeluknya setelah mendudukkan gadis kecil itu dalam pangkuannya.
Entah mengapa hatinya terasa tersentuh melihat Lia kecil yang tengah bersedih. Hati papa Johan terasa bergetar melihat kesedihannya, perasaan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.
"Apa yang kamu lakukan, Vik?" Ruby, mama Johan setengah berteriak saat melihat suaminya memeluk gadis kecil dalam pangkuannya.
"Lia, kamu baik-baik saja?" tanya Johan yang ikut khawatir, diapun duduk disamping papanya.
"Aku baik, Jo. Mamaku yang pingsan di dalam sana" ucap Lia sambil menunjuk pintu yang masih tertutup.
"Tenanglah, mamamu pasti segera sembuh" kata Papa Johan dengan sabar, sambil membelai rambut Lia.
"Turunkan anak itu, Vik. Dan kita pergi dari sini" kata Ruby yang sejak tadi tak dianggap kehadirannya oleh sang suami.
"Diam kau, Ruby" bentak Vicky, papa dari Johan.
"Turunkan dia, dan kita pergi dari sini" bentak Ruby tak mau kalah.
Segera wanita itu menurunkan paksa Lia dari pangkuan Vicky agar duduk sendiri di kursi. Dan diapun menarik tangan Vicky dengan paksa dan mengajaknya pergi, tak lupa membawa Johan di tangannya yang lain.
Merasa malu dengan perlakuan Ruby, Vicky terpaksa menuruti kemauannya daripada harus menjadi tontonan orang lain.
"Sampai bertemu lagi, Lia" kata Johan sambil melambaikan tangannya saat pergi.
Beruntung gurunya segera datang menemani Lia selepas Johan dan orang tuanya meninggalkannya sendirian di depan pintu ruangan unit kesehatan.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments