Viviane dan Vicky hanya bisa menunduk dalam setelah keduanya memutuskan untuk sama-sama jujur pada orang tua Vivi terlebih dahulu, rencananya setelah ini mereka akan menemui orang tua Vicky.
Ditemui oleh ayah, ibu dan kakak laki-lakinya, Viviane sudah sedikit lega karena Minggu pagi ini dia sudah jujur mengenai kehamilannya dandan mengutarakan rencana untuk meresmikan hubungannya.
"Ayah sangat kecewa sama kamu, Vi. Anak gadis ayah yang sangat ayah banggakan ternyata sudah mencoreng wajah ayah. Bukan hanya wajah ayah yang malu, Vi, tapi hati ayah sangat sakit" ucap lelaki paruh baya yang bahkan sampai meneteskan air matanya sesaat setelah kedua sejoli ini mengakui perbuatannya.
"Bahkan ibu sudah mendidik kamu dan kakak kamu dengan sangat ketat, Vi. Lihatlah kakakmu, dia adalah lelaki. Tapi tidak pernah sekalipun dia terjerumus ke hal-hal menjijikkan seperti yang sudah kalian perbuat" kali ini sang ibu yang berbicara sambil mengelus-elus dadanya karena terasa sangat sakit.
"Jujur kakak tidak tahu harus bersikap bagaimana, Vi. Yang jelas kakak sangat kecewa dengan kalian berdua. Kepercayaan yang sudah kami berikan ternyata sudah kalian manfaatkan dengan sangat baik, KAKAK KECEWA VI" bentak sang kakak di akhir penuturannya.
Tanpa banyak kata, pria yang dua tahun lebih tua daripada Vicky itu melayangkan tonjokan maut ke wajah tampan Vicky hingga ujung bibirnya berdarah, dan membuatnya tersungkur di lantai.
"Kak, sudah kak. Jangan begini. Kasihan bang Vicky. Lagipula semua ini bukan sepenuhnya salah bang Vicky. Kami berdua bersalah, kak" ucap Viviane sambil membantu Vicky bangun, dengan air mata yang sudah berlinang.
Vicky menyadari kesalahannya sudah sangat fatal. Dia pantas menerima yang lebih buruk daripada itu jika keluarga Viviane harus membalasnya.
"Sekarang, lebih baik kita temui orang tua kamu, Vik. Ayah tidak mau kalau sampai kamu cuma mempermainkan anak saya. Buktikan tanggungjawab kamu sebagai seorang lelaki sejati" kata ayah Viviane.
"Iya, om. Vicky akan mengajak om, tante dan kak Brian untuk ke rumah saya sekarang juga. Karena memang rencana saya setelah dari sini adalah ke rumah saya untuk mengatakan semuanya pada orang tua saya" ajak Vicky tanpa berani menatap keluarga Vivi yabg sedang marah.
"Tapi Brian tidak bisa menemani ayah dan ibu, hari ini juga Brian harus pergi dinas ke Kalimantan kan, yah" ujar Brian, kakak Viviane yang anggota TNI.
"Berangkatlah, nak. Doa kami senantiasa bersamamu. Semoga kamu lancar di dalam tugasmu. Dan percayakan urusan ini pada ayah dan ibu" ucap sang ayah memberi restu.
Karena memang rencananya hari ini mereka semua akan mengantarkan Brian ke markasnya untuk melepas kepergian dinasnya selama tiga tahun ke depan.
Kini, keluarga itu berjalan terpisah. Vicky, Viviane, ayah dan ibunya pergi mengendarai mobil Vicky ke rumahnya. Sedangkan Brian memilih untuk menggunakan jasa taksi online untuk pergi dinas.
Perjalanan yang mereka lalui hanya dalam keadaan hening. Tak satupun dari mereka bersuara. Amarah masih terlihat nyata di wajah sang ayah. Sedangkan ibu Vivi masih berusaha meredamnya.
Sampai di pelataran rumah mewah milik keluarga Alexander, ayah dan ibu Viviane sedikit kagum. Tapi hal itu tak serta merta membuat amarahnya mereda, bahkan beliau harus bersiap dengan hal seburuk apapun nanti yang akan terjadi.
"Papa ada, bik?" tanya Vicky saat menuruni mobil dan mempersilahkan keluarga Viviane masuk.
"Oh, ada den. Tuan dan Nyonya sedang di halaman belakang. Biar bibik panggilkan ya den?" tanya sang bibik yang mengetahui jika ada rombongan datang.
"Iya, tolong ya bik" kata Vicky sopan.
Art itu pun undur diri dan segera menyampaikan pesan Vicky pada tuannya.
Tak berapa lama, tampak sepasang suami istri datang. Wajah berwibawa dari keduanya menyiratkan orang yang sangat terpandang dan berpengaruh.
"Pa, ma. Kenalkan ini Viviane dan orang tuanya" kata Vicky sedikit kikuk, kini dia merasa sangat takut pada papanya.
"Oh, Viviane yang katanya kekasih kamu itu ya Vik?" tanya papanya sedikit bercanda, raut wajah takut anaknya membuat beliau merasa bahwa ada hal tak baik yang sedang terjadi.
"Bibir kamu kenapa, Vik? Kenapa jontor begitu?" tanya mama Vicky saat menyadari wajah tampan anaknya sedikit terluka.
"Nggak apa-apa kok, ma" ucap Vicky sambil menunduk.
"Jadi, ada keperluan apa sampai orang tua Viviane datang ke rumah kami? Ayo, silahkan duduk dan silahkan dinikmati juga hidangannya" ucap papa Vicky santai, tapi aura keangkuhan sangat terlihat dari cara beliau duduk.
"Baiklah, saya tidak mau berbasa-basi lagi pak, Bu" ucap ayah Vivi, membuat papa dan mama Vicky memperhatikan beliau dengan seksama.
"Baiklah, silahkan utarakan maksud kedatangan anda berdua" kata papa Vicky.
"Anak gadis saya ini hamil pak, bu. Dan Vicky adalah pria yang harus bertanggung jawab atas kehamilan anak saya" kata ayah Vivi to the poin.
Dan benar saja, papa dan mama Vicky langsung menatap tajam pada sang anak. Anak tunggalnya yang baru saja menjadi sarjana itu sudah berbuat hal yang memalukan bagi keluarga.
"Apa benar yang bapak ini sampaikan, Vicky?" tanya Papanya penuh tekanan, nyali Vicky semakin menciut kali ini.
Belum lagi sempat menjawab, tanpa permisi dan penuh linangan air mata, Ruby datang dan langsung berlutut di pangkuan mama Vicky. Memang hubungan keluarga Ruby dan Vicky sudah terjalin sejak bertahun-tahun silam.
"Tante, jangan percaya pada mereka. Karena sebenarnya Ruby lah yang sedang hamil anaknya Vicky, dan anak kecil ini malah ingin merebut Vicky agar tidak mau bertanggung jawab atas kehamilan Ruby, Tante" ucap Ruby sambil sesenggukan.
Bagai tersambar petir di siang bolong, Vicky dan Viviane kini terpaku di tempatnya setelah mendengar pengakuan Ruby.
"Kamu jangan mengada-ada ya, Ruby. Kita berdua hanya sebatas sahabat sejak kita masih kecil. Jangan rusak persahabatan kita dengan kebohongan kamu yang seperti ini, By" kata Vicky yang masih syok.
"Jadi kamu mau mengelak, Vic? Aku ada buktinya. Semua foto ini adalah bukti kebersamaan kita waktu itu di hotel" kata Ruby sambil memperlihatkan beberapa lembar foto pada semua orang.
"Vicky, anak kurang ajar" ucap ayah Vivi sambil kembali memberi bogem mentah di wajah tampan Vicky.
"Jaga kelakuan bapak, ya. Jangan berbuat onar di rumah saya" teriak mama Vicky sambil merangkul anaknya.
"Ma, tolong percaya sama aku. Aku nggak pernah melakukan itu selain sama Viviane, ma. Sumpah, cuma Viviane yang sedang mengandung anakku" kata Vicky berusaha menjelaskan.
"Jadi, kamu mau berkilah untuk tak bertanggung jawab terhadapku, Vik? Aku tahu kita sahabat, tapi saat ini keadaannya lain, Vik. Memang kita melakukannya saat sama-sama mabuk setelah sidang skripsiku lulus waktu itu" ucap Ruby yang masih berair mata.
Sedangkan Viviane yang sudah terlalu syok, sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Hatinya terlalu terluka menghadapi semua hal yang menimpanya.
"Baiklah, jika memang kamu tidak mau bertanggung jawab, biar aku bilang sama papa aku saja. Biar urusan ini menjadi urusan papaku dan papamu" ancam Ruby yang mengetahui hubungan bisnis serius antara papanya dan papa Vicky.
"Kamu tenang ya, Ruby. Om pastikan jika Vicky pasti akan bertanggung jawab sama kamu. Dan untuk kamu Viviane, sebutkan berapa nominal yang harus saya keluarkan untuk membungkam mulut keluarga kamu.
Dan jangan sampai masalah ini diketahui publik karena saya tidak mau nama baik keluarga saya tercoreng" ucapan papa Vicky membuat ayah Vivi naik pitam.
Wajah ayah Vivi memerah dan harga dirinya seolah terinjak-injak. Sebagai seorang ASN yang dikenal berwibawa di tempat tinggalnya, tentu ayah Vivi tidak terima dengan penuturan papa Vicky.
"Bapak tidak perlu repot-repot, karena kami bukanlah orang miskin yang memerlukan kucuran dana dari keluarga sombong ini. Kami hanya meminta pertanggung jawaban yang ternyata hanyalah sebuah hal remeh menurut keluarga bapak" ucap ayah Vivi yang sudah marah.
"Saya tidak menyangka keluarga yang katanya terpandang dan berjiwa sosial tinggi seperti keluarga Alexander ini ternyata tidak lebih dari keluarga penghancur. Ingat pak, suatu saat nanti, saat karma menghampiri keluarga bapak, maka kalian akan mengingat kami yang telah kalian sakiti" lanjut ayah Vivi yang masih emosi.
"Ayo kita pulang, Bu. Percuma kita kesini kalau hanya dipermalukan" kata ayah Vivi sambil menarik tangan istri dan anaknya.
"Om, tunggu om. Tolong jangan bawa Vivi pergi, saya akan bertanggung jawab padanya, om" kata Vicky memelas, memegangi tangan ayah Vivi yang ternyata dihempasnya.
"Pengawal, bawa Vicky ke kamarnya. Kunci pintunya dan jangan biarkan dia keluar. Karena besok dia akan saya nikahkan dengan Ruby" teriak Papa Vicky yang membuat langkah ayah Vivi terhenti sesaat.
Namun, tanpa menoleh beliau kembali menarik tangan kedua wanitanya dan segera menghentikan taksi yang kebetulan lewat di depan rumah mewah keluarga Alexander.
Tak ada obrolan apapun di dalam taksi yang mereka tumpangi sampai mereka sampai di rumahnya.
"Vi, mulai sekarang kamu bukan lagi anak ayah. Segera kemasi barang-barang kamu dan pergi dari rumah ini sebelum perut kamu semakin membesar dan mempermalukan ayah dan ibumu. Pergi hari ini juga atau ayah yang akan membuangmu".
Lagi, kesialan kembali menimpa Viviane. Setelah mendengar penolakan keluarga Vicky, sekarang ayahnya yang mengusirnya dari rumah. Sedangkan sang ibu hanyalah wanita yang terlalu patuh pada suaminya.
Dengan langkah gontai, Viviane memasuki kamarnya dan mengemasi pakaiannya. Dia sudah tak bisa lagi bersedih. Air matanya sudah tak lagi turun.
Menggunakan koper kecilnya, Viviane sudah bertekad untuk pergi. Dan kini, tujuannya ada Sisil dan Vera. Semoga kedua sahabatnya bisa memberinya solusi saat semua orang menjauhinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments