"Hah, lo serius mau pindah?" tanya Sisil kembali meyakinkan Viviane.
"Iya, gue cuma mau membuka lembaran baru di tempat baru, dimana tidak ada bayang-bayang masa lalu yang membuat gue ingat pada orang-orang yang sudah membuang gue dan anak gue, Sil" kata Viviane.
Sedangkan Vera masih belum bisa menghentikan air matanya yang terus mengalir.
"Nasib lo begini amat Vi. Gue nggak nyangka kalau bang Vicky sekejam itu sama lo" kata Vera.
"Makanya Ver. Gue mau pergi saja dari kota ini, dan membuka lembaran baru di kota yang jauh yang tak ada satu orangpun kenal sama gue. Dan gue rasa, Jakarta adalah tempat yang tepat" kata Viviane penuh keyakinan.
"Sebenarnya gue punya satu saudara di Jakarta sana Vi. Nasibnya nggak jauh beda sama lo. Cuma dia memilih untuk menggugurkan kandungannya setelah pergi jauh. Apa lo mau kalau gue titipin sama saudara gue itu?" Saran Vera.
"Gue rasa Vera kali ini benar, Vi. Secara lo kan cantik. Gue khawatir kalau lo sendirian di tempat yang baru, malah membuat lo semakin frustasi karena nggak punya teman. Dan jangan lupakan banyaknya orang jahat di jalanan sana, Vi. Kalau memang lo sayang sama bayi lo, pikir saja hal itu" ujar Sisil.
"Tapi, apa saudara lo mau nampung gue Ver? Gue takut malah menjadi beban dia doang" kata Viviane.
"Gue yakin dia bakalan mau nolongin lo. Karena dia itu orangnya baik banget meski kelihatannya sangat judes" kata Vera.
"Sebentar gue telepon dia dulu ya" kata Vera lagi.
Dan Viviane hanya bisa mengangguk karena memang pikirannya sudah buntu.
Vera sedikit menjauh dari kedua sahabatnya, mungkin ada beberapa hal yang akan dibuatnya sedikit berlebihan agar saudaranya itu mau menerima Viviane di rumahnya.
Cukup lama Vera berhubungan dengan saudaranya melalui telepon. Sekitar lima belas menit barulah Vera kembali menemui kedua sahabatnya.
"Bagaimana Ver?" tanya Sisil sedikit antusias.
Vera melengkungkan bibirnya, "Tuh kan, apa gue bilang. Saudara gue mau nerima lo di tempat tinggalnya.
"Beneran Ver?" tanya Viviane senang.
"Iya benar. Lo yang kuat ya Vi. Semoga masa depan lo memang lebih baik di tempat yang baru. Kita selalu mendoakan yang terbaik untuk lo dan calon keponakan kita, iya kan Sil?" kata Vera yang untuk malam ini terlihat lebih dewasa.
Sisil hanya mengangguk, lantas memeluk kedua sahabatnya sekaligus. Pelukan ala Teletubbies yang mungkin akan menjadi pelukan terakhir bagi mereka bertiga.
Malam ini juga Viviane pergi, dengan bekal seadanya dan sebuah koper kecil di tangannya. Menggunakan kereta api terakhir menuju Jakarta.
Air matanya terus saja turun, sejak tadi dia menahan agar cairan bening itu tidak sampai jatuh saat kedua sahabatnya masih bersama.
Tapi sekarang, saat dia sudah sendirian di jalur kereta malam yang cukup sepi, Viviane sudah tak bisa menahan semuanya.
"Hati-hati ya Vi, ingat untuk kabari kita kalau sudah sampai" ucap Sisil sambil berlinang air mata saat melepas kepergiannya tadi.
"Lo hubungi nomor tante gue ya kalau sudah sampai. Dia pasti bakalan terima lo dengan baik disana. Semoga lo dan kandungan lo selalu sehat ya Vi" ucap Vera tak kalah sendu.
"Makasih ya Sil, Ver. Cuma kalian berdua yang tetap ada di samping gue saat semua pergi. Gue nggak bakalan pernah lupain kebaikan lo berdua" kata Viviane seraya memasuki gerbong lebih dalam.
Kini dia sudah disini, perjalanan panjang yang akan dia lalui membuatnya bisa beristirahat barang sejenak.
Pagi menjelang, Viviane dibangunkan oleh kondektur yang mengingatkan jika stasiun sudah dekat.
Turun dari kereta, Viviane segera menghubungi nomor ponsel yang Vera bilang adalah milik tante Prita.
"Iya hallo, kamu Viviane ya?" sapa orang dari seberang sana, rupanya Vera sudah memperkenalkannya.
"Iya, kak. Saya sudah turun dari kereta, sekarang saya harus kemana?" tanya Viviane bingung, karena memang ini perjalanan pertamanya.
"Kamu tunggu disitu ya, ehm... Maksudku tunggu diluar stasiun, aku sudah dekat dengan lokasimu" kata tantenya Vera.
"Iya, saya tunggu diluar stasiun" jawab Viviane menurut.
"Huft, semoga keputusanku sudah benar, selamat tinggal masa lalu. Semoga di masa depan semua akan jauh lebih baik. Hanya ada kita berdua ya sayang, mama dan kamu" ucap Viviane sambil mengusap perutnya yang masih rata.
Tak butuh waktu lama, sebuah city car sederhana berwarna merah berhenti di depan Viviane. Seorang wanita cantik terlihat melongok dari jendelanya.
"Kamu Viviane?" tanya wanita itu.
Viviane tersenyum sambil mengangguk ramah, "Iya saya Viviane" jawabnya, tak ada lagi pembicaraan antara keduanya. Mereka masih sama-sama merasa canggung.
"Ayo masuk" kata wanita itu mempersilahkan Viviane masuk ke dalam mobilnya.
"Nama saya Prita, terserah kamu mau panggil apa. Setelah saya antar kamu pulang, kamu istirahat saja ya. Karena saya harus segera ke kantor" ucap Prita, wanita ini terlihat sangat sibuk.
"Iya, maafkan saya sudah merepotkan kakak" kata Viviane yang tak enak hati.
"Hei, tenang saja. Saya paham tentang kondisi kamu. Saat orang lain bertanya, bilang saja kamu saudara saya dari kampung dan baru saja menjanda karena suami kamu meninggal. Ok?" kata Prita.
"Iya kak. Sekali lagi terimakasih, dan maafkan saya yang sudah merepotkan kakak" kata Viviane.
Prita menoleh sejenak, dia jadi teringat masa lalunya yang hampir mirip dengan Viviane. Tapi bodohnya dia malah menggugurkan bayinya setelah lari ke kota ini.
"Nah, kita sudah sampai. Ini rumah kontrakan saya. Ada dua kamar di dalamnya, kamu boleh menempati kamar yang tidak dikunci ya. Ada sarapan diatas meja makan, hanya nasi bungkus. Kamu jangan lupa makan ya. Nanti sore saya baru pulang. Anggap saja rumah sendiri. Sekarang saya harus pergi" Prita berucap tanpa spasi, Viviane jadi sedikit pusing dibuatnya, wanita ini memang sangat tegas.
"Iya, terimakasih kak" jawab Viviane.
"Cukup nyaman" gumam Viviane setelah memasuki rumah sederhana ini.
"Setelah ini, rencana kamu apa Vi? tanya Prita, karena bagaimanapun tidak mungkin baginya untuk membiayai Viviane, tapi untuk mengabaikannya, dia juga tidak tega.
"Saya ingin kerja kak, tapi harus kerja dimana ya kak?" tanya Viviane bingung.
"Sebenarnya ada lowongan sebagai BA di perusahaan aku. Sepertinya kamu cocok, kan kamu dasarnya sudah sangat cantik. Diberi sedikit make up pasti lebih cantik. Kamu bisa kan pakai make up?" tanya Prita.
"Bisa kak, aku sering kok pakai make up. Jadi, kapan aku ngelamar di kantornya kakak?" tanya Viviane antusias.
"Besok ke kantor bareng sama aku ya? Tapi penempatannya di mall gitu. Kamu nggak keberatan kan?" tanya Prita.
"Sama sekali enggak kak, aku juga pakai make up diajari sama BA waktu beli kosmetik gitu. Pasti sangat menyenangkan bisa jadi penjualnya sekarang" kata Viviane.
"Baiklah, Viviane. Habis makan, kamu bikin CV ya. Pakai laptop aku aja nggak apa-apa. Besok tinggal interview saja" kata Prita sambil tersenyum, seandainya dulu dia sekuat Viviane, mungkin anaknya sudah cukup besar sekarang.
"Terimakasih banyak ya kak. Mulai sekarang, nama aku Ane. Karena Viviane sudah mati, tinggal Ane dan calon bayiku. Ehm, tapi bagaimana dengan kehamilan aku kak?" Ane mulai meragu.
"Kamu tenang saja, bilang saja kalau suami kamu baru saja meninggal karena kecelakaan padahal kalian masih menikah siri. Jadi, di surat identitas kamu masih lajang" kata Prita.
"Iya kak, sekali lagi terimakasih ya kak. Aku nggak tahu gimana jadinya kalau nggak bertemu sama kak Prita" kata Ane yang sudah menyajikan hasil masakannya diatas meja.
Prita tersenyum, wanita itu melihat potensi dalam diri Viviane. Semoga masa depannya bisa secantik wajahnya.
Dan kini, sudah dua minggu berlalu. Dengan bantuan Prita tentu Ane bisa langsung diterima di tempat kerjanya.
Berdandan sedikit dengan seragam yang cukup sopan, Ane ditempatkan sebagai BA di sebuah mall yang tidak jauh dari kantor Prita.
Ane bekerja dengan sangat baik. Rekan kerjanya sangat welcome dengan kehadiran Ane yang cantik dan ringan tangan. Apalagi mendengar kisah hidupnya yang ditinggal mati oleh sang suami membuat teman-temannya merasa iba dan sangat perhatian padanya.
"Nanti pulang bareng gue saja ya, An" seperti biasanya, Aldo, SPB dari salah satu brand peralatan rumah tangga yang juga ditugaskan di mall yang sama dengan Ane mengajaknya pulang bareng.
"Oke boss, makasih loh ya. Berkat lo, pengeluaran gue jadi hemat sampai setidaknya saat nanti gue dapat gaji" kata Ane yang sudah sangat akrab dengan Aldo yang selisih dua tahun dengannya. Aldo masih belum tamat kuliah sembari bekerja.
"Nyantai saja, lagian juga searah" jawab Aldo enteng.
Mereka berdua dan juga beberapa temannya sedang nikmati makan siang di pujasera di dalam mall itu.
"Iya, An. Nyantai saja, Aldo kan jomblo karatan. Jadi lo nggak usah sungkan-sungkan" ejek temannya mengundang gelak tawa dari yang lain.
Dalam hati Ane sangat bersyukur karena mendapatkan teman yang baik seperti mereka. Meski dia harus sedikit berbohong tentang status kehamilannya.
Ternyata Jakarta tak semenyeramkan yang dia fikir selama ini. Nyatanya masih banyak orang baik yang mau menerimanya dengan tangan terbuka.
Dan perlu diketahui, jika anak dalam kandungannya juga sangat pengertian. Tidak ada kerewelan meski terkadang Ane diharuskan untuk sedikit bekerja keras saat ada barang datang dalam jumlah yang cukup banyak.
Ane ditugaskan dengan seorang temannya di mall itu, bergantian jaga sesuai shift yang sudah dijadwalkan. Rekan seniornya yang sudah menjadi seorang ibu muda dengan dua anak balita. Ane biasa memanggilnya mbak Intan.
Rekannya itu juga baik meski kadang sedikit rewel, maklum lah namanya juga ibu-ibu. Tapi Intan sering membawakan Ane masakannya. Intan bilang kalau cita-citanya dulu ingin menjadi seorang chef terkenal, tapi karena kendala biaya malah membuatnya harus rela menjadi seorang BA profesional.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 180 Episodes
Comments
LISA
Aq mampir Kak
2023-03-12
1