Chapter 5

Akhirnya Adera di bawa ke rumah sakit karena belum sadar. Arya mengikuti Adera ke dalam, dia di masukkan ke ruang IGD. Ya tuhan, apa yang telah terjadi pada kekasih aku Adera. Kedua orang tuanya datang setelah sore, sehabis magrib. Ibunya datang dengan berjalan tergesa-gesa.

"Aduh, ada apa dengan anak aku, kenapa dengan dia..!* Jawab ibunya histeris. Aku melihat sambil diam. Arya yang duduk dari tadi di sebelah aku menjawab pertanyaan itu.

"Tenang ibu, Adera tidak apa-apa, dia cuma pingsan. Kata dokter dia masih perlu perawatan yang intensif." kata Arya ke ibu itu.

Aku diam tidak bisa menjawab pertanyaan dia. Aku tidak bisa apa-apa, aku hanya melihat situasi yang berjalan indah di situ. Selepas itu aku langsung bilang ke Arya karena aku butuh bicara ke dia.

"Arya, aku ingin bicara, kapan Adera akan senyuman?"

"Entahlah, aku tidak tahu, yang aku tahu Adera masih pingsan dan mungkin sebentar lagi akan siuman. Atau jangan-jangan dia bisa koma atau depresi karena masalah kamu itu?" Arya jadi cemas di depan aku.

"Aku tahu itu semua karena aku terus aku harus bagaimana, apa aku akan terus diam saja seperti ini, dan Adera tertidur sendiri di dalam. Aku tidak bisa meninggalkan Adera sendirian, aku harus di samping dia sekarang." kataku cemas.

Adera sudah di keluarkan dari ruang IGD setengah jam yang lalu yang lalu di temui oleh keluarganya. Aku melihat ke arah kamar itu masih sepi, keluarganya masih di dalam. Seketika aku lihat Laila datang ke rumah sakit.

"Arya.. ceritakan padaku kenapa jadi seperti ini. Siapa yang telah melukai Adera, siapa yang buat Adera pingsan..?"

Laila ingin kejelasan aku lihat dari ekspresinya. Dia berdiri di depan Adera, aku tetap berdiri di situ.  

"Tidak, tidak ada yang salah di antara aku atau pun Alana. Kami sama-sama menyayangi Adera. Adera yang tidak kuat menerima masalah." ucap Arya jujur ke Laila.

"Masalah apa, seberapa besar masalahnya hingga buat Adera pingsan?" Laila bersikeras di depan Arya. Arya aku lihat bingung ingin menjawab apa. Laila melihat aku sinis.

"Alana hamil." Arya langsung menjawabnya di depan Laila. Perempuan itu langsung kaget dan shock. Dia melihat aku nanar, aku hanya bisa menunduk. Dia lalu mengamuk padaku.

"Ini semua salah kamu, salah kamu! Kamu sendiri yang telah mengajak Adera untuk tidur bersama kamu, Adera tidak mungkin mau kalau tidak di ajak sama kamu! Kamu penjahatnya!" Laila berteriak di depan aku dan ingin mencekik leher aku.

"Lepaskan aku, aku mohon! Aku sedang hamil!" aku berteriak melindungi diri dari Laila. Arya melerai Laila dari belakang. Aku tidak tahu kenapa wanita ini ikut campur urusan kami. "Sudah Laila, itu bukan urusan kamu, Alana juga tidak mau dia hamil. Ini masalah yang harus di pecahkan, kamu tidak boleh ikut campur."

"Tapi bagaimana dengan nasib Adera, di shock mendengar kabar ini. Bukan Adera saja, aku juga! Perempuan ini masalahnya, kalau tidak ada kamu, semuanya tidak akan jadi seperti ini, betul kan Arya!" Laila masih saja menuduh aku. Aku mencoba untuk menjauh.

"Sudah Laila, baiknya kamu pergi sekarang, jangan di sini, ayo aku antar keluar!" Arya mengantar Laila keluar. Aku masih sedih dan merenungi nasib.

"Tidak Arya, aku tidak mau pergi, aku mau lihat Adera, aku masih belum lihat Adera!" Laila berteriak sambil jalan keluar bareng Arya.

"Sudah, tidak perlu. Adera tidak mau bertemu sama kamu, kamu bisa bertemu Adera besok, kamu sekarang aku antar pulang!" Arya menjawab sambil terus membawa Laila keluar dari rumah sakit.

Rumah sakit sudah sepi, aku tidak lagi melihat keluarganya Adera, hanya ada beberapa dokter yang lewat di samping aku. Itu dokter Fahri, dia melewati aku.

Aku bangkit dan pergi ke kamar Adera. Aku lihat laki-laki itu masih koma. Aku berjalan mendekat ke dia. Suara mesin pesakitan masih terdengar di telinga, Adera koma, dia tidak sadar. Aku menangis sendiri, dan tidak menerima nasib Adera yang seperti itu.

"Maafkan aku Arya, aku telah buat kamu seperti ini. Aku tidak mau apa-apa lagi, aku cuma ingin kamu sadar dan cepat-cepat menggugurkan kandungan aku ini. Aku mau kamu bahagia tanpa bayi ini Adera. Aku tidak mau kamu sakit seperti ini. Aku mau kamu saja, bukan bayi ini!" ucapku tertahan. Aku masih menunggu Arya datang atau siapa saja yang mau datang ke rumah sakit.

"Alana!" hati aku hidup kembali setelah mendengar suara dari Dimas.

"Dimas, kamu di sini rupanya, Alfi kemana?" jawab aku sambil menahan emosiku.

"Alfi tidak ikut, dia ada urusan dengan keluarganya." jawab Dimas.

Peristiwa sebelumnya adalah  kepergian aku dan Arya ke rumah sakit, Arya yang membawa Adera ke dalam mobil, Dimas yang menyetir mobil itu. Alfi langsung di telepon oleh seseorang dan Dimas meninggalkan Alfi di rumah Arya. Di dalam mobil terjadi percakapan.

"Alfi kenapa tidak ikut?" Arya bertanya langsung.

"Biarkan saja, nanti dia juga ikut ke rumah sakit, mungkin dia masih ada perlu sama temannya tadi di telepon." Dimas menjawab. Aku masih melihat Adera tidak sadarkan diri. Kami akhirnya sampai di rumah sakit tanpa Alfi. Adera langsung di tangani oleh dokter dia langsung di bawa ke IGD. Aku, Arya dan Dimas menunggu di luar.

"Aku pergi dulu, aku mau menemui Alfi." Dimas pamit pergi ke Alfi. Dia tidak nyaman bersama kami. Arya mengiyakan, kami akhirnya berdua. Adera ditangani oleh dokter Fahri. Satu jam berlalu, Arya di temui dokter Fahri, dia bicara sebentar dengan dokter itu.

"Dokter Fahri bilang kalau Adera depresi berat, kemungkinan Adera pulih dalam satu Minggu, aku di mintanya bersabar." kata Arya padaku.

"Syukurlah, aku berharap Adera lekas sembuh, aku ingin dia cepat sadar dan bisa bertemu dengan kita lagi. Kita bisa barengan lagi nantinya!" kataku bahagia.

"Iya, semoga. Aku harap begitu. Adera bisa di temui sepuluh menit lagi." jelas Arya padaku.

"Iya." ucapku.

Dimas masih bersama aku menemani Adera. "Arya ke mana, aku tidak lihat dia di sini?"

"Arya pergi mengantar Laila, tadi Laila ke sini, dia marah-marah padaku." jelas aku ke Dimas.

"Kamu harus kuat, kamu tidak boleh lemah, Alana. Bayi itu butuh kamu, kamu harus sehat. Kamu tidak boleh sakit, cukup Adera saja yang pingsan. Kamu harus tetap kuat, oke!" aku mengangguk di depan Dimas. Niat Dimas berbeda dengan aku. Dia banyak berharap bayi itu hidup, sedang aku tidak.

Aku masih berduka dengan nasib aku tentang hubungan aku dengan Adera, dengan teman-teman, juga dengan janin bayi yang telah aku kandung ini. Orang tua aku masih belum tahu masalah ini. Entah kapan orang tua aku akan datang menemui aku dan pergi menjemput aku.

Salam.

Sampai di sini dulu ceritanya. Jadi sedih karena nasib Alana yang tidak kunjung usai. Dia harus menderita karena ulahnya sendiri bersama Adera.

Alana buat teman-temannya jadi cemas. Tapi Alana harus kuat menerima masalah itu.

Vote dan komen tinggalkan jejak kamu di sini!

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!