...Happy Reading ...
Alana terbangun pada jam lima dan solat subuh sendirian di kamar, aku ingat akan Adera, ingin sekali aku solat bareng dia, Adera yang jadi imamnya dan aku makmumnya. Aku melepas mukena aku setelah solat selesai. Aku lalu bangun dan membereskan kamar dan tempat tidur aku. Bentar lagi aku siap-siap berangkat sekolah meski sebenarnya aku capai. Capai karena semalam aku kurang tidur.
"Alana, kamu kalau mau berangkat ke sekolah jangan lupa sarapan dulu." kata ibuku yang keluar dari balik pintu kamar.
"Iya." jawabku.
Aku masih berpikir apa yang harus aku lakukan setelah itu, aku lalu cuci muka tidak mandi. Aku malas mandi. Aku pakai seragam aku lalu siap-siap untuk berangkat. Dalam hati, aku sudah berpikir kalau aku akan bertemu dengan teman-teman aku lagi di sekolah.
Aku berjalan menuju ke sekolah, seseorang menyapa aku.
"Hei, sendirian..?" itu adalah suara dari Arya yang sedang naik motor ke sekolah.
"Iya." kataku.
"Aku bonceng..?" Arya mengajak aku.
"Tidak usah, udah dekat kok." aku jawab sambil jalan. "Adera mana, kok tidak kelihatan..?" Arya tanya.
"Tidak tahu. Bukan kamu lebih tahu dari aku..?" aku tanya, Arya menggeleng. Dia menghentikan laju sepeda motornya.
"Halo, Adera, kamu tidak masuk sekolah?"
"Tidak bro, aku tidak enak badan. Kepala aku pusing. Lihat Alana nggak..?"
"Dia ada di sini, bersama aku." Arya lalu memberikan ponselnya padaku.
"Ini Adera mau ngomong sama kamu." kata Arya padaku, aku terima ponsel itu.
"Halo Adera, ada apa, kamu tidak masuk ke sekolah, kenapa..?" pertanyaan aku bertubi-tubi.
"Aku sakit, kamu temani aku ke rumah sepulang jam sekolah." ucap Adera di telepon.
"Iya, aku bareng Arya. Kamu baik-baik di rumah ya!" kataku lanjut.
"Iya, kamu hati-hati, jangan selingkuh sama Arya. Dia udah punya pacar, Laila." tutur Adera lanjut.
"Iya, aku tidak akan selingkuh sama Arya selama kamu tidak selingkuh di belakang aku." kataku ke Adera.
"Pasti, aku akan setia sama kamu sampai kapan pun. Sampai aku mati nanti." ucap Adera kelepasan.
"Tidak, aku tidak mau kamu mati, aku mau kamu hidup. Kamu pacar aku satu-satunya." ucapku panjang.
"Udah?" Arya meminta ponselnya.
"Udah." aku memberikan ponsel Arya.
"Udah dulu ya bro!" Arya pamit. Dia lalu pergi ke sekolah dengan sepeda motornya. Aku mulai cemas sedikit, kenapa juga Adera harus sakit dan tidak masuk sekolah. Aku harus cari teman baru kalau begitu.
Sekolah masuk seperti biasa, Ibu Wina mengisi pelajaran di kelas sebelas. Bangku itu kosong tanpa Adera yang biasa tersenyum padaku, aku telah kehilangan kekasih aku, Adera. Dan aku merasa lemas ingin tidur, Ibu Wina menegur aku,
"Alana, kamu kenapa, sakit..?" kata Bu Wina padaku. Aku mengangguk, dia lalu menyuruh aku untuk istirahat di ruang UKS.
"Kamu istirahat saja di ruang UKS, Yani tolong antar Alana ke ruang UKS!" Ibu Wina menyuruh salah seorang teman aku untuk menemani aku ke ruang UKS. Di jalan Yani bertanya padaku,
"Kamu kenapa, kamu sakit..?"
"Iya, tidak enak badan aja, lemas badan aku rasanya." kataku ke Yani sambil jalan.
"Nanti aku Carikan obat di kotak ruang UKS." ucap Yani perhatian. Aku mengangguk sambil berkata, "iya."
Yani membuka pintu ruang UKS dan membiarkan aku masuk ke ruang itu. Ruangan yang sepi, aku sedikit takut. "Yani, kamu balik ke kelas..?" tanyaku ke Yani.
"Iya, Ibu Wina menyuruh aku untuk masuk dulu, kenapa, kamu butuh teman?" tanya Yani padaku.
"Iya." aku jawab mengangguk.
"Kamu tenang saja, aku akan panggilkan teman buat kamu." kata Yani sebelum dia pergi. Saat aku tidur aku ingat kalau Adera juga sakit. Aku lalu ijin pulang ke Ibu Wina setelah bel istirahat. Aku minta antar ke Arya untuk bisa pulang. Di perjalanan aku sempat ngobrol bareng Arya. "Katanya mau jenguk Adera, kok malah sakit?" katanya. "Meski aku sakit, aku tetap akan pergi ke rumah Adera kok, aku tetap tahan sakit ini sampai nanti." jawabku. "Kamu tidak apa-apa kan Alana, beneran kamu mau aku antar ke rumah Adera?"
"Iya, sekalian kita ngumpul bareng di sana." "Tapi kan aku belum ijin ke Ibu Wina. Aku hanya boleh mengantar kamu ke rumah Adera saja tidak buaya ngumpul."
"Terserah kamu saja, yang penting aku sampai di rumah Adera." Meski aku sedikit pusing, aku bela-belain buat ketemu sama Adera. Aku permisi masuk setelah Arya pergi meninggalkan aku. "Permisi." Seorang bibi mempersilahkan aku untuk masuk. Aku buruan masuk ke dalam rumah, di situ Adera sudah pada istirahat.
"Alana kamu, kamu ke sini bareng siapa, siapa yang nganterin kamu ke sini?" Adera langsung kaget melihat aku yang datang.
"Aku di antar Arya barusan, kamu baik-baik saja Adera?"
"Aku masih sakit Alana, tapi aku sudah agak sedikit baikan." katanya. "Syukurlah, kamu sudah makan?" tanyaku.
"Sudah, aku sudah makan. Tadi ibu yang menyiapkan." Aku tersenyum mendengar itu.
"Kenapa kamu tiba-tiba sakit seperti itu, Adera?"
"Aku sakit karena Tuhan yang menginginkan aku sakit. Aku sehat karena Tuhan yang ingin aku sehat."
"Bukan semuanya tergantung usaha kita Adera? Aku harus cepat pulang kepala aku pusing."
"Kamu bisa istirahat di sini kalau kamu mau." aku terima ajakan Adera buat istirahat di rumah dia sebentar setelah itu Arya datang.
"Loh, kok pada tidur, pusing ya? Sakit semua nih acaranya." aku dengar suara itu sayup. Aku terbangun,
"Arya, kamu bareng siapa?" tanyaku ke Arya. "Aku bareng Alfi dan Dimas, mereka masih di jalan." jawabnya padaku.
"Kompak banget, kenapa setiap kali kumpul kita selalu bersamaan?" tanyaku senang.
"Itu namanya kompak persahabatan, setia kawan!" kata Arya menjawab senang.
"Aku punya usulan, bagaimana kalau setelah sembuh nanti, kita pergi ke pantai. Kita bareng-bareng main di pantai sambil mandi di sana."
"Bagaimana?" Alfi datang.
"Apanya yang bagaimana?" tanya Alfi yang baru datang kemudian di susul oleh Dimas. Arya menjelaskan niatnya itu ke Alfi dan Dimas, aku mendengarkan.
"Eh aku lapar nih." kata Alfi tanpa rasa malu.
"Biar bibi aku saja yang nyiapin, kamu tenang saja. Arya, kamu pergi ke dapur, bilang kalau anak-anak mau makan, lapar, bilang begitu ke Bibi." Adera menyuruh Arya untuk pergi ke dapur. Arya langsung pergi dan bilang ke bibi. Perempuan itu langsung menyiapkannya di bantu oleh aku. Di saat kami sama-sama makan, Dimas kasih kabar.
"Eh tadi Ciko tanya, bagaimana jualannya, katanya begitu?" Meski yang di percaya itu adalah Arya, tapi kami merasa susah bersama.
"Arya, jualannya udah laku?" kataku ke Arya.
"Belum, selama ini barang itu masih aman dan belum ada yang beli." kata Arya padaku.
"Mending kamu balikin saja barang itu, kamu tidak usah ambil resiko Arya, aku takut polisi tahu. Nanti kita bisa di penjara!" kataku kasih nasehat.
"Aku akan coba." Arya jawab, aku jadi tenang. Aku tidak mau persahabatan Arya juga putus bareng Ciko.
"Nanti aku balikin barang itu kalau Adera sudah sembuh." lanjut Arya bicara. Kami bersama masih melanjutkan makan yang belum selesai dan belum habis. Bibi enak banget buat tempe penyetnya. Plus terong yang di rebus dan di potong kecil-kecil.
Aku menemani Adera Sampai siang, setelah itu aku pamit dan di antar oleh Arya dan teman-teman. Aku masuk ke rumah aku dalam keadaan sepi, aku biasa saja. Aku masih terpikir sama pacar aku Adera. Perut aku mulai mual-mual lagi, aku seperti ingin muntah, aku langsung pergi ke kamar mandi dan mulai muntah sedikit. Aku melihat ke cermin, apakah aku akan hamil.
Besoknya sepulang dari sekolah aku langsung periksa ke dokter, kata dokter aku positif hamil. Aku langsung telepon Adera.
"Halo, Adera, aku hamil." kataku cepat. Adera langsung pergi ke rumah aku dan langsung menemui aku.
"Alana, ikut aku ke mobil, sekarang!" Adera mengajak aku masuk ke mobil, dia ingin bicara sama aku sambil menyetir mobil, Adera biasa begitu biar lebih aman dan rahasia katanya. Sekarang aku mulai masuk ke dalam mobil dan berdua dengan Adera.
"Alana, aku udah pesan sama kamu, gugurkan kandungan kamu itu, kamu tidak boleh hamil duluan, anak itu tidak boleh lahir ke dunia ini. Anak itu anak haram, kita melakukannya sama-sama di hotel, barengan. Jadi kamu tidak boleh langsung menuduh aku untuk jadi bapaknya. Bukan aku saja yang melakukannya, Arya juga, Alfi dan Dimas." jelas Adera padaku. Buat perut aku semakin sakit dan mula.
"Adera, aku tidak tahu bapaknya anak ini siapa, tapi kepada siapa lagi aku harus berlindung kalau bukan ke kamu, kamu pacar aku Adera, kamu harus tanggung jawab!" kataku sambil terisak.
"Alana, kamu aborsi saja sekarang biar aman!" kata Adera lanjut.
"Tidak Adera, aku tidak mau anak ini hilang, anak ini harus lahir ke dunia. Ini anak kita Adera, anak kita, kamu tidak boleh membunuhnya!" kataku memperingatkan.
"Bodoh kamu Alana, kamu tidak malu sama mereka, sama teman-teman di sekolah, mereka akan bilang apa ke kamu?"
"Aku akan tetap masuk ke sekolah meski aku dalam keadaan hamil!" ucapku emosi.
"Tidak, aku tidak mau itu terjadi, aku akan antar kamu ke dokter sekarang dan langsung aborsi! Aku tidak mau menanggung semua akibatnya, aku harus menikah sama kamu dan merawat anak itu, aku tidak mau jadi bapak dulu, aku masih mau sekolah Alana, kamu harus mau untuk aborsi, kamu paham!" Adera cukup jelas padaku, aku tidak tahu harus bagaimana lagi, harapan aku ke janin itu begitu besar.
"Tapi aku mau anak ini lahir Adera, aku tidak mau kehilangan anak ini!" kataku bersikeras. "Lalu siapa yang mau jadi bapaknya, aku!?"
"Kalau kamu tidak mau, tidak apa, aku akan cari bapak yang lain!" kataku panik. Adera tercengang dan tertahan, tatapannya mengarah padaku, dia menatap aku seram.
"Aku tidak ijinkan kamu untuk bersuami dengan laki-laki lain, aku yang akan tanggung jawab kalau itu memang mau kamu, aku yang akan jadi bapaknya. Biar kita tanggung bersama-sama, kamu mau kan, Alaba?" kata Adera padaku sambil lalu menangis di hadapan aku.
Aku tidak tega melihat Adera seperti itu, aku tidak rela Adera aku jatuh sakit dan menangis karena aku, aku tidak mau Adera aku sedih karena aku, aku langsung memeluk Adera dan melepaskan tangisan aku di dekapannya. Adera berhenti di pinggir jalan, jalanan yang sepi.
"Setelah ini kita buat rencana, kita harus bilang ke orang tua kita kalau kita telah berbuat sesuatu di luar nikah. Orang tua kita harus tahu itu, setelah itu aku akan melamar kamu dan menikah sama kamu, kita akan hidup bersama dan kita akan masuk sekolah seperti biasa, iya bukan?" Aku mengerti maksud Adera sekarang. Aku akan mencoba untuk bersabar.
"Iya, kita akan menikah dan menjalani hidup baru, tapi, apa boleh sambil sekolah, apa Ibu guru akan membolehkan kita untuk bersekolah lagi?"
"Kenapa tidak, kalau kita mau. Kita akan sekolah bareng dan pulang bersama-sama dulu. Untuk sementara waktu, kamu tinggal di rumah aku dulu, biar aku punya teman di rumah sambil lalu merawat janin anak bayi itu. Sesekali aku ingin melihat perkembangannya. Bukan begitu sayang?" tanya Adera padaku serius sambil menjelaskan.
"Jadi kamu benar-benar tidak akan menggugurkan kandungan kamu ini Adera..?" tanyaku memohon ke Adera.
"Tidak Alana sayangku, aku tidak akan menggugurkan kandungan kamu ini, aku sudah bilang tadi, aku akan tetap menikah sama kamu sambil merawat anak ini. Masalah biaya hidup, biar ayah aku yang urus. Biar aku bantu-bantu Ayah di kantor. Aku akan bilang ke ayah kalau aku sudah mau ikut bekerja di kantornya." kata Adera padaku.
Aku jadi tahu kalau Adera sudah mulai menata hidupnya sedikit demi sedikit. Dan aku masih merasa bersalah ke Adera dan kepadaku juga. Andai semuanya tidak pernah terjadi, mungkin semuanya tidak akan jadi begini.
Aku menyesal telah berbuat sesuatu yang tidak di inginkan itu. Perasaan ini berat sekali untuk menjalankannya. Perasaan malu, menjaga diri, menjaga hubungan itu tetap utuh dan usaha untuk bertahan hidup, itu tidaklah mudah. Aku dan Adera akan sama-sama berdiri dan berjuang untuk kelangsungan hidup kami. Aku dan Adera sekarang akan menuju ke rumah Arya, kami berdua akan bilang ke dia kalau kami punya niat baik.
Adera memutar mobilnya menuju ke rumah Arya Saloka teman aku dan Adera.
"Adera, kamu pelan-pelan saja nyetirnya, nanti bisa kenapa-kenapa!" kataku ke Adera. Dia melihat aku lalu mengangguk padaku sambil menyetir. Menyetir mobil maksudnya. Aku melihat ke depan dengan tatapan serius. Aku berpikir, hati kami juga saling cerna dan mencoba untuk mengerti satu sama lainnya. Adera sesekali melihat ke arah aku di saat menyetir mobil.
"Kenapa Adera, kamu cemas sama aku?" tanyaku lanjut ke Adera.
Aku langsung merasa tidak enak ke dia, di mana aku harus selalu merasa cemas dan sedih melihat tubuh Adera yang di buat susah sama aku.
Secara tidak langsung aku telah membuat hidup Adera susah, susah karena harus rela memikirkan aku, rela untuk membuat aku bahagia dan mau tersenyum setiap hari, rela mengurusi adiknya yang sedang bersekolah meski di rumah Adera hanya sesekali di hampiri oleh ayahnya. Ibunya telah lama bercerai dengan ayahnya. Seketika Adera sudah sampai di rumah Arya Saloka. Laki-laki itu sedang terlihat duduk sambil santai di rumah, sambil sesekali menyesap rokok. Laki-laki itu kaget melihat kami datang. "Adera, Alana, kalian datang ke sini ngapain?" Arya langsung tanya ke aku dan Adera.
"Boleh kami duduk sebentar, ada yang penting untuk kami bicarakan bersama kamu Arya." kata Adera bilang ke Arya.
"Yang lain kan belum pada ngumpul..?" kata Arya langsung bilang ke Adera.
"Kamu boleh menelepon mereka sekarang juga. Ini sifatnya dadakan." kata Adera memperjelas keadaan.
"Ada apa Adera, kalian kenapa, kalian kena musibah atau bagaimana?" Arya masih bingung melihat aku dan Adera di situ. Pikirannya diliputi oleh beberapa prediksi yang memungkinkan adanya perseteruan di dalam hatinya.
"Kamu tenang saja Adera, tidak akan ada yang sakit di sini, semuanya baik-baik saja." kata Adera lagi mempertegas. Arya langsung menelepon Alfi dan Dimas. Kami masih lanjut mengobrol sambil menunggu mereka datang.
"Sebenarnya ada apa Adera, kedatangan kalian ke sini cukup mengejutkan hati aku. Ada apa sebenarnya?" Arya bertanya ke Adera serius sekali tanpa melihat ke arah aku. Adera tidak langsung jawab, dia masih menata dirinya itu yang masih sumpek campur bingung dan sedih. Aku tahu kalau Adera cukup menanggung resiko semuanya.
Seketika Adera lemas dan tak sadarkan diri.
"Adera, Adera kamu kenapa?" Adera tidak sadarkan diri, Arya langsung membawa dia ke kamar. Arya melihat ke arah aku sambil bicara.
"Ada apa Alana, kenapa Adera sampai sebegitu lemahnya sampai pingsan pula, ada apa yang terjadi antara kamu dan Adera!?" Arya sedikit emosi melihat Adera yang jatuh pingsan. Aku tidak bisa jawab langsung ke Arya waktu itu, pikiran aku masih terfokus ke Adera yang tidak sadarkan diri.
Arya mencoba untuk merebahkan Adera di atas kasur tempat tidurnya. Aku lalu mencoba menempatkan posisi Adera agar lebih nyaman. Arya pergi mengambil obat dan minyak angin untuk lalu di oleskan ke Adera biar terasa hangat. Air mataku tidak berhenti jatuh melihat Adera yang jatuh pingsan.
Di luar sudah terdengar suara sepeda motor Alfi dan Dimas sepertinya. Langkah kaki kedua pemuda itu terdengar dari dalam. Dimas dan Alfi datang menemui aku di kamar itu yang Adera masih tertidur tidak sadarkan diri.
"Alana, ada apa, apa yang terjadi sama Adera?" seketika aku langsung ambruk dan menghambur ke dalam pelukan Dimas. Aku tidak kuat lagi untuk menahan betapa sakit rasanya hati aku. Melebur begitu saja bersama perasaan ini. Sebagai seorang wanita, harusnya aku yang lemah dan tidak kuat dengan ini semua, bukan malah sebaliknya Adera yang pingsan tidak sadarkan diri.
"Dimas, aku tidak kuat Dimas, aku tidak kuat menahan cobaan hidup ini, aku ingin mati Dimas, aku ingin mati saja. Aku tidak bisa seperti ini terus Dimas. Aku tidak bisa, aku hamil Dimas, aku hamil..!!" aku berteriak kencang sambil memeluk Dimas. Seketika langkah Arya terhenti setelah mendengar pernyataan itu yang keluar dari mulut aku itu. Arya yang dengan sengaja ingin membawakan air hangat buat Adera, seketika langsung tumpah dan jatuh begitu saja bersama baskom yang dia bawa barusan.
Kelontang! suara itu terdengar sangat nyaring dan buat aku tersadar sejenak, aku melepaskan pelukan aku bersama Dimas. Aku melihat ke arah Arya yang masih diam sambil berdiri dengan perasaan bingung.
"Arya, kamu udah dengar semuanya!" kataku ke Arya. Aku malu di depan dia. Arya masih tidak berani menatap aku.
"Maafin aku Arya, aku telah berbuat salah ke Adera, ke kamu dan teman-teman aku yang lain seperti Alfi dan Dimas. Aku telah salah ke kalian. Aku tidak bisa menjaga diri aku dengan baik. Aku tidak bisa, maafkan aku." kataku berbicara sekenanya di depan Arya, Dimas dan Alfi. Hari masih siang sekitar pukul sebelas.
"Semuanya sudah terlambat Alana, semuanya sudah terlambat. Aku dan Adera tidak bersalah apa-apa, kamu yang salah. Aku sudah berpikir dari awal kalau semuanya akan seperti ini, aku sudah menduganya dari awal kalau kamu akan hamil. Lalu, sekarang, apa yang akan aku lakukan bersama teman-teman di sini, sedang Adera masih pingsan."
Arya langsung pergi menghampiri Adera, dia tidak tahan dengan keadaan Adera waktu itu, aku ditinggalnya begitu saja. Dimas mencoba untuk menggamit tangan aku agar bisa tetap kuat. Aku menangis lagi di depan Dimas yang merengkuh aku dari samping.
"Adera, bangun, bangun Adera, kamu tidak boleh pingsan. Aku ada di sini, di samping kamu Adera. Adera, bangun. Biar aku dan teman-teman yang ikut menanggung beban masalah ini. Bukan kamu saja yang salah Adera, kita juga yang salah. Aku juga ikut tidur bersama Alana, Dimas dan Alfi juga!" kata Arya ke Adera yang masih pingsan.
Aku melihat ke arah Adera prihatin. Aku melepas pelukan Dimas dan mencoba untuk menghampiri Adera. Ya tuhan, kenapa Adera masih belum sadar padahal bukan Adera saja satu-satunya orang yang mau menanggung masalah ini kedepannya. Adera hanya perantara saja, perantara masalah ini akan terjadi. Sebelumnya Adera pernah bilang ke aku sebelum peristiwa itu terjadi.
"Alana, aku bilang sama kamu, kamu jangan berbuat macam-macam di depan teman-teman aku. Mereka anaknya bebas, hampir sama dengan kamu. Maka aku mohon ke kamu, simpan nafsu kamu itu dulu ke teman-teman aku, khususnya aku, Alana." kata Adera padaku. Aku jadi mengerti dan paham akan niat baik Adera. Tapi waktu itu Adera lah orang yang telah berani melanggar perjanjian itu. Adera telah membawa aku ke kafe dan kasih aku minuman yang di campur dengan obat tidur.
"Adera, bangun, kamu harus bangun Adera, kamu harus bangun. Kamu harus kuat, ada kami di sini Adera!" Arya menangis di depan Adera yang masih tertidur tidak sadar, tatapan kedua mata aku tidak terarah lagi ke Adera yang masih tidar sadar.
"Apa tidak lebih baiknya kita bawa ke dokter saja?" kataku ke Arya. Dimas dan Alfi masih setia menemani aku dan Arya.
"Tidak perlu, kita tunggu saja sampai Adera siuman." kata Dimas menjawab. Laki-laki itu lalu pergi keluar, entah mau apa dia sebenarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments