"Ma--maaf kak …" ucap Sraya lirih.
Sraya meminta maaf dengan menundukan sedikit kepalanya, namun Maxwell hanya menatap sekilas dan berlalu saja tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Sebelum keluar dari Caffe ia sempat melihat Willem menyambut Maxwell dan berbincang.
"kayaknya boss kita kenal sama Maxwell Sedayu Buana." Ferdi membuka omongan.
Ketiga nya berjalan ketempat parkir.
"Gak nyangka bisa lihat dia secara langsung, kemarin acara pernikahan nya jadi berita utama di tv dan sosmed," tambah Hendi.
"Wajar mereka anak dari dua perusahan besar di Indonesia. Maxwell malah anak tunggal dari Sedayu Buana Group."
"Gak kebayang kekayaan mereka seperti apa."
"Mungkin gak akan habis tujuh tanjakan dan tujuh tikungan," kedua lelaki itu terkekeh.
"Sraya … kok diem aja sih? Kamu mikirin apa?" tanya Hendi yang melihat Sraya sedari tadi diam.
'Enggak, Kak. Aku ga lagi mikirin apa apa kok."
"Kamu tau ga kalo orang yang kamu tabrak tadi itu Maxwell?" tanya ferdi.
"Aku engga tau, kak."
"Masa kamu gak tau sih, dia kemarin trending loh karena berita pernikahan nya."
"Aku ga lihat tv ataupun sosmed, Kak. Lagi malas."
"Nih kamu pake dulu helm nya, Sraya."
Hendi Memberikan Sraya helm untuk dikenakan. Setiap hari nya Sraya diantar jemput oleh hendi, seraya merasa tidak enak sebenarnya tapi hendi tetap memaksa.
Kasian kalau Sraya setiap hari harus memesan ojek online karena Hendi tau kalau Sraya tidak bisa mengendarai motor, apalagi kalo pulang shift malam.
Sampai di kontrakan nya Sraya langsung menelpon Nastiti untuk memberikan berita pernikahan Maxwell. Nastiti sendiri sudah tau karena memang benar berita pernikahan Maxwell dan Natt telah menjadi berita besar.
Dua bulan berlalu. hubungan Nastiti dengan Sraya dan ibunya semakin dekat, Beberapa kali Nastiti main kerumah ibu Sraya atau sebaliknya.
Mbok Darmi mengurus Nastiti dengan baik seperti anak sendiri, Rei juga tidak pernah melewatkan satu hari tanpa berkabar dengan Nastiti. Jadwal tiga bulan kursus dokter Rei di singapura ternyata ditambah.
Pria itu belum bisa menemui Nastiti meski rindu di hatinya semakin hari semakin bertambah, dokter Rei sama sekali tidak mempermasalah kan kehamilan Nastiti yang sudah memasuki usia lima bulan. Rei menerima Nastiti dengan tulus.
"The new menu you created is amazing, Sraya," puji Willem.
"You are right Boss. Makanan dan minuman yang dibuat Sraya, jadi menu favorit."
Kembali sraya mendapat pujian dari Rio chef utama Cordy Caffe.
'I didn't expect you, to be good at making coffee. Well done, Sraya," tambah Willem.
"Thankyou Boss, Boss. Terlalu bayak memuji."
"Bersiap siap lah, Sraya. Tiga hari lagi kamu dan Rio akan aku ajak ke Jawa Tmur. Kita akan survei langsung ke perkebunan kopi disana. Untuk yang lain selama saya tidak ada, yang akan meng-handle adalah istri saya. Tugas Sraya akan digantikan Rara, dan tugas Rio akan diganti Andrean chef baru yang akan bekerja dua hari lagi. Keep up the good work everyone."
Willem mengakhiri brifieng pagi itu dan semuanya kembali fokus bekerja di section masing-masing.
Tiga hari yang di janjikan Willem tiba. Mereka bertiga mengambil penerbangan pagi dengan pesawat Garuda menuju Jawa Timur.
Willem memesan tiga kamar hotel yang jaraknya tidak jauh dari perkebunan kopi yang akan mereka kunjungi. Hanya satu jam perjalanan menggunakan mobil.
Sraya beristirahat sejenak dan langsung memberi kabar kepada ibunya. Pagi hari mobil yang mengantar Sraya, Rio dan Willem tiba. Ketiga nya pergi setelah menyantap sarapan pagi di hotel.
Perkebunan kopi yang Sraya kunjungi adalah jenis kopi robusta, pemilik nya bernama pak Trisna, beliau mengajak Sraya dan lainnya berkeliling sambil menjelaskan tentang perekebunannya.
Sampai sebuah panggilan masuk mengharuskan Pak Trisna meninggalkan mereka kepada salah satu orang kepercayaan pak Trisna.
"Maaf sebelum nya saya ada urusan yang tidak bisa saya tinggalkan. Mas dan Mba bisa tetap berkeliling, saya akan memanggil orang kepercayan saya untuk menemani kalian."
"off course, Pak Trisna. Kami tidak masalah."
Kemudian pak Trisna berbisik pada salah satu pekerjanya. Lima menit berselang pekerja tadi datang dengan seorang pemuda.
"Nah Mister Willem, mari saya kenalkan dengan Akram."
Akram menatap mereka satu persatu dan mengangguk sambil tersenyum. Mereka satu persatu berkenalan.
"Akram ini Keponaan saya yang membantu saya mengurus kebun kopi selama beberapa bulan belakangan. Kalian bisa bertanya apapun sama Akram," jelas pak Trisna.
"Akram, kamu tolong temani tamu kita berkeliling, siang nanti kamu ajak mereka makan siang di rumah tamu. Pakde sudah pesan ke mbo Diah."
"Njih pakde."
"Tidak perlu repot-repot, Pak Trisna," jawab Willem merasa tidak enak.
"Sama sekali tidak, Mister. Anda dan yang lainnya harus mencoba masakan disini."
"Terima kasih atas kebaikan, Bapak."
"Sama sama, Mister. Kalau begitu saya pergi dulu dan mohon maaf karena tidak bisa menemani, Mari."
Pak Trisna pamit dan Akram menggantikan tugasnya. Ia kembali mengajak Sraya dan rombongan untuk berkeliking.
"Kopi nya sudah dipasarkan dimana saja, Mas?" tanya Rio membuka omongan.
"Ke beberapa kota, Mas. Selain diambil tengkulak kami juga mendapat pesanan dari beberapa coffe shop di kota ini," jelas ikram
"Sepertinya Mas Akram sangat meguasi dan paham tentang memelihara tanaman kopi?" Willem bertanya.
"Saya masih belajar, Mister. Masih jauh dari kata menguasai," jawab Akram sopan.
"Biji kopi yang bagus itu seperti apa, Mas?" tanya Sraya.
"Kopi dengan bentuk yang utuh, tidak pecah, dan tidak berlubang. Buah dipanen dengan sistem petik merah yaitu buah kopi akan dipetik pada kondisi benar-benar matang. Tumbuh pada dataran tinggi yakni seribu sampai du ribu mdpl, aroma tercium seperti blueberry saat belum disangrai. Dari segi rasa, kopi arabika cenderung lebih manis. kadar kafein pada kopi arabika lebih rendah dari robusta yakni ada di kisaran 0,9 hingga 1,4 persen saja. Sehingga rasanya tidak terlalu pekat dan lebih lembut saat diseduh."
Arkam menjelaskan apa yang ditanyakan Sraya, mereka semua mengangguk.
"Anda tidak tertatik untuk menjadi model atau artis?"
Sebuah pertanyaan random dari Willem, mereka menolah padanya sambil berdecak.
"Model, Mister?" tanya Akram bingung.
"Ya. Aku tak salah bicara, kan? lihat dan perhatikanlah," suruh Willem pada Sraya dan Rio.
"Tubuhnya tegap dan tinggi, kulitnya putih walau bekerja di perkebunan, hidung nya mancung, matanya monolid dan sangat tajam, dan bibirnya tipis dengan rahang yang sangat tegas. Benar, kan ?"
"Apakah Boss kita mulai menyukai lekaki ?"
Saya hanya terkekeh sedangkan Akram yang dijadikan objek pembicaraan salah tingkah dan kemudian berdehem.
"Kupikir cocok jadi artis Korea," tambah Willem belum puas.
Sraya dan Rio membenarkan apa yang boss nya bilang. Akram Jagadita Kemaswara nama Jawa tetapi penampilan seperti orang Korea.
"Apa kau keturunan korea? Jepang? Atau China mungkin?" tanya Rio mulai penasaran.
"Hemm maaf Mas Akram, Boss dan teman saya ini kadang sedikit random," jawab Sraya yang takut membuat Akram tidak nyaman.
"Tidak masalah, Mba." Akram menjawab sambil terkekeh.
Mereka terus berjalan. Sesekali mereka menyapa para pekerja dan berinteraksi dengan mereka. Pandangan Rio terfokus pada salah seorang gadis yang sedang memetik biji kopi.
Rio memang tidak bisa mengabaikan gadis cantik, ia segera mencari alasan untuk mendekati gadis tersebut. Willem bos mereka tengah sibuk menerima video call dari istrinya dan agak sedikit menjauh mencari sinyal.
"Apa boleh aku mencoba memetik biji kopi?"
"Tentu, Mas. Apa Mas mau mencoba?" tanya arkam.
"Ya kalo di ijinkan, apa kamu mau ikut denganku, Sraya?"
Sraya sangat paham dengan tabiat Rio. memetik biji kopi hanyalah asalan, saat ini Sraya sedang malas dan bosan melihat Rio akan beraksi.
"Tidak. Aku akan menunggu di saung itu, kaki ku sedikit pegal." Sraya menunjuk sebuah saung tempat istirahat.
''Ya, kamu istirahat lah, Akram. Apa bisa kamu menemani temanku yang sedikit manja ini?"
"Baik saya akan menemani Mba Sraya, tunggu sebentar saya panggilkan pekerja untuk menemani Mas Rio."
Akram baru saja ingin pergi tetapi tangan nya sudah ditahan Rio.
"Tidak apa-apa aku akan memetik disebelah sana saja." Rio segera berlalu.
"Apa, Mba. Sraya haus?"
"Panggil aku Sraya saja, Mas. Mas lebih tua dari aku."
"Saya akan ambil minuman dulu."
Tidak berselang lama Akram datang dengan membawa beberapa botol minuman.
"Terima kasih, Mas." Ia tersenyum kepada Akram dan Akram membalasnya.
"Apa Sraya masih capek?" tanya Akram.
"Aku sebenernya enggak capek, tapi mata dan telinga ku yang capek."
"Mata dan telinga?"
"Iya, Mas. Lihatlah kak Rio temanku itu ?" Sraya menunjuk ke arah Rio.
"Kak Rio cuma alasan saja memetik biji kopi, Mas perhatikan? dia sedang menggoda gadis itu. Aku sudah bosan melihat dan mendengar kak Rio kalau dalam mode buaya daratnya saat merayu wanita," jelas Sraya sambil terkekeh.
"apa kamu juga lelah di goda mas Rio?"
"Digoda?"
"Kamu cantik, jadi mas Rio juga pasti sering menggoda kamu. Makanya kamu bilang lelah."
Sraya tertawa lepas. Tawa yang membuat Akram terpesona.
"Kak Rio tidak berani untuk menggodaku."
"Kenapa? Apa suami atau pacarmu galak sampai membuat mas Rio tidak berani merayu?"
"Aku tidak memiliki suami ataupun pacar."
"Maaf," jawab Akram ia tersenyum dan ada sedikit perasaan senang di hatinya.
Hacimmmmmm … Beberapa kali Sraya bersin karena udaranya yang dingin.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Maaf aku memang sedikit tidak tahan dengan cuaca dingin."
Akram melepaskan jaket yang ia kenakan dan memberikan pada Sraya.
"Kamu pakailah jaket saya, kamu akan terkena flu kalau seperti ini. Jaket saya bersih kamu gak perlu khawatir."
Sraya menerima dan mulai memakai jaket yang Akram berikan. Benar, jaket Akram tercium harum.
"Terima kasih, Mas Akram."
"Sorry to make you wait so long, istriku menelpon dan disini sinyal nya tidak stabil, dimana Rio?" tanya Willem yang baru saja kembali.
"Ah, no problem, Sir. The signal here does sometimes disappear because we are in the highlands," jawab Akram.
Sraya dan Willem saling pandang. Tidak menyangka Akram berbahasa Inggris.
"Are you speak English?"
"Hmm not really, just little bit," jawab Akram.
"Sangat bagus," puji Willem.
"Look at him Boss, he was courting the women." tunjuk Sraya pada Rio.
Willem berdecak, sedangkan Sraya dan Akram terkekeh.
"RIOOOOOOO, come here," teriak Willem.
Rio pun berlari kecil kearah mereka. Mereka melanjutkan perjalanan, sampai terdengar suara air terjun mereka berempat pun memutuskan untuk kesana.
Jalanan agak sedikit licin Rio dan Willem berjalan di depan beriringan, Sraya dan Akram dibelakang mereka.
Jalanan licin dan sedikit menurun, membuat Sraya hampir terpeleset kalau tidak ditahan Akram.
"Sraya, hati-hati, apa kamu baik baik saja?" tanya Akram cemas.
"Maaf, Mas. Jalanan nya sangat licin, aku salah memakai flastshoes."
Sraya cemberut karena salah memilih baju dan sepatu. Membuat wajah yang menggemaskan dan tetap cantik, Akram dan Sraya saling pandang beberapa detik dan sadar saat Rio memanggil mereka.
"Berpegangan lah pada bahu saya Sraya, tanah dan bebatuan disini memang sedikit berlumut."
Sraya mematuhi apa yang di katakan Akram. Mereka berempat menikmati pemandangan di desan ini, sampai memasuki siang hari mereka kembali kerumah tamu
Mereka menikmati suguhan makan siang dari tuan rumah. Setelah nya mereka berpamitan untuk pulang ke hotel setelah menyetujui beberapa kerja sama.
Akram memandang kepergian mobil yang membawa Sraya dan Willem. Ada perasan aneh yang ia rasakan.
Di dalam mobil Sraya sendiri mengeratkan jaket Akram yang ia kenakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments