Aku diberikan sebuah ruangan kecil tepat di sebelah kamar Tuan Muda. Hanya dengan membalik pintu ini, ruangan sempit ini akan langsung terhubung dengan kamar itu. Satu hal yang harus kujaga adalah, Tuan Muda tidak boleh tahu tentang keberadaan aku sekarang.
Ruangan sepetak ini hanya terdiri dari sebuah dipan dan satu lemari kecil. Untung saja, ada kamar mandi di dalam. Walaupun kamar mandi itu sangat tidak layak. Sempit dan tidak memiliki lampu.
Masa training yang aku jalani akan dimulai esok hari. Namun, jika malam ini terdengar sesuatu dari kamar Tuan Muda aku harus dengan sigap memeriksa keadaan lelaki itu.
Kata wanita paruh baya yang mengantarku ke kamar, Tuan Muda akan mengamuk sewaktu-waktu. Jadi, aku harus bersiap-siap.
Jika dipikir-pikir, pekerjaanku ini seperti baby sitter yang menjaga bayi dua puluh empat jam. Aku harus bertahan, setidaknya untuk satu pekan ke depan.
“Semangat!” seruku tertahan menyemangati diriku sendiri. Cukup membayangkan uang yang akan aku dapatkan untuk menebus rumah warisan itu, membuat semangat yang aku miliki kembali membara.
Aku berbaring di dipan itu lalu memejamkan mata. Tidak lama kemudian, aku larut dalam lelap. Entah berapa lama aku tertidur, saat mengerjapkan mata aku terkaget kala melihat wanita paruh baya itu berada dalam kamar ini dengan membawa baki di tangannya.
“Makanlah! Kamu pasti lapar,” ujarnya lembut seraya tersenyum hangat.
“Terima kasih, Nek,” balasku lirih.
“Kamu bisa memanggilku dengan Bik Sri,” sahutnya seraya meletakkan sebotol air putih beserta cangkirnya ke atas lemari kecil itu.
“Oh, iya, Bik Sri.” Aku mengangguk.
“Aku berharap, kamu adalah orang terakhir yang mengurus Tuan Al.” Aku tercenung mendengar perkataan Bik Sri. “Semoga Tuan Al luluh terhadapmu ....”
“Ayna, Bik. Namaku, Ayna,” timpalku saat Bik Sri menggantung kalimatnya.
“Bibik yakin, Ayna pasti bisa bertahan.”
“Kenapa, Bibik, bisa yakin sekali?” tanyaku bingung.
Aku duduk bersila di atas dipan menghadap Bik Sri yang duduk di pinggiran dipan.
“Kata hati, Ayna,” balasnya seraya tersenyum.
“Bibik sudah lama bekerja di sini?” tanyaku penuh minat.
“Sejak Tuan Al belum lahir,” jawabnya dengan suara lemah. Tatapannya berubah sendu. Aku ingin bertanya lebih lanjut, tetapi sadar diri karena baru hitungan jam aku rumah besar ini.
Aku bersykur, setidaknya ada Bik Sri yang mendukungku. Juga ada satu orang baik yang memberikan kesejukan dalam suasana rumah yang gersang ini.
Aku menghela napas panjang. Ruangan sempit ini semakin terasa sempit saat hening menyelimuti kami. Aku dan Bik Sri sibuk dengan pikiran masing-masing. Entah apa yang sedang dipikirkan wanita paruh baya itu. Namun yang pasti, dia telah yakin jika aku mampu bertahan menghadapi Tuan Al. Hal tersebut membuat keyakinanku pun tumbuh.
Aku dan Bik Sri sama-sama tersentak kaget saat mendengar jeritan diiringi suara-suara barang-barang dari dalam kamar Tuan Al. Bik Sri langsung berdiri dan menyuruhku segera ke kamar asal suara. Tanpa banyak berpikir, aku pun bergegas masuk ke kamar itu.
Tubuhku membeku saat melihat pemandangan di hadapan. Walau dalam cahaya remang-remang karena lampu dipadamkan, hanya mengandalkan sinar matahari dari sela-sela ventilasi. Tampak seorang lelaki yang duduk di kursi roda tengah menjerit histeris seraya melempar apa pun yang ada di hadapannya.
Untuk memastikan keadaan sekitar, aku pun segera mengidupkan lampu ruangan. Siapa sangka jika lelaki itu malah mengamuk dan memakiku.
“Sialan! Siapa yang berani menghidupkan lampu itu?! Matikan!”
Aku mengabaikan pekikan Tuan Al. Aku memilih memunguti barang-barang yang berserakan di lantai. Tanganku mengambil bingkai foto yang memotret gambar dua anak manusia yang tampak sangat bahagia. Seorang lelaki tampan, gagah dan berwibawa tersenyum lebar merangku wanita cantik di sampingnya. Aku meletakkan bingkau tersebut ke atas bufet.
“Hei, pelacur! Keluar dari kamarku!”
Sungguh pemandangan yang sangat berbeda dengan apa yang ada di hadapanku sekarang. Di sana seorang leleki berambut panjang, brewokan sampai wajahnya tak lagi tampak seperti di foto itu. Apakah keduanya adalah dua lelaki yang berbeda?
“Hei! Kau budeg, ya?!” pekiknya tajam dengan sorot mata bengis.
Sejujurnya, nyaliku sedikit ciut menghadapi lelaki itu. Terlebih, aku tidak tahu alasan dia menjerit dan mengamuk tidak jelas seperti itu. Namun, aku juga bisa merasakan kesedihan dari tatapannya tersebut. Tuan Al menyorot tajam, tetapi terasa kosong di sana.
Tuan Al menggerakkan kursi rodanya dengan gerakan cepat, sampai tidak bisa dielak lelaki itu malah terjungkal ke belakang.
“Tuan!” pekikku khawatir.
Aku bergegas mengangkat tubuhnya yang besar itu. Hah. Tubuhnya sangat berat dan keras sekali. Aku sampai kualahan dan hampir kehabisan tenaga membantunya duduk. Ditambah, gerakan tangannya yang berulang kali menolak bantuanku.
“Dasar setan! Pergi kau!” pekiknya memekakkan telinga.
Aku terduduk di lantai, begitu tubuh besar itu telah berhasil duduk di kursi rodanya. Tulang belulangku terasa lepas semua dari tempatnya. Napasku ngos-ngosan sampai dada terasa sesak. Di tambah, gendang telingaku yang mulai berdenging menerima pekikan bertubi-tubi darinya.
Ya Tuhan! Tolong kuatkan ragaku ini! Setidaknya jangan sampai nyawaku tercabut di sini.
Setelah dirasa kekuatan yang kumiliki sedikit membaik. Aku pun berdiri lalu mendorong kursi roda itu mendekati ranjang.
“Tuan harus istirahat,” ujarku terbata.
“Keluar dari kamarku!” Aku memejamkan mata saat menerima jeritan lagi darinya.
“Tuan, pita suara Anda bisa putus jika Anda menjerit-jerit terus seperti ini,” ujarku berusaha santai. “Lagipula, gendang telingaku juga bisa pecah karena mendengar jeritan Tuan itu,” lanjutku.
“Sialan! Keluar!” Tuan Al membalik kursi rodanya sampai menghadapku dengan gerakan cepat. Dia mendorong tubuhku sekuat tenaga sampai terpelanting ke lantai.
Aku meringis kesakitan. Ah, aku tidak siap-siap tadi.
“Aww!”
Aku menjerit saat Tuan Al melempar sebuah botol minuman ke dinding. Allahu Akbar! Hampir saja. Kalau sampai kena, kepalaku pasti sudah pecah.
Aku memejamkan mata dengan kedua tangan kugunakan untuk melindungi kepala, ketika Tuan Al kembali mengangkat botol yang lain dan siap dilayangkannya ke arahku. Namun, suara derap langkah yang memasuki kamar sepertinya menghentikan gerakan Tuan Al.
Aku membuka mata dan melihat dua orang perawat laki-laki beserta seorang dokter, kemudian tampak Nyonya menangis melihat keadaan sang putra. Di samping sang nyonya ada Bik Sri yang setia mendampingi.
Aku berdiri ikut menenangkan Nyonya, sedangkan dua perawat laki-laki itu menahan Tuan Al yang memberontak saat sang dokter menyuntikkan sesuatu di lengannya. Kemudian, Tuan Al pun terkulai lemah lalu dibaringkan ke atas ranjangnya.
Aku bergerak hendak melangkah keluar bersama mereka, tetapi ditahan oleh Nyonya agar tetap tinggal di kamar. Aku pun menurut tanpa berniat membantah.
Setelah tinggal berdua saja di kamar ini, aku bergegas membereskan kekacauan yang terjadi. Tanganku bergerak membuang pecahan botol yang berserak lalu mengepel lantai. Tak lupa juga, aku menyemprotkan pengharum ruangan. Setelah pekerjaanku ini selesai, barulah diriku duduk di sofa yang berada tak jauh dari ranjang. Menunggu Tuan Al bangun atau menunggu titah sang tuan rumah selanjutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments