Nomor Asing

Amanda sudah tidak terlihat lagi di kamar. Dia seakan memang mengerti bagaimana cara mengatasi tekanan di jiwaku. Selama ini, hanya kepada Amanda-lah aku selalu terbuka dan menceritakan apa pun. Baik itu masalah keluarga sampai ke urusan ekonomi.

Usai berganti pakaian, aku memilih keluar kamar dengan membawa ponsel di tangan. Benar kata Amanda, aku butuh refreshing walau sekadar berselancar di media sosial. Selama seminggu ini diriku sengaja menutup semua akun. Alasan tidak ingin diganggu dan merasa malu kepada orang lain malah menjadi benda tajam yang menusuk diriku sendiri. Aku semakin terpuruk dalam kubangan nestapa dan tidak mendapatkan jalan keluar.

Melewati dapur tampak dua orang itu tengah sibuk membuat adonan kue. Aku menyapa sebentar sebagai bentuk kesopanan kepada si pemilik rumah. Ah, padahal sejak kapan aku terlihat sopan dan butuh berasa-basi kepada kedua orang itu?

Aku melangkah menuju teras belakang lalu duduk di kursi bercat putih. Setelah mengaktifkan ponsel barulah terlihat banyaknya panggilan yang tidak terjawab di aplikasi hijau. Panggilan banyak didominasi oleh Adelia dan Riko. Sesaat aku mengabaikan kedua orang itu, sedang tidak berniat menerima panggilan dari siapa pun. Lantas, jemariku bergerak menelusuri perpesanan. Kalau saja ada chat penting di sana. Lagi-lagi, Adelia dan Riko berada di urutan teratas.

Riko adalah pacarku. Kami telah menjalin hubungan selama lima bulan. Namun, akhir-akhir ini hubungan kami tidak cukup baik. Bagaimana bisa baik jika setiap waktu komunikasi kami hanya diisi dengan pertengkaran saja?

Aku merasa jika Riko tidak mengerti dengan kondisiku. Dia memaksaku untuk segera mengerjakan skripsi di semester ini dengan tujuan agar kami bisa lulus bersama

“Biar kita bisa foto pakai toga bersama-sama, Sayang ....” Ucapannya itu membuatku jengkel.

“Kalau hanya untuk foto bersama, kita bisa melakukannya setelah aku lulus, Rik,” balasku ketus.

Di saat Riko tengah sibuk memikirkan judul untuk skripsi mereka, aku sedang sibuk menjual apa pun secara online demi bisa membayar uang semester. Riko mana tahu itu, sebab diriku memang tidak pernah menceritakan apa pun kepadanya.

“Jangan sibuk jualan online terus, Ayna. Kamu harus fokus sama kuliah. Enggak malu sama umur kalau enggak lulus tahun ini?” Suatu hari Riko bertanya sarkas.

“Lha, dirinya sendiri telat lulus,” balasku cuek.

“Iya, makanya aku serius ngurus skripsi semester ini. Kamu juga.”

Mengingat pertengkaran terkahir kami membuatku semakin malas untuk membuka pesan dari Riko. Sedangkan Adelia adalah sepupuku, dia anak Bik Imah. Setelah tidak mendapatkan tempat di rumah baru mereka, untuk apa wanita itu terus menghubungiku. Dua orang itu sangat mengganggu sekali. Jemariku terhenti saat ada notifikasi pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal.

Sebenarnya aku tidak bermaksud untuk membuka chat tersebut. Akan tetapi, jari telunjukku ini yang telah lancang menekan notifikasi itu hingga pesan aneh terpampang di depan mata. Aku menjerit memanggil Amanda yang dengan napas ngos-ngosan telah berdiri di hadapanku.

“Ada apa, sih?” tanya Amanda sedikit jengkel.

“Baca ini!” seruku. “Mimpiku terwujud,” lanjutku girang.

LELANG RUMAH GRATIS BESERTA ISINYA PLUS UANG SERATUS LIMA PULUH JUTA

DICARI! Wanita yang mau menerima lelangan rumah beserta isinya. Dengan syarat sebagai berikut:

Bersedia menerima dan mengurus semua kebutuhan di dalam rumah

Tidak terikat dengan lelaki mana pun atau pekerjaan apa pun

Bersedia melakukan uji coba selama tiga bulan

Catatan lainnya menyusul saat interview

Kelengkapan pendaftaran:

Surat lamaran

Curiculum Vitae

Foto terbaru

Penting : Pengumuman ini berlaku 1x24 jam setelah Anda terima.

Aku bisa merasakan ketegangan di wajah Amanda. Kedua matanya melotot dari tadi, sampai-sampai aku bergidik ngeri memikirkan kalau saja bola mata itu akan meloncat keluar.

“Sinting!” umpatan kasar meluncur begitu saja dari mulut Amanda. Dia tampak sangat kesal.

Kemudian, Amanda meletakkan benda pipih itu secara kasar ke atas meja kecil di samping kursi yang kutempati. Hah. Untung saja tidak dilemparnya.

“Hanya orang sinting yang mengirimkan pesan seperti itu.” Sepertinya, Amanda belum cukup puas hanya dengan umpatan sekali saja. “Itu pasti kerjaan penipu online, Ayna. Hoax,” lanjutnya dengan binar berapi-rapi.

Berbeda denganku yang berpikir bahwa pesan tersebut adalah sebuah jawaban atas doa yang aku panjatkan. Benar katanya, ‘Memintalah sungguh-sungguh, maka Tuhan akan mengabulkannya.’ Aku lupa itu kata siapa ....

Kuraih ponsel yang tergeletak malang di atas meja. Tanganku bergerak cepat membuka aplikasi percakapan lalu membaca ulang chat dari nomor asing tersebut. Mengaja setiap kata per kata jangan sampai ada yang terlewatkan.

“Manda ....” Panggilanku kepada Amanda tidak mendapatkan respons.

Aku melirik ke arah Amanda. Wanita itu telah duduk di kursi di samping, jarak kami tersekat oleh meja kecil. Kemudian, mataku kembali fokus membaca pengumuman di layar. “Maksud syarat nomor satu ini gimana?” tanyaku padanya.

Amanda berdecak kesal, tetapi dia tetap menjawab pertanyaanku, “Sudahlah, Ayna. Enggak usah ditanggepi chat aneh begitu. Mana dari orang tidak dikenal juga. Iseng tauk,” omelnya. Aku nyengir membalas omelannya tersebut. “Itu hoax, Ayna. Hoax,” lanjutnya penuh penekanan.

“Ya gimana? Namanya juga lagi butuh. Kita enggak bakalan tahu chat ini hoax kalau belum memeriksanya langsung, ‘kan.” Aku masih berusaha meyakinkannya.

“Iya, tapi, ‘kan ....”

Sepertinya Amanda kehabisan kata-kata, terbukti ucapannya itu tidak berlanjut lalu berganti dengan dengkusan sebal.

“Kalau beneran, ‘kan, lumayan dapat duit seratus lima puluh juta. Aku tinggal butuh lima puluh juta lagi,” ucapku pelan dan berhati-hati.

Sesekali mataku melirik ke arah Amanda, mengawasi perubahan ekspres wajahnya. Dia tampak geram dengan rahang yang kaku. Jari telunjuknya mengetuk-ngetuk meja, seperti tengah berpikir sesuatu.

“Terus ... rumahnya aja sekalian dijual untuk tambahan bayar utang, sama bayar semesteran. Sisanya untuk ngontrak,” lanjutku semangat.

“Hayalanmu ketinggian, Nona,” ucapnya sarkas.

Dasar! Enggak seneng bener lihat temennya seneng.

“Biarin. Anggap aja doa,” balasku dengen bibir mencebik. “Jadi syarat nomor satu ini gimana?” tanyaku lagi.

Amanda mendesah panjang lantas mengambil ponsel di tanganku. Dia membaca syarat yang kumaksud dengan suara keras.

“Enggak tahu gimana maksudnya.” Amanda mengangkat bahu tak acuh, sedangkan aku mendengkus kesal. Sedetik kemudian, dia berkata pelan, “Bisa jadi kamu bakalan dijadikan pembantu. Atau dijadikan istri,” terkanya memberi kesimpulan.

“Masak, sih?” tanyaku kaget sekaligus tak percaya. Pasalnya, di pengumuman tersebut tidak ada satu kata pun yang menyinggung soal istri atau pembantu.

“Hei! Emang lu kira rumah beserta isinya itu beneran gratis? Jangan mimpi!” Seruan Amanda membuatku terlonjak kaget. “Zaman sekarang mana ada yang gratis,” lanjutnya.

“Tapi itu tulisannya gratis, Manda. Coba, deh,baca lagi.” Aku masih berusaha mencari pembenaran sekaligus pembelaan.

“Pinter-pinter orang marketing aja itu,” sahutnya santai.

“Oke. Kita lihat besok.”

Terpopuler

Comments

Gomen nasai

Gomen nasai

Sedangkan aku malah dapet SMS kaya gini

piye kabare? Kok gak tau SMS/telepon...

2022-12-29

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!