Aku merogoh ponsel di dalam tas,mengaduk-aduk isinya sampai kugenggam benda pipih itu. Mengeluarkannya dengan perasaan gugup lalu membuka aplikasi percakapan kepada nomor asing yang mengirim pengumuman kepadaku.
Aku berdecak kesal saat menyadari bahwa waktu terus berjalan. Ancaman agar jangan datang terlambat menghantuiku. Seharusnya sekarang tidak termasuk kategori terlambat, bukan? Sebab aku telah berada di luar gerbang rumah itu sepuluh menit yang lalu. Ya, tersisa lima menit lagi sampai angka berubah ke pukul 09.00.
Aku memberikan ponsel kepada lelaki yang masih menunggu jawabanku itu, menunjukkan isi pesan di layar lalu bertanya harus menemui siapa. Lantas, lelaki itu pun menyuruhku masuk untuk menunggu sebentar di ruang keamanan. Sedangkan dia menghubungi seseorang di sana. Kemudian, lelaki itu menyuruhku masuk ke rumah dikawal olehnya.
Benar, ‘kan, aku membutuhkan waktu bermenit-menit untuk sampai di depan pintu utama rumah besar bercat abu-abu itu. Halaman luas nan hijau itu sepertinya memang tidak cocok dilalui dengan berjalan kaki. Aku yakin penghuni rumah itu tidak pernah berjalan kaki di sini.
Aku berdiri dengan napas ngos-ngosan. Belum selesai mengatur napas, pintu tinggi itu telah terbuka lebar, menampilkan sosok seorang wanita paruh baya. Wanita tua itu membungkuk hormat yang kubalas dengan anggukan sopan. Lantas, dia menyuruhku mengikutinya untuk masuk ke rumah mewah itu.
Sayang sekali, aku tidak sempat memperhatikan isi di dalam rumah, sebab rasa cemas yang tiba-tiba menyergapku membuatku sibuk dengan pikiran sendiri. Mataku sempat menangkap lampu besar nan mewah yang menggantung di atas ruang tamu. Namun, sepertinya tujuan kami bukan di ruangan besar ini.
Wanita itu terus melangkah menaiki tangga. Tanpa bertanya, aku mengikuti langkahnya dari belakang. Kemudian, aku berbelok ke arah kanan sampai di ujung ruangan wanita itu berhenti di depan pintu bercat hitam dengan ukiran naga di sana. Ukiran klasik, tetapi berkesan menyeramkan bagiku.
“Silakan, Mbak. Sudah ditunggu.” Setelah mempersilakan diriku masuk, wanita itu melangkah pergi.
Aku mengetuk sebentar sebelum membuka pintu ruangan tersebut. Tubuhku terpaku saat melihat seorang lelaki muda duduk di kursi dengan kedua tangan yang saling bertautan di atas meja. Lelaki itu kutaksir berumur tiga puluhan atau mungkin seumuran dengan Mas Wira -suami Amanda- wajahnya putih bersih. Nyamuk aja bakalan terpeleset kalau sampai hinggap di wajahnya itu. ups. Mikirin apa, sih, Ayna?
“Permisi, Pak,” sapaku pelan seraya mengangguk hormat.
“Hm.” Lelaki itu hanya membalas dengan dehaman pelan. Ugh, tatapan matanya tajam setajam burung elang yang sedang berburu mangsa.
“Perkenalkan, saya Ayna Larasati berumur dua puluh empat tahun, berstatus jomlo. Pekerjaan mahasiswa semester akhir.” Aku berinisiatif memperkenalkan diri sendiri sebelum lelaki itu bertanya.
“Duduk,” ujarnya tegas.
Aku melangkah lebar mendekati kursi yang berada di hadapan lelaki itu lalu menggeser kursi itu sedikit untuk duduk di sana. Aku berdeham pelan untuk mengembalikan suara yang terasa hilang.
“Saya sudah membaca berkasmu, tidak perlu berbasa-basi memperkenalkan diri.” Ucapan lelaki itu kontan saja membuat wajahku panas karena malu.
“Saya di sini akan menegaskan peraturan yang berlaku. Saat Anda telah memasukkan berkas lamaran kepada kami, maka tidak bisa mengundurkan diri.” Mataku mengerjap-ngerjap mencerna perkataan lelaki di hadapan itu. “Itu tandanya, Anda setuju dengan segala peraturan dan konsekuensinya,” lanjutnya.
Aku memejamkan mata. Tamat sudah riwayatku.
Beberapa detik hening, kuartikan sebagai bentuk kesempatan untuk diriku berbicara. “Lalu, apa tugas saya?” tanyaku hati-hati.
“Anda akan mengurus rumah ini beserta pemiliknya.”
“Jadi, saya harus mengurus Anda, Pak?”
Kalau mengurusi keperluan lelaki tampan ini, sih, aku mau. Gampang! Aku tersenyum tipis.
“Saya hanya pekerja di sini.”
“Ha?” Mataku mendelik kaget. Kalau pekerjanya saja sudah menyeramkan begini, bagaimana dengan si pemilik rumah? Iya, sih, dia memang tampan, tetapi tetap saja menyeramkan. Tatapannya saja seakan tengah mengulitiku habis-habisan.
“Tapi perlu dicoba bagaimana Anda bisa mengurus saya dengan baik. Tes di ranjang, misalnya.” Seringai licik sekaligus meremehkan tercetak jelas di wajahnya.
“A-apa maksud Anda, Pak? Bukankah kita sama-sama pekerja di sini.” Aku telah bersiap dengan mode siaga. Masak harus langsung berurusan dengan ranjang. Tidak bisa dibiarkan. Aku, ‘kan, tidak berpengalaman soal itu.
“Anda tidak akan bisa mencapai tahap selanjutnya jika tidak lulus di sini ....”
“Jadi, maksudnya saya harus melayani Anda di ... ranjang?”
“Ya,” jawabnya singkat yang sontak membuatku ketar-ketar.
Oke. Kalau ini memang harus terjadi sekarang. Aku harus memastikan sesuatu terlebih dahulu.
“Bagaimana dengan uang seratus lima puluh juta itu? Kapan bisa saya dapatkan?” tanyaku dengan ekspresi yang kubuat setenang mungkin. Dia tidak boleh melihat ketakutan dalam diriku.
Siapa sangka, lelaki itu malah tertawa terbahak. “Saya tidak menyangka, Anda punya nyali sebesar ini,” ujarnya saat tawanya berhenti.
“Saya membutuhkan uang itu,” ketusku.
“Alasan yang klasik. Semua orang yang ke sini menggunakan alasan yang sama, tetapi tidak bisa bertahan menghadapi tuan muda,” sahutnya sinis.
Oh, jadi aku harus mengurusi si tuan muda itu.
“Dengar! Uang itu bisa Anda dapatkan secepatnya ....”
“Kapan?” selaku. “Saya butuh dalam pekan ini. Dan saya pastikan Anda tidak akan menyesal karena telah menerima saya di sini,” lanjutku berusaha meyakinkannya.
Setelah kesepakatan itu aku dapatkan. Aku akan segera menjual rumah ini lalu kabur sejauh mungkin.
“Bisa diatur, dengan syarat Anda harus melayani saya di ranjang.” Aku benci melihat seringai liciknya itu.
“Apa itu tidak termasuk dengan pengkhianatan?” Aku menunggu sejenak respons lelaki itu. Dia diam, hal itu kuartikan sebagai tanda bahwa dia tengah menunggu kelanjutan kalimatku. “Bukankah Anda hanya seorang pekerja di rumah ini. Tuan Anda yang berhak atas hidup saya karena saya berniat dengan lelangan rumah beserta isinya sesuai dengan pengumuman yang saya terima,” lanjutku tegas.
“Anda pemberani sekali, ya. Bukankah sudah saya katakan? Jika saya yang menentukan apakah Anda bisa ke tahap selanjutnya atau tidak. Yang artinya, hidup Anda sekarang berada di tangan saya.” Dia tersenyum miring.
“Apa yang harus saya lakukan?” tanyaku mati kutu. Aku sudah tidak bisa mengucapkan kalimat untuk membantah argumen lelaki itu.
Lelaki berpakaian rapi itu berdiri. Dari penampilannya tidak akan ada yang percaya jika dia hanyalah seorang pekerja. Modis, rapi, tampan, menawan, perpaduan yang sangat pas.
Aku mengikuti langkah panjangnya di belakang. Keluar dari ruangannya lalu membawaku ke sebuah ruangan yang lain. Dari luar semua tampak sama, pintu tertutup dengan ukurian naga. Namun, saat pintu itu terbuka, satu kesan yang melekat di kepalaku sekarang bahwa ruangan ini lebih menyeramkan dari yang pertama tadi. Semua serba hitam, tidak ada paduan warna lain yang lebih terang. Bahkan untuk ukuran sofa beserta mejanya pun berwana hitam. Tampak seorang wanita cantik duduk di sofa dengan pakaian serba hitam.
“Permisi, Nyonya. Wanita itu sudah datang,” ujar lelaki itu pelan dan sopan.
“Suruh dia duduk, Reno!” balasnya memberi perintah.
Oh, nama lelaki itu Reno.
“Nyonya menyuruh Anda duduk,” ujar Reno menoleh kepadaku.
Aku tersenyum membalas tatapannya lalu berujar lirih, “Terima kasih, Reno.” Ekspresi lelaki itu tampak kaget, tetapi dia tidak mengatakan apa pun. Setelah berpamitan kepada wanita itu, Reno pun melangkah pergi.
Aku duduk di hadapan wanita itu dengan kedua tangan saling bertautan di atas pangkuan. Untung saja ada meja di antara kami, sehingga dia tidak perlu melihat jemari kakiku yang bergerak gelisah.
“Reno sudah mengatakan peraturannya kepadamu?” tanya wanita itu dengan nada datar.
“Sudah, Nyonya,” jawabku seraya mengangguk.
“Percobaanmu selama tiga bulan. Dan kamu tidak bisa mundur, jika mundur kamu harus membayar kompensasi dua kali lipat. Uang dibayarkan besok dan kamu tinggal di rumah ini mulai dari sekarang. Satu lagi, jangan harap bisa keluar dari rumah ini setelah masuk,” jelasnya tanpa putus dan tanpa ampun.
Aku menelan ludah dengan susah payah. Saat ini, rasanya malaikat pencabut nyawa sudah bersiap mencabut nyawaku membuatnya bercerai berai.
“Tapi ... saya tidak membawa pakaian, Nyonya,” ujarku saat nyawa telah kembali berkumpul.
“Banyak pakaian di sini.”
“Dan jika anakku tidak menyukaimu, kamu harus siap dengan konsekuensinya.”
“Apa itu, Nyonya?”
“Aku akan membuat hidupmu layaknya anjing jalanan.”
Bagaimana mungkin ada orang sekejam itu di dunia ini? Aku pikir, keluargu sudah cukup kejam karena telah menelantarkanku. Baiklah, tidak masalah di sini atau di luaran sana hidupku memang sudah tiada artinya lagi. Yang terpenting adalah aku bisa menebus rumah warisan yang tergadaikan.
“Tapi, saya butuh lima puluh juta lagi, Nya. Uang yang Anda berikan belum cukup untuk menebus utang saya,” ucapku bernegosiasi.
“Tidak masalah. Toh rumah ini kelak juga akan menjadi milikmu jika kamu berhasil. Itu berarti, kamu harus siap menjadi istri anakku.”
Apa? Istri anaknya? Jangan sampai lebih menyeramkan dari wanita ini. Dia orang yang harus aku urus, ‘kan?
“Percobaanmu dipercepat, hanya satu pekan untuk mendapatkan uangmu itu.” Keputusan wanita itu berubah bahkan saat kami belum keluar dari ruangan ini.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments