“Jangan lupa, kalau terjadi apa-apa langsung hubungi aku ya,” ucap Amanda khawatir.
“Iya-iya. Dah, keluar sana aku mau siap-siap,” balasku malas dengan mulut yang sesekali menguap lebar.
Mataku tadi masih sangat berat untuk dibuka saat goncangan di tubuh mengusik lelap aku. Baru tidur dua jam dan sudah dibangunkan itu rasanya ... sangat menjengkelkan.
“Daftar pertanyaan yang mau kamu ajukan sudah dibuat belum?” tanya Amanda lagi. Dia tidak mengindahkan pengusiran yang aku lakukan tadi.
Cukup sadar diri, Ayna. Ini rumah Amanda yang berarti juga kamar ini adalah kamar miliknya.
“Sudah,” jawabku singkat.
“Ya udah, aku tunggu di meja makan.”
Aku menutup kepala dengan selimut saat tubuh Amanda telah keluar dari kamar ini dan menutup pintunya. Ah, rupanya mataku tak lagi mampu menjemput kantuk. Maka, aku putuskan untuk turun dari ranjang, mengambil handuk di gantungan lalu melangkah lebar menuju kamar mandi.
Segarnya air dingin yang mengguyur kepala sampai tubuhku semakin melebarkan kedua kelopak mataku. Usai mandi aku duduk di depan cermin, tanganku mengambil hair dryer untuk mengeringkan rambut.
Setelah rambut dipastikan kering, aku pun melangkah ke lemari pakaian. Sejenak aku terpaku memikirkan busana apa yang cocok dikenakan hari ini. Lantas, pilihanku jatuh pada rok levis sebetis dipadukan dengan kemeja berwarna putih.
Usai berpakaian, aku pun lantas kembali menghadap cermin. Tanganku bergerak pelan menyisir rambut hitam yang kau punya ini lalu mengikatnya satu ekor kuda. Kemudian, memoles wajah dengan make-up tipis. Setelah semuanya beres, barulah aku keluar kamar untuk sarapan.
Di ruang makan, Amanda telah menunggu dengan pakaian yang tak kalah rapi. Pandanganku tertuju pada sebuah koper di sudut ruangan. Rupanya, Amanda bukannya menjemput suaminya ke bandara melainkan akan menyusul lelaki itu ke Sumatera.
“Gitu aja, katanya kalau ada apa-apa langsung kabari. Eh, dianya pergi begitu saja. Ninggalin aku,” cibirku menggodanya. Aku menahan senyum.
“Mas Wira mengubah rencana Subuh tadi. Tahu-tahu, aku sudah dibelikan tiket.” Amanda menampilkan ekspresi memelas. Wajah sok polosnya sangat tidak cocok dengannya yang binar matanya menunjukkan kebahagiaan. “Kalau udah begitu, aku bisa apa?” lanjutnya. Kemudian terkekeh pelan, sementara aku hanya mendengkus saja.
Sebenarnya sih, aku tidak masalah. Kasihan juga sahabat ku itu jika hanya di rumah saja sendirian menunggu kepulangan sang suami tercinta.
Akan tetapi, aku justru mencebikkan bibir, “Dih ....” Kami pun tertawa bersama. Amanda tampak sangat bahagia sekarang. Aku juga ikut bahagia jika dia bahagia
Tidak berapa lama kemudian terdengar nada dering di ponsel Amanda, rupanya si tukang ojek online sudah berada di depan pagar. Aku bahkan belum menyelesaikan sarapanku.
Amanda mengantarku sampai ke depan. Kami berpelukan sebentar lalu cipika cipiki ala dua sejoli yang akan berpisah lama.
“Hati-hati. Jangan lupa kasih kabar,” ujar Amanda memberi pesan yang aku balas dengan anggukan saja.
Lantas, aku pun melambaikan tangan sebelum naik ke motor. Amanda membalasku dengan tak kalah hebohnya. Kami seakan akan berpisah lama.
Kendaraan roda dua itu melaju meninggalkan komplek perumahan. Saat berada di jalan raya kecepatannya berubah cukup kencang sampai aku harus berpegangan di besi bagian belakang dengan sangat erat. Keadaan ini sangat tidak baik, sebab aku duduk dengan posisi menyamping.
Tiba-tiba saja, motor ini mengerem mendadak. Lupakan rasa risih jika aku harus berpegangan erat ke pinggang si tukang ojek itu. Bukan hanya berpegangan, tetapi kedua tangan aku bahkan memelu pinggang di hadapanku itu dengan sangat erat.
“Hati-hati, dong, Pak,” ketusku.
“Maaf, Mbak. Sepertinya ada kecelakaan di depan sana.”
Hah?
Apa yang terjadi ini?
Belum belum, aku sudah menghadapi kesulitan seperti ini. Semoga ini bukan pertanda buruk yang memberikan dampak pada kehidupanku yang akan datang. Aku benar-benar sangat khawatir. Jantungku sampai berdetak tak keruan menghadapi kekalutan ini.
Perjalanan pagi ini sungguh melelahkan. Setelah terkena macet karena insiden kecelakaan itu selama beberapa menit, untung saja si tukang ojek itu mencari alternatif jalan lain. Walaupun harus menghabiskan waktu lebih dari yang seharusnya.
Begitu kendaraan roda dua ini berhenti di depan pagar tinggi bercat hitam, aku segera turun dan melepaskan helm di kepala lalu memberikannya kepada si tukang ojek itu. Setelah mengucapkan terima kasih, aku tidak lagi sempat menoleh untuk melepas kepergian ojek yang telah berjasa itu, sebab diriku telah sibuk membenahi penampilan yang acak-acakan.
Beberapa menit menghabiskan waktu membenahi penampilan, tidak terasa waktu di jam tangan telah menunjuk ke angka sembilan kurang lima belas menit. Aku gusar. Tiba-tiba saja nyaliku ciut. Entah ke mana perginya keberanian yang telah aku pupuk sejak tadi bahkan dari semalaman. Di detik ini ada rasa ingin mundur melangkah ke belakang lalu meninggalkan kegilaan ini. Ini benar-benar gila. Semua yang terjadi sekarang di luar nalar logikaku. Aku berjalan begitu saja, memilih jalan pintas ini tanpa bisa berpikir panjang lagi.
Terlebih, saat ingatan yang mendadak terbang jauh pada masa-masa hidup bahagia di rumah itu membuatku merana. Bagaimana perlakuan suami Bik Imah yang mencari kesempatan melecehkan diriku ini, lalu cara lelaki itu menggadaikan harta yang aku miliki satu-satunya itu dengan amat tragis kini terbayang jelas di kepala.
Ya. Aku tidak bisa mundur lagi sekarang. Langkah ini harus maju ke depan dan suatu saat harus bisa membalas rasa sakit ini kepada mereka. Orang-orang yang telah menghancurkan hidupku.
Tekad yang aku miliki kembali terkumpul di dada. Aku mengepalkan tangan di udara.
Aku membusungkan dada, mengangkat dagu sampai bisa menatap ke depan secara sempurna. Bangunan di balik pagar hitam nan tinggi itulah tujuanku sekarang. Tidak peduli apa yang akan terjadi di dalam, aku harus bisa mendapatkan uang itu. Walaupun harus menjual diri, aku tidak peduli.
Langkahku terayun yakin. Keraguan di hatiku lenyap pergi. Aku tidak menggunakan hati nurani di sini, tidak memerlukan itu. Yang aku butuhkan sekarang adalah uang yang harus cepat dibayarkan guna menebus rumah warisan itu.
Tanganku terangkat ke atas untuk menekan bel di sana. Kemudian aku melangkah mundur menunggu gerbang itu terbuka. Tidak perlu menunggu waktu lama, seorang lelaki berseragam security berdiri tegap di hadapan dengan tangan memegang pinggiran pagar. Sepertinya, tidak semua orang bisa masuk ke lokasi itu.
“Ada perlu apa, Mbak? Mau ketemu siapa?” tanya lelaki berseragam itu sopan dan tegas.
“Eh, em ....” Sial. Kenapa aku enggak tanya harus menemui siapa di rumah ini. Apa yang harus aku lakukan sekarang?
Pulang? No!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments