BAGIAN 4

--

*

Setengah melamun, menikmati udara sejuk dari jendela. Seminggu belakangan, sepasang suami-istri itu sering saling diam. Bicara seadanya, tapi si wanita tetap menyiapkan seluruh kebutuhan sang suami, pun shalat jamaah tiap hari terjadi. Namun, kata-kata danis tak pernah terdengar. Membuat keduanya kian gusar.

"Saya berangkat, Syah."

Di ambang pintu Yusuf selalu berpamitan, walau tau Aisyah tidak mungkin menghiraukan.

Menetes lagi crystal bening dari peluluk mata, Aisyah bingung harus bagaimana. Benar, ia kesal permintaannya tidak dikabulkan, tapi sisi lain menyesal karena terlalu egois.

"Sedalam-dalam rasa, kamu tetap yang kucinta." racaunya di sela tangis yang kian kacau.

--

*

Menyandarkan punggung di kursi kebesaran, mengamati ramainya jalanan, berharap agar rasa sepi ikut menyeruak, terbang. Beberapa kali memejamkan mata, ada denyut pusing yang melanda.

"Maafkan saya Aisyah ...," batinnya menyesal.

Sejenak menghela napas, lalu berdiri mengambil tas, tanpa berfikir panjang ia melesat pulang. Tidak peduli jika nanti diacuhkah, nyatanya hanya wajah polos Aisyah yang mampu membuatnya tenang.

--

*

"Aku gak bisa tidur kalo kamu liatin terus!" sungut Aisyah kesal. Bagaimana tidak, setiap malam ia harus merasakan debaran dan rasa sesak yang bersamaan.

Senyum Yusuf mengembang, ia lebih baik dimarahi dari pada didiamkan.

"Saya gak bisa tidur," alibi terus memandang Aisyah.

Mengdengus sebal Aisyah membaikkan badan. Namun cepat Yusuf tahan.

"Di dalam Islam tidur yang baik menghadap kanan," ucapnya mengingatkan.

Tak menjawab, tapi tetap menuruti. Aisyah bahkan memajukan wajahnya menghapus jarak di antara mereka.

"Kenapa selalu begadang?" tanyanya, meski dengan tampang datar, bukan berarti ia tak peduli.

Mengendikkan bahu, lantas bertanya, "Boleh saya peluk kamu?"

Refleks Aisyah menjauhkan diri, "Gak!" ketusnya, mengalihkan pandangan ke langit-langit kamar.

Tangan Yusuf terulur menggenggam jemari Aisyah, ada sakit yang menjalar mendengar penolakannya.

Cepat Aisyah menarik paksa lengan, kemudian mengubah posisi menjadi duduk. Membuat Yusuf melakukan hal yang sama.

"Masih marah?" tanya Yusuf lembut, takut-takut salah lagi.

Dengan wajah dibuat polos Aisyah menunjuk keningnya. Sontak mata sang suami membulat tak percaya.

Seolah tak ingin menyia-nyiakan kesempatan secepat kilat ia mendekat dan mencium kening istrinya cukup lama. Lantas tersenyum puas melihat Aisyah kembali meringkuk dalam selimut.

--

*

Mondar-mandir pria itu depan kamar mandi, menunggu dengan hati yang was-was. Hendak mengutarakan keinginan, tapi nyalinya menciut saat mendengar pintu terbuka lalu tertutup kembali.

Meski setengah heran melihat gelagat aneh suaminya, Aisyah tetap bersikap biasa saja.

"Aisyah ...," panggilnya pelan. Melangkah mendekati istrinya yang sekarang duduk di ranjang dengan beberapa baju kotor di tangan.

Yusuf memposikan diri tepat di samping Aisyah. Namun si istri tetap tak berniat menoleh.

"Boleh pakaikan dasi saya?" katanya memelas.

Menghela napas, Aisyah menahan tawa. Lalu berdiri mengambil alih dasi dalam genggaman suaminya.

Seperti anak kecil yang mendapat mainan, Yusuf tersenyum senang. Sedikit membungkuk Aisyah memakaikan dasi di leher suaminya walau harus menahan detak yang terus menyentak.

"Kalo susah, saya berdiri aja, ya?" ucap Yusuf melihat Aisyah sedikit kesulitan, mungkin takut lutut mereka bersentuhan.

"Gak usah. Lagian kamu terlalu tinggi. Nanti malah aku jinjit-jinjit terus jatuh lagi," balasnya mengerling malas.

"Kan bisa saya tangkep, Syah," goda Yusuf langsung dihadiahi pelototan.

--

*

Duduk di sofa, Aisyah tertawa mendengar banyak cerita panjang uminya. Semenjak keluar rumah sakit, Aisyahlah yang selalu megurus kebutuhan rumah. Meski harus banyak belajar lagi, tapi ia tidak pernah mengeluh lelah. Hal itulah yang Membuat hati umi luluh dan semakin menyayanginya, hingga amarah hilang begitu saja tanpa tersisa.

"Umi kenapa suka buat Abi kebingungan?" tanyanya sambil tertawa.

Umi menggeleng, ia juga heran mengapa selalu merepotkan suaminya itu.

"Kamu udah ngisi?" Tiba-tiba Umi memegang perut Aisyah.

Aisyah tersentak kaget, bingung harus menjawab apa, pasalnya mustahil sekali ia hamil, sedangkan melakukan 'itu' sama sekali tidak pernah. Setelah pesta berakhir keduanya saling kelelahan, di hari selanjutnya malah bertengkar.

Dirasa menyakiti, umi langsung merengkuh Aisyah seolah menyalurkan kekuatan.

"Jangan jadi pikiran. Umi cuma tanya saja," katanya berusaha menenangkan.

Aisyah mengangguk samar, isak tangis pun mulai terdengar.

"Umi ... Aisyah kenapa?"

Dua wanita itu menengok ke arah sumber suara, di sana, pintu utama masih terbuka berdiri seorang pria menatap khawatir mereka.

Melerai pelukan dengan umi, Aisyah berjalan menghampiri sang suami. Masih dibanjiri air mata di pipi, "Yusuf peluk aku!" pintanya dengan suara sengau seraya merentangkan tangan.

Tasnya dibuang, memilih menarik gadis yang sesegukan itu dalam dekapan.

Mengerti, umi pergi. Meninggalkan mereka sendiri.

Tanpa kata Yusuf menggendong Aisyah ke kamar membaringkan tubuhnya di ranjang.

Hening

Terasa lebih tenang, Aisyah mendongak menatap lekat Yusuf yang sedari tadi dirundung penasaran.

"Aku baik-baik aja, kok," katanya menjelaskan supaya Yusuf tidak terus cemaskan.

"Saya minta maaf, Syah." Bukannya menjawab Yusuf malah merasa bersalah.

Aisyah mengernyit bingung, "Aku yang sa--"

"Saya sangat mencintai kamu, juga menyayangi Umi. Lantas bagaimana cara memilih antara malaikat dan bidadari?"

Aisyah tak mengerti arah pembicaraan ini, ia mengubah posisi menjadi duduk berhadapan dengan sang suami.

Dijatuhkannya dagu di bahu Aisyah, tangan meliliti perut rampingnya.

"Saya tidak bisa memilih, Syah. Kalian ada dalam hati saya, dengan posisi yang berbeda, tapi sama berharganya."

Mematung, Aisyah bingung. Benar ia ingin hidup mandiri bersama suami. Namun jika keinginannya membuat umi sakit hati. Mau tak mau ia harus bertahan di rumah ini.

--

*

Lagi, Aisyah diminta Salsa datang ke kampus, tentunya dengan embel-embel rindu. Tak ingin mengecewakan, Aisyah terpaksa berbohong demi bertemu sahabatnya.

"Ada yang mau ketemu," bisik Salsa terkekeh pelan.

Menaikkan alis, Aisyah mencoba menerka sesiapa yang hendak menemuinya sampai membuat Salsa memohon semalaman.

"Makin manis aja, Syah!" seru seseorang dari belakang Salsa dengan senyum lebar.

Membulat sempurna netra Aisyah, memandang tak percaya pada objek di depannya.

"Kak Bimaaa?!" pekiknya.

Pria itu mengangguk.

Aisyah berbinar senang, "Kenapa gak bilang kalo udah pulang?"

Bima tertawa kecil sambil mengusap ubun-ubun Aisyah yang ditutupi kerudung merah.

"Udah alim, ya, sekarang?"

Aisyah menyengir malu.

Bergetar hape Salsa, dirogohnya saku kemeja, Dahi berkerut bingung melihat layar yang tak ada nama menghubungi nomernya. Namun, tetap ia angkat.

"Halo ...." Diletakkannya benda persegi itu di telinga.

"Maaf, ini siapa, ya?" tanya Salsa lagi ketika tak kunjung ada respon dari seberang.

"Aisyah lagi sama siapa?"

Salsa menelan salivanya, jantungnya berdebar tak karuan, suara dari telepon itu seperti pernah ia dengar. Ditatapnya Aisyah dan Bima yang entah kapan telah duduk di bangku salah satu taman, diiringi tawa bahagia layaknya kekasih yang sedang melepas rasa rindu.

--

*

Terpopuler

Comments

Mukmini Salasiyanti

Mukmini Salasiyanti

aishhhhh sudahlah..
kl ada Bima knp Terima yusuf??
yg halal ad koq dianggurin, syah..
layani suamimu...

2023-08-05

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!