--
*
Terngiang permintaan istrinya, bukan tak ingin atau tidak mampu membeli sebuah rumah. Namun yang jadi masalah adalah uminya. Bagaimana reaksi wanita itu nanti, Yusuf masih ingat jelas betapa antusias beliau menyambut Aisyah.
"Kamu gak bangunin aku," kesal Aisyah baru bangun dari tidurnya. Lalu duduk di tepi ranjang sambil menggosok mata berulang-ulang.
Menoleh, Yusuf berusaha tersenyum tenang menutupi keterkejutannya. "Sini geh, Syah!" mintanya menepuk bagian sajadah yang kosong.
Segera Aisyah menghampiri sang suami dengan sesekali menguap, lalu duduk di sajadah yang sama. Berhadapan.
Yusuf sedikit memajukan badan membuat keduanya tak ada jarak, diraihnya kepala Aisyah pelan, lantas mengecup keningnya lama. Aisyah yang tak mengerti hanya diam menikmati desiran hangat menjalar, hingga mencetak semburat merah di pipi.
Tangan Yusuf beralih mengacak rambut Aisyah yang memang sudah berantakkan. Ia tersenyum lebar menatap rona yang membuatnya makin jatuh cinta.
"Kenapa sih? Kok aneh gitu?" Mata Aisyah menyipit, menangkap kejanggalan.
Yusuf menggeleng. "Kamu tau?" ucapnya kemudian. Aisyah mengendikkan bahu.
"Saya lagi bimbang, tapi setelah melihat rona pipi kamu hawa panasnya hilang," sambungnya sembari merapikan helaian rambut Aisyah yang menempel di pipi dan sekitar leher.
Aisyah memutar bola mata malas, sontak tawa Yusuf berderai.
"Wisuda kapan?" Yusuf mengubah topik pembicaraan.
"Belum tau. Tapi nanti siang aku ke kampus."
"Siang?" ulang suaminya.
Aisyah mengangguk.
--
*
Suasana yang dirindukan, taman. Ditemani bunga-bunga bermekaran seolah menggambarkan isi hatinya. Mata menyusuri beberapa bangku di sana, tapi temannya itu tak kunjung datang juga. Belum lagi terik sang surya membuat pelipisnya berkeringat, dikibas-kibaskan tangan tepat depan wajah berharap gerah sedikit berkurang.
"Aisyahkuuu!" teriak seseorang dari kejauhan. Yang dipanggil menyipatkan mata memastikan siapa orang tersebut. Detik berikutnya berbinar senang, lantas berlari memeluk erat Salsa.
"Gimana semalem?" goda Salsa dengan sesekali tertawa.
Sontak cubitan kencang yang ia dapat, Aisyah tersenyum puas, "Otak tolong dikondisikan!" sungutnya kesal.
Salsa mengusap perutnya yang terasa sakit, "Jahat banget!"
Tawa Aisyah berderai menikmati mimik wajah sahabatnya yang tengah menahan nyeri.
"Maaf, ya, cans!"
Salsa mengerling malas, "Untung sayang, kalo gak udah dibuang."
Aisyah hanya tekekeh geli, "Makan, yuk. Teraktir jangan?"
Tersenyum puas, Salsa menarik lengan Aisyah menuju kantin.
--
*
Deras air mata mengalir. Sari masih terisak dalam dekapan Yazis, suaminya. Ada sesak yang kembali menyeruak, padahal baru saja seolah dunia berpihak. Tangan Yazis tak henti mengusap punggung istrinya yang semakin bergetar.
Yazis melerai pelukan lalu menarik dagu Sari menatapnya lekat manik mata sembab istrinya seraya tersenyum menenangkan.
"Meskipun tak seatap, bukan berarti kita dan mereka tak bisa lagi saling bertatap."
Sari menggeleng dengan tangis yang kian menjadi, hidupnya terasa hampa saat Yasiz menyampaikan permintaan putra dan menantunya.
"Memang berat, tapi keadaan memaksa kita harus tetap kuat." Dibenamkan lagi kepala Sari di dadanya.
"Tapi, Ratna menitipkan Aisyah pada kita, Bi. Jika perpindahan itu terjadi, bisa saja mereka anggap putrinya tak diperlakukan dengan baik di sini."
Menghela napas, Yasiz pun bingung kenapa tiba-tiba anaknya meminta izin membeli rumah untuk mereka berdua. Padahal seluruh keluarga telah sepakat bahwa Aisyah akan menemani Sari memulihkan traumanya.
--
*
Bergeming, mendengar suara sesegukan wanita dalam kamar, ingin masuk. Namun, takut dikira tak ada sopan, tapi hatinya penasaran mengapa sampai menangis sesedih itu.
Pintu terbuka lebar, Aisyah yang tadi hendak mengetuk langsung terhenti dengan tangan menggantung di udara.
"Masuk aja," kata Abi seolah mengerti raut wajah menantunya. Lalu menggeser badan memberi ruang agar Aisyah bisa leluasa menemui seseorang di dalam.
"Umi ...," panggil Aisyah lembut, ketika melihat bahu mertuanya yang naik turun.
Melirik sebentar kemudian membuang muka. Walau tahu semua yang terjadi bukanlah salah Aisyah sepenuhnya. Namun, tetap saja ia sakit seakan dipermainkan seperti sekarang.
"Udah berkemas?" tanya Umi dengan nada dingin.
Aisyah menelan ludah susah payah, membeku di tempat. Ada sesak yang menghimpit dada.
Hening
--
*
[Bunda ....] Klik. Pesan langsung terkirim.
Lantas membenamkan wajah di bantal, pikiran Aisyah kalang kabut, harus bagaimana ia setelah kejadian sore tadi.
"Saya pulang!" seru Yusuf tersenyum lebar sambil menutup pintu kembali.
Aisyah mengangkat kepalanya, menghela napas sebentar, sebelum memandang suaminya.
"Larut banget?" tanya Aisyah setelah melihat arloji di tangannya yang ternyata sudah pukul sebelas.
Yusuf menggulung kemeja sampai siku dan melonggarkan dasi, "Maaf, ya. Tadi selesai rapat langsung ngecek beberapa berkas dulu," jelasnya.
"Gapapa. Yaudah sana mandi." Aisyah berdiri berniat menyiapkan pakaian untuk suaminya.
--
*
Esok paginya umi terserang demam, hingga merasa berat untuk sekadar bangun dari ranjang. Aisyah menatap bingung abi, ingin membantu mengurus umi, tapi makan malam kemarin saja wanita itu seperti tak sudi melihatnya.
Menarik napas, Aisyah mendekati abi yang terlihat sibuk mengobrak-abrik sebuah kotak, "Nyari apa, Bi?" tanyanya, berhasil membuat lelaki paruh baya itu mendongak.
"Obat demam untuk Umimu." Ditunjukkanya selempeng obat dalam genggaman.
"Boleh aku yang ngasih?" Ragu Aisyah berkata. Lalu memalingkan wajah ke arah lain.
"Boleh sekali, Nak."
Bahu Aisyah menurun, lega seketika, ia mengambil alih obat tersebut lalu berlari ke kamar sang umi.
--
*
Aisyah membenahi posisinya duduk di samping Yusuf, sedangkan sang suami fokus menatap depan dan setelah mobil melintasi jalan raya pun pria itu tetap diam.
"Kenapa Umi bisa masuk rumah sakit?" tanyanya memecah keheningan, tapi mata tak lepas dari jalanan.
"Aku juga gak tau, pas mau kasih obat. Umi udah pingsan di lantai," jawab Aisyah seadanya.
Hening
Aisyah turun mobil lebih dulu, sedikit menahan kesal melihat tingkah Yusuf yang sungguh menyebalkan.
"Tunggu!"
Mendengar suara Yusuf, Aisyah menghentikan langkah, cepat wanita itu menengok ke belakang.
Jarak mereka berdekatan. Saling pandang dalam diam. Sejenak Yusuf menghela napas gusar, "Apa harus pindah?" lirihnya pelan, khawatir menyakiti perasaan Aisyah.
Sepasang mata Aisyah mulai berkaca-kaca, "Terserah!" balasnya, lantas berlari masuk ke rumah seraya mengusap dada menahan sesuatu yang ingin meledak.
Ia berhak marah, bukan?
--
*
Salam Author manis sejagat raya, biarlah pede ini merajalela, agar dunia tahu siapa yang telah berhasil membuang rasa, yang jelas sia-sia.
AKU MERDEKA 😎
Komen next atau lanjut doang gue tinju🙄
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Azrin ALSYAH
ko cerita nya ga nyambung ya
jd bingung baca nya
2020-12-03
0
Risfa Rais
ini ceritax bagaimana nga ngerti aku
2020-07-06
5