Bab 5. Beri aku waktu

Nafa menatap wajah seluruh anggota keluarganya sembari tersenyum lega. Sudah menjadi kebiasaan keluarganya menikmati makan malam sambil berbincang ringan. Tujuannya untuk menghilangkan keheningan di meja makan.

Tak tega rasanya meninggalkan mereka di tengah-tengah kerinduan yang belum tuntas. Namun, Nafa harus tetap pergi karena panggilan dari kantornya. Lagipula, masa cutinya telah berakhir.

"Ayah, ibu, besok Nafa harus kembali ke kota." ucapnya sambil menghela nafas panjang. Sebuah senyum tertahan dibibirnya.

Semua pergerakan di meja makan itu terhenti. Beralih menatap Nafa dengan tatapan penuh tanya.

"Kenapa buru-buru sekali? Ibu masih kangen sama kamu." Ibu, tak puas dengan kedatangan Nafa yang hanya sebentar. Tiga hari, rasanya tidak cukup mengobati rindu yang tertahan selama lima tahun. "Apa nggak bisa diundur beberapa hari lagi?" Tawar ibu, berharap Nafa mengabulkan permohonannya. Sungguh banyak sekali yang beliau ingin bagi bersama putrinya.

Nafa menggenggam tangan ibu di atas meja. Kemudian tersenyum sambil menggelengkan kepala perlahan lalu berkata, "Nafa akan sering-sering datang ke sini. Doakan Nafa, agar pekerjaan di kota dimudahkan."

"Lagian, Mba Nafa ngapain sih pake kerja segala! Suami bos, kaya pula." Celetuk Nabil yang langsung mendapatkan pelototan mata dari ayah.

"Yang jadi bos 'kan dia." Nafa melirik kearah Ravi yang terdiam menatapnya. "Sedangkan, Mba Nafa cuma wanita biasa yang mencoba untuk merubah nasib. Siapa tahu dengan begitu, bisa sedikit mengangkat derajat keluarga kita." Lanjutnya panjang lebar. Sengaja dia berkata seperti itu, untuk mengingatkan Ravi akan kata-kata penghinaan yang pernah di ucapkan padanya dulu.

"Tapi, kehadiran mas Ravi, sudah mengangkat derajat keluarga kita Mba. Dulu kita dipandang rendah oleh tetangga. Tapi sekarang mereka menghormati kita. Dan itu semua karena kehadiran mas Ravi, benar 'kan?" Nabil mengungkapkan persepsinya. Memang benar, sebelum Ravi hadir dalam kehidupan Nafa, keluarga mereka hidup dalam keterbatasan. Namun, kehadiran Ravi telah mengubah semua kehidupan mereka. Termasuk perekonomian keluarga.

"Ssstt! Nabil! Jangan ngomong yang tidak-tidak." Lagi, ayah mengingatkan Nabil untuk diam. Yeah! Yang dikatakan Nabil memang benar. Oleh karena itu beliau merasa berhutang banyak pada Ravi karena telah membantu mengubah kehidupan keluarganya.

"Kamu benar. Tapi tidak ada salahnya 'kan kita berusaha. Dengan begitu, kita bisa mengembalikan semuanya. Dan keluarga kita tidak perlu merasa berhutang budi lagi."

Kata-kata Nafa membuat Ravi merasa tertampar. Se benci itukah Nafa padanya? Sampai-sampai dia merasa harus mengembalikan semua yang pernah di berikan.

Sementara Ayah dan ibu saling lirik. Beliau bisa merasakan bahwa hubungan Nafa dan Ravi sedang tidak baik saat ini.

"Emmm, ya sudah. Kalau itu keputusan kamu. Ibu dan ayah hanya bisa mendoakan yang terbaik buat kalian berdua." Ibu sengaja memutus obrolan yang mulai memanas saat itu. "Besok berangkat jam berapa?" Tanya ibu pada akhirnya.

"Pagi!" Sahut Ravi tiba-tiba. Membuat Nafa seketika menoleh padanya dengan dahi berkerut. "Rumah sudah lama tidak di tinggali. Pasti sangat kotor, dan saya rasa butuh waktu yang tidak sebentar untuk membersihkannya. Seperti yang ibu tahu, Nafa tidak suka rumah dibersihkan oleh orang lain." Ujar Ravi menatap Nafa sembari tersenyum. Dia masih ingat saat pertama pindah rumah. Nafa membersihkan dan membereskan rumah seorang diri. Menurut Nafa kebersihan rumah adalah tanggung jawabnya sebagai istri.

"Benar, lagian banyak yang harus Nafa urus sebelum masuk kerja lusa." Nafa setuju dengan Ravi kali ini. Tapi tidak untuk kembali ke rumah. Biarlah Ravi berkata apapun saat ini. Yang jelas dia tidak akan pernah kembali ke rumah Ravi lagi.

***

Adzan subuh baru saja berkumandang, bahkan fajar pun belum terbit. Tapi Nafa dan Ravi sudah duduk di dalam mobil siap kembali ke kota. Tangan Nafa melambai pada ayah, ibu dan Nabil, yang masih berdiri di halaman rumah mengantar kepergiannya.

Helaan napas panjang keluar dari mulut Nafa ketika mobil sudah melaju meninggalkan halaman rumahnya. Kemudian memejamkan mata sebentar agar air matanya tidak keluar.

"Sayang, kenapa?" Ravi menoleh sebentar kearah Nafa. Dia sempat mendengar suara isakan Nafa di sela-sela helaan nafasnya.

"Sekarang hanya tinggal kita berdua, jangan panggil aku sayang lagi!" Nafa menyusut sudut mata dan hidung menggunakan tissue yang diambil dari atas dasboard mobil.

"Apa salahnya? Aku memang benar-benar sayang padamu." Namun Ravi justeru tersenyum padanya.

"Sudahlah! Hentikan sandiwaramu. Setelah sampai di kota nanti aku akan mengurus surat perceraian kita!" Ucap Nafa ketus. Kepalanya menoleh ke arah jendela samping karena kesal.

"Aku tidak mau! Terserah mau seperti apa kamu memaki, aku tidak akan pernah menceraikan mu, titik!" Suara Ravi tak kalah ketus.

Mereka berdua seperti perang keras kepala. Tak ada yang mau mengalah dan tetap pada pendirian masing-masing.

"Vi, hubungan kita sangat rumit. Aku tidak bisa melanjutkannya lagi." Nafa menoleh ke arah Ravi. Di tatapnya wajah laki-laki yang saat ini sedang fokus menatap jalan.

"Aku akan mengurai kerumitan itu. Beri aku kesempatan sekali lagi."

"Aku nggak bisa, Vi!" Entahlah, kenapa hati Nafa berubah keras dan sulit memaafkan. Logikanya ingin, tapi hatinya langsung menolak dan bahkan muak mendengar kata maaf dari Ravi.

"Kenapa nggak bisa? Apa sangat sulit memaafkan aku?" Ravi menoleh pada Nafa sebentar. Kemudian kembali fokus menatap jalan. "Tuhan saja maha pemaaf, kenapa kamu tidak bisa memaafkan?" Lanjutnya dengan suara dingin.

Nafa memejamkan mata sembari menggelengkan kepala lemah. Dia sudah lelah berdebat. Mungkin ini saatnya dia mengalah.

"Stop!" Pekik Nafa ketika dia membuka mata.

Membuat Ravi seketika menyalakan lampu sein ke kiri dan menepi.

"Ada apa, Sayang?" Tanya Ravi setelah mobil menepi. Di tatapnya wajah Nafa dengan perasaan gelisah.

"Eemmm, tidak ada apa-apa. Antarkan aku ke kontrakan Ika." Nafa menjawab dengan suara pelan.

"Mau apa? Jam segini Ika pasti sudah berangkat bekerja." Ucap Ravi sambil melihat jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Bisa di pastikan saat ini Ika sudah berada di tempat kerjanya.

"Tidak ada apa-apa, aku sudah menghubungi Ika semalam."

"Apa tidak sebaiknya kita pulang ke rumah dan istirahat dulu?" Ravi coba menawarkan.

"Aku akan tinggal bersama Ika. Jadi, tolong antarkan aku ke sana." Ujar Nafa menatap Ravi pias.

"Apa! Kenapa Nafa?" Pekik Ravi menatap Nafa bingung. Sungguh dia tak mengerti dengan jalan pikiran Nafa. "Kita punya rumah 'kan? Kenapa kamu harus merepotkan orang lain?"

"Tolong mengertilah, aku tidak bisa kembali ke rumah itu." Namun, usaha Nafa untuk tidak berdebat gagal. Lagi-lagi Ravi meninggikan suara.

"Apa aku benar-benar tidak pantas mendapat maaf darimu?" Ravi menatap balas menatap Nafa. Tatapan yang meneduhkan, seolah berhasil membuka sedikit celah di dalam hati Nafa.

"Tidak, bukan begitu ...,"

"Lalu," Ravi memotong kalimat Nafa, menatapnya serius.

"Aku butuh waktu. Tolong mengertilah."

"Sampai kapan?" Ravi benar-benar kecewa. Begitu besarkan kesalahannya sampai Nafa sulit untuk memaafkannya?

Terpopuler

Comments

Aas

Aas

seperti inilh laki2 sll mngunggulkan logika tanpa mengutamakn perasaan yg tnpa sadar hal inlh yg sll mjdi momok mnyakitkn unt wanita...egois

2023-01-28

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!