Bab 3. Sandiwara

Siang itu, matahari sedang terik-teriknya. Cuaca pun sangat mendukung untuk melakukan penerbangan. Nafa menghela nafas panjang dengan mata terpejam sesaat setelah selesai mengaitkankan sabuk pengaman di pinggangnya. Kemudian membukanya perlahan, ketika merasakan badan pesawat mulai bergerak.

Kurang lebih 17 jam penerbangan, akhirnya pesawat yang di tumpangi Nafa, mendarat dengan selamat di tanah air. Nafa menoleh ke samping, menatap suasana tenang tanah air yang sudah lima tahun di tinggalkan melalui jendela pesawat. Perasaan lega dan gelisah bercampur aduk dalam hati.

Lega karena akan bertemu dengan keluarga yang sangat dirindukan. Tapi gelisah, ketika teringat akan kejadian lima tahun lalu yang membuat hatinya hancur dan kecewa. Hingga akhirnya membuat dia memutuskan untuk pergi jauh.

"Selamat datang kembali, Nafa." Bisiknya pada diri sendiri. Satu helaan nafas berat mengiringi langkahnya menjejakkan kaki kembali ke tanah air. Perlahan namun pasti, kakinya melangkah hingga keluar dari pintu kedatangan.

Senyum di bibirnya langsung terbit saat lambaian tangan dari keluarga yang dirindukan menyapanya dengan senyum bahagia. Namun sedetik kemudian senyumnya sirna, saat wajah yang paling ingin dia hindari justru berada bersama dengan anggota keluarganya.

Ravi Mahardika, nama yang sebisa mungkin ingin dihapus dari ingatan dan juga hatinya kini justru tersenyum menatapnya. Namun dia berusaha mengabaikan kehadiran laki-laki itu di tengah-tengah anggota keluarganya.

Sebuah pelukan hangat dari ibunya mendamaikan hati yang kosong bercampur kesal kala itu. Lalu beralih pada pelukan hangat penuh nasihat dari sang ayah yang langsung berhasil mendamaikan hatinya. Selorohan ringan penuh candaan terlontar dari bibir Nabil, adiknya memutuskan pelukannya dari tubuh ayah.

"Mba Nafa, lupa sama mas Ravi?" Nabil, memandangnya dengan senyum menggoda.

Nafa, melirik kearah Ravi sebentar kemudian kembali mengarahkan pandangannya pada Nabil sambil tersenyum kaku. Sementara, laki-laki yang dimaksud hanya tersenyum dan menatap Nafa tanpa berkedip.

"Ayo, Mba sapa dulu mas Ravi." Lagi, Nabil menggodanya.

Terpaksa Nafa meraih tangan Ravi lalu mencium punggung tangannya. Namun, tanpa di duga Ravi justeru langsung meraih Nafa kedalam pelukannya.

"Aku merindukanmu," Ravi berbisik di telinga Nafa.

Cepat-cepat Nafa mendorong tubuh Ravi agar menjauh darinya.

"Bu, aku lapar. Ibu sudah masak pesananku 'kan?" Nafa mengalihkan perhatian semua orang dengan membahas makanan. Kini sebelah tangannya mengusap-usap perut menunjukkan bahwa dia benar-benar merasa lapar.

"Tidak ada yang terlewat. Semua, ibu sudah masak kan untuk kamu." Jawab ibu sembari tersenyum.

Nafa bernapas lega, setidaknya dia bisa mengalihkan perhatian semua orang darinya dan Ravi. Dia juga bersyukur, karena keluarganya tidak mengetahui hubungan yang sebenarnya dengan Ravi.

"Sini barangnya, biar aku masukkan ke mobil." Ravi mengambil alih koper dari tangan Nafa.

Namun, Nafa justeru menggenggam gagang koper erat. "Tidak usah, terimakasih. Aku bisa sendiri."

Membuat semua orang menatapnya dengan dahi berkerut bingung.

"Emm ... maksudnya, biar aku yang bawa. Mas, Ravi yang buka bagasi mobilnya," cepat-cepat Nafa membetulkan kalimatnya. Kemudian tersenyum pada semua orang termasuk Ravi. Biarlah dia bersandiwara dihadapan keluarganya. Dia tak ingin melihat keluarganya bersedih karena mengetahui hubungannya dengan Ravi.

***

"Apa-apaan ini!" Todong Nafa, saat Ravi masuk ke dalam kamarnya. Selama menikah hubungan Ravi dan keluarganya memang sudah dekat. Tapi tidak seharusnya, Ravi berpura-pura menunjukkan kemesraan bersamanya di depan anggota keluarga. Sungguh, sangat muak rasanya.

"Apa?" Namun Ravi justeru pura-pura tidak tahu. Dan malah berjalan kearah kasur lalu berbaring.

"Yang kamu lakukan sejak siang tadi! Juga yang kamu lakukan di meja makan." Nafa memperjelas maksudnya. Kesal, sebab dia pun juga harus mengikuti sandiwara Ravi di hadapan anggota keluarganya.

"Aku lelah, Sayang. Seharian ini belum sempat istirahat. Berbaringlah kita bahas itu besok pagi." Jawab Ravi dengan mata terpejam. Tak ingin Nafa memperpanjang masalah. Biarlah seperti itu dulu, asal dia bisa tetap berada bersama Nafa.

Nafa mulai geram, kemudian berjalan ke arah kasur dan menarik tangan Ravi. "Keluar kamu dari kamarku." Ucapannya dengan nada membentak. Berusaha membangun Ravi dari pembaringan. Namun, tenaganya tak dapat menggerakkan tubuh Ravi sedikitpun.

"Kenapa aku harus keluar? Kamar istriku kamarku juga 'kan?" Ravi tak bergerak sedikitpun. Justru malah membetulkan letak bantal di kepalanya.

"Istri? Siapa yang kamu bilang istri?" Nafa tersenyum sinis. Tidak bisa dipercaya, setelah memaki dan bahkan menghinanya, Ravi masih berani menyebutnya istri. Bahkan sampai saat ini luka hati yang dibuat Ravi masih terasa menyakitkan.

"Tentu saja kamu, siapa lagi." Mata Ravi terpejam. Meski bibirnya menyunggingkan seulas senyum.

"Bukankah kamu sudah menceraikan aku? Lantas siapa yang kamu sebut istri?" Nafa kembali mengingatkan kata cerai yang pernah Ravi ucapkan dulu padanya. Sungguh dia akan sangat jika surat cerai itu benar-benar ada. Tapi hingga lima tahun menunggu, nyatanya tidak pernah ada surat cerai dari Ravi.

"Aku sudah lupa!" Sahut Ravi cepat sambil membetulkan letak selimut dan berbalik membelakangi Nafa. Posisi tidurnya berubah miring memeluk guling.

"Jangan buat kesabaranku habis. Keluarlah dari kamarku!" Pekik Nafa, menarik selimut dari tubuh Ravi.

Tapi tidak ada jawaban dari Ravi justeru terdengar suara dengkuran halus dari mulut Ravi. Nafa benar-benar kesal dibuatnya. Kemudian membalikkan tubuh Ravi menjadi terlentang.

Namun justru Ravi 'lah, yang berhasil menarik Nafa hingga terjatuh diatas tubuhnya. Nafa tidak suka dengan posisinya saat ini. Sebisa mungkin dia bangkit, tapi Ravi justeru semakin erat mendekap Nafa.

Tak kalah akal, Nafa memukul dada dan pundak Ravi hingga si empunya memekik kesakitan.

"Apa-apaan sih!" Ravi yang sudah sempat tertidur membuka paksa kedua matanya. Dan kini kepalanya justeru terasa pening.

"Keluar! Pulang lah ke rumahmu." Nafa segera bangkit, saat kaitan tangan Ravi terasa mengendur.

"Ini juga rumahku! Salahkah, kalau aku tidur di rumahku?" Sambil memijat sebelah kepalanya, Ravi duduk dari pembaringan.

"Cukup Ravi! Hentikan! Aku tidak tahu sandiwara apa yang sedang kamu mainkan. Kamu boleh melakukan apapun padaku, tapi tidak pada keluargaku. Mereka tidak tahu apapun tentang kita."

"Sebelum mereka tahu, biarkan aku memperbaiki hubungan kita,"

"Sebelum kesabaranku benar-benar habis, pergilah dari sini!" Teriak Nafa dengan suara yang tertahan. Rumahnya bukan rumah mewah yang kedap suara. Dia harus berhati-hati jika tidak ingin pertengkarannya terdengar oleh kedua orang tuanya.

"Biarkan aku tidur di sini malam ini. Jika tidak, aku akan memberi tahu tentang hubungan kita yang sebenarnya pada Ayah dan ibu." Ancam Ravi. Hanya itulah yang bisa dia lakukan untuk bisa tetap bersama Nafa.

Tidak, Nafa tidak menginginkan itu terjadi. Pada akhirnya dia mengalah dan membiarkan Ravi tidur di dalam kamarnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!