Nafa menggeliat untuk merubah posisi tidurnya. Namun, justeru merasakan sebuah beban berat mengikat tubuhnya. Hingga membuat tubuhnya sulit untuk di gerakkan.
Perlahan dia membuka mata dan langsung mendapati sebuah lengan kekar melingkar di atas perutnya. Sadar pemilik lengan tersebut, Nafa menghempaskan dari atas perut. Kemudian menendang kaki Ravi yang bertumpu di atas pahanya. Membuat Ravi yang masih terlelap, seketika bangun dan menatapnya bingung.
"Ada apa, Sayang?" Tanyanya dengan suara berat khas bangun tidur.
"Jangan kurang ajar, kamu!" Nafa melayangkan tatapan tajam. Sungguh dia benar-benar muak dengan sikap Ravi. Ditambah lagi dengan sikap kurang ajar Ravi yang telah berani memeluknya saat tidur.
"Bicara apa, sih? Aku nggak ngerti?" Tanya Ravi lagi dengan kedua pupil matanya menyipit karena belum siap menerima cahaya terang dari lampu kamar.
"Kamu sengaja 'kan mau ambil kesempatan!" Nafa semakin geram, sorot matanya tajam penuh amarah.
"Kesempatan apa sih maksudnya?" Ravi mengerutkan dahi bingung.
"Ngapain kamu meluk aku!"
"Oh, cuma itu. Aku pikir kenapa." Ravi kembali berbaring. Kemudian memejamkan mata sambil tersenyum. Namun, sejurus kemudian dia menarik tubuh Nafa berbaring kembali di sampingnya. Lalu memeluknya dan menenggelamkan kepala di leher Nafa. Nafa berontak, memukul-mukul lengan Ravi agar melepaskan pelukannya.
"Biarkan seperti ini dulu, sebentar saja," bisik Ravi dengan suara lembut. Dihirupnya aroma tubuh Nafa dalam-dalam hingga terbit senyum tipis dari bibirnya. "Maafkan aku," gumamnya masih dengan suara berbisik.
Namun, kata maaf Ravi justeru mengingatkan pada sakit didalam hatinya. Goresan luka yang sudah hampir tertutup kembali koyak dan terasa sangat perih.
"Tidak seharusnya seperti ini. Kita bukan siapa-siapa, tidak ada hubungan lagi yang mengikat kita." Nafa pasrah, tak lagi berontak. Melawan pun tiada guna. Sadar tenaganya tidak sebanding dengan Ravi.
"Jangan berkata seperti itu. Maafkan aku, aku menyesal. Aku berjanji akan memperbaiki hubungan kita." Ravi memohon.
"Hubungan yang mana? Sejak memutuskan pergi, aku menganggap tidak pernah ada hubungan diantara kita." Ujar Nafa kesal. Harus berapa puluh kali dia mengingatkan tentang status hubungannya?
"Maaf, maafkan aku, Sayang. Aku benar-benar bo doh karena lebih percaya pada orang lain dibanding Istriku sendiri."
Nafa tersenyum sinis, memalingkan wajahnya kesamping. Kenapa baru sekarang Ravi menyadarinya. Sedangkan dulu, dia sudah mati-matian menjelaskan pada Ravi. Namun bukan mendengarkan penjelasannya Ravi justru menghinanya. Dan mengingatkan asalnya.
"Beri aku kesempatan sekali lagi. Aku akan perbaiki hubungan kita."
"Maaf, aku tidak bisa. Selain menyakiti kamu juga ingkar janji." Sahut Nafa masih dengan memalingkan wajah.
"Janji?" Dahi Ravi berkerut bingung. "Janji mana yang aku ingkari?"
"Tentang perceraian. Lima tahun aku menunggu surat cerai darimu. Tapi sampai sekarang kamu tidak juga mengirimkannya. Dan sekarang, tiba-tiba saja kamu ingin memperbaiki hubungan kita." Kini Nafa menoleh pada Ravi. Di tatapnya laki-laki yang kini juga tengah menatapnya lembut. "Dengar, Ravi! Bahkan luka ini masih terasa sangat perih." Nafa memegang sebelah dadanya. Seolah menunjukkan ada luka lebar di dalamnya.
"Sekali lagi maafkan aku, Sayang. Biarkan aku mengobati luka itu sampai sembuh." Pinta Ravi memohon.
"Jika kamu benar-benar ingin mengobati luka itu, ceraikan aku. Pergi dari hidupku, itu adalah satu-satunya obat yang terbaik."
Ravi langsung melepaskan rengkuhan tangannya dari tubuh Nafa. Kemudian menghadap cermin meja rias. Menyisir rambutnya menggunakan sebelah tangan lalu keluar tanpa berkata apa-apa.
Sungguh dia sangat benci dengan kata perceraian. Apalagi jika kata itu keluar dari mulut Nafa. Salahnya karena dulu dia sendiri lah yang mengatakan perceraian. Tapi saat itu, dia dalam keadaan marah. Hingga sangat mudah dipengaruhi oleh siapa saja.
"Ayah, mau jalan-jalan?" Sapanya ketika melihat ayah mertua meregangkan otot di halaman rumah. Setidaknya dia bisa bisa menghindar dari todongan perceraian dari Nafa.
"Mau jalan-jalan juga?" Nasrul, ayah Nafa menoleh sembari tersenyum. Selama menjadi menantunya, tidak pernah sekalipun Ravi olah raga pagi. Seperti yang sudah-sudah Ravi akan menghabiskan waktu untuk tidur didalam kamar. Nasrul memakluminya, beliau tahu pekerjaan Ravi sangat menguras tenaga dan otak.
"Udaranya sejuk, saya rasa tidak ada salahnya menikmati udara pagi pedesaan." Ravi balas tersenyum, dia mulai bergerak mengikuti gerakan ayah mertua meregangkan otot. Kemudian berjalan santai mengelilingi kampung sambil berbincang ringan.
"Bagaimana kabar keluarga di kota?" Semenjak kepergian Nafa, Ravi jarang berkunjung ke kampung. Ada perasaan sungkan jika meminta Ravi berkunjung ke kampung, karena Ravi orang sangat sibuk.
"Baik, semua baik."
"Pasti kamu sangat sibuk sampai-sampai tidak ada waktu untuk mengunjungi kami." Wajah Nasrul tampak bersedih. Nafa pergi jauh, setidaknya Ravi datanglah sesekali menjenguknya di kampung. Begitulah harapan Nasrul dan keluarga selama ini.
Ravi tersenyum sambil menunduk. Bukannya tak ingin berkunjung, tapi Ravi terlalu malu menghadap keluarga Nafa.
"Tak apalah, yang penting kamu dan keluarga sehat-sehat." Nasrul menepuk pundak Ravi. Ravi hanya mengangguk sembari tersenyum tipis.
Ketika matahari sudah mulai tinggi, Ravi dan Nasrul kembali ke rumah. Banyak sekali, yang mereka obrolkan selama jalan-jalan tadi. Termasuk pesan Nasrul untuk menjaga Nafa. Membuat relung hati Ravi tertampar karena nyatanya dia justeru menyakiti hati Nafa.
Ravi memutar kenop pintu kamar dan langsung mendapati Nafa melamun dengan bersandar di salah satu sisi bingkai jendela. Ravi tersenyum kemudian berjalan mendekati Nafa dan langsung memeluknya dari belakang.
"Maafkan aku," bisiknya tepat dibelakang daun telinga Nafa. Di kecupnya pelan daun telinga itu dan langsung membuat bulu kuduk Nafa meremang.
"Lepaskan," hembusan nafas Ravi terasa begitu menenangkan. Kedua matanya pun terpejam. Namun, tangannya berusaha melepaskan kaitan tangan Ravi dari tubuhnya.
"Aku mencintaimu, dulu dan sekarang. Bahkan sekarang rasa cintaku bertambah besar." Bisik Ravi lagi, tak menghiraukan permintaan Nafa untuk melepaskan kaitan tangannya.
"Dulu, aku juga sangat mencintaimu. Tapi cintaku telah hilang saat kamu mengkhianatinya. Jika pun aku memaksa mencintaimu, kadarnya sudah berbeda." Ujar Nafa dengan suara terbata. Sungguh dia sangat jijik leher dan tengkuknya dijamah oleh Ravi. Namun, ada sosok yang tersenyum melihatnya. Dia harus bertahan demi senyum bahagia itu. Apapun akan dia lakukan untuk kebahagian orang tuanya, termasuk bersandiwara.
"Aku tidak peduli, sama atau tidak asal aku masih bisa mencintaimu."
"Kamu masih sama seperti dulu, keras kepala. Hanya mementingkan diri sendiri tak peduli dengan perasaan orang lain." Nafa mendesis bersama helaan nafas panjang.
"Kamu tahu itu," Ravi tersenyum dibalik leher Nafa. Ditinggalkannya satu tanda cinta di tengkuk Nafa.
"Jangan kurang ajar! Kamu tahu aku tidak akan bisa melakukan apapun didepan kedua orang tuaku." Ucap Nafa sambil mengutuk ketidak berdayanya dalam hati. "Ingatlah, setelah ini aku pastikan kamu tidak akan pernah bisa menyentuhku seujung kuku saja." Ancamnya serius. Namun Ravi hanya tersenyum dan justru menciumi tengkuk Nafa lembut.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments