Bab 2. Tunggulah sampai kembali

"Ngapain kamu ke sini!" Ravi melirik sekilas ke arah pintu ruangannya. Kemudian menutup berkas yang saat itu sedang dia periksa. Kedatangan Marsha, membuat mood bekerjanya menghilang. Dia pun segera berkemas dan bersiap pulang ke rumah.

"Jahat banget sih," Marsha merajuk manja sambil berjalan mendekat ke arah Ravi. Kemudian bersandar di sisi meja dan berhadapan langsung dengan Ravi.

Namun, Ravi tetap memasang wajah dingin dan sama sekali tak peduli dengan kehadiran Marsha. Selesai membereskan barang-barangnya, dia bangkit lalu menyampirkan jas di lengan kiri. Sementara tangan kanannya menenteng tas kerja yang berisi laptop. Kemudian melangkah pergi mengabaikan Marsha.

"Kamu akan sangat berterimakasih saat mengetahui kelakuan istri kamu di belakangmu." Teriak Marsha, yang berhasil menghentikan langkah Ravi seketika. Kemudian berbalik dan mendekat pada Ravi yang masih berdiri di depan pintu.

"Aku tuh, kasihan banget sama kamu. Laki-laki sebaik dan setampan kamu, di khianati oleh istri sendiri." Marsha memutari tubuh Ravi sambil berucap dengan nada mengejek.

"Apa maksud kamu!" Tanya Ravi dengan mata menatap tajam. Suaranya sedikit meninggi karena mulai terpancing dengan ucapan Marsha.

Marsha menghela napas berat kemudian mengeluarkan sebuah amplop dari dalam tas selempangnya untuk diberikan pada Ravi.

Ravi memandang Marsha sekilas, kemudian mengambil amplop dari tangan Marsha dan membukanya. Sedetik kemudian, wajahnya berubah memerah. Sementara rahangnya bergerak-gerak menahan amarah.

"Darimana kamu dapat foto ini!" Tanyanya dengan nada penuh emosional.

"Nggak penting darimana aku dapat foto itu. Yang penting, apa yang harus kamu lakukan pada dua orang dalam foto itu." Jawab Marsha sembari tersenyum licik.

"Istri pungut yang kamu cintai itu, ternyata tak ubahnya seperti wanita murahan. Ck, ck. Ravi, Ravi. Kasian banget kamu." Marsha justru memojokkan Ravi. Sehingga Ravi benar-benar terpancing amarah. Terlihat jelas dari raut wajah Ravi yang berubah merah padam.

"Kalau jadi kamu, aku akan membalas perbuatannya dengan cara melakukan hal yang sama." Lanjut Marsha dengan tersenyum sinis. Kemudian menghadap Ravi sembari tersenyum licik. "Supaya dia juga merasakan sakit hati yang sama seperti yang kamu rasakan." Kemudian mengalungkan sebelah tangannya dileher Ravi. Sementara tangan yang lain bermain-main di dada Ravi. Perlahan namun pasti tangannya membuka kancing teratas kemeja Ravi.

***

Nafa, nama itu terus berputar-putar di kepala Ravi. Hatinya tak ingin percaya, tapi akal dan logikanya seolah mati melihat gambar telanjang Nafa dengan seorang laki-laki di sebuah kamar hotel.

Dia tak menyangka Nafa gadis lugu yang dikenalnya lima tahun lalu tega berkhianat di belakangnya. Tak ingin terus diliputi rasa bimbang, Ravi menyewa seseorang untuk menyelidiki keaslian gambar tersebut. Juga menyelidiki siapa laki-laki yang bersama Nafa dalam foto itu.

Di hari ketiga penyelidikan, Ravi bertemu dengan Rian, orang suruhannya. Membahas, tentang keaslian gambar tersebut. Serta biodata laki-laki yang ada dalam gambar tersebut.

Ravi menatap Rian serius. Memasang telinga tajam agar tidak ada satupun informasi yang terlewat dari telinganya.

"Apa!" Pekik Ravi dengan mata membelalak terkejut mendengar penjelasan Rian. Saat ini mereka sedang duduk berhadapan di sebuah kafe tak jauh dari kantor Ravi.

"Iya, benar. Laki-laki adalah pengusaha muda yang tersandung kasus pornografi lima tahun silam." Ujar Rian menerangkan.

Ravi diam tampak berpikir. Lima tahun lalu, adalah pertemuan pertamanya dengan Nafa. Apa mungkin, sebelum mengenalnya Nafa pernah menjalin hubungan dengan laki-laki di dalam foto itu?

"Lalu, bagaimana dengan keaslian gambarnya?" Tanya Ravi memastikan lagi.

"Dari informasi dan bukti yang saya dapatkan, pose dalam foto itu sama persis dengan pose skandal lima tahun lalu." Rian menunjukkan bukti gambar yang dia dapat di layar laptopnya.

"Jadi menurut kamu, foto itu di rekayasa?" Ravi menatap Rian serius.

Rian pun mengangguk. Kemudian memutar laptop menghadap ke arahnya. Sedetik kemudian menghadapkan kembali pada Ravi.

"Ini adalah wanita yang terlibat skandal dengan laki-laki itu. Anda bisa membedakan siluet tubuhnya."

Ravi menatap layar laptop Rian dengan alis bertaut. Benar kata Rian, seharusnya dia bisa mengenali dari perbedaan siluet tubuh.

"Baiklah, terimakasih infonya." Ucap Ravi sambil mengangguk sopan. "Tetap selidiki, jika ada informasi baru segera hubungi." Imbuh Ravi, mengakhiri pertemuannya dengan Rian.

Setelah bertemu dengan Rian, Ravi langsung melajukan mobil untuk kembali ke rumah. Untuk memastikan lagi gambar beserta siluet tubuh seperti yang Rian katakan.

Sesampainya di rumah, Ravi justeru mendengar suara obrolan dari kamar ibunya. Penasaran, Ravi berjalan pelan menguping obrolan antara Marsha dan ibunya.

"Jadi, maksud kamu rencana kita berhasil?" Marini, ibu Ravi menatap Marsha dengan mata berbinar. Kemudian langsung memeluk Marsha sesaat setelah Marsha mengangguk.

"Tante janji kan, Ravi akan segera menikahkan Marsha dengan Ravi?" Kini Marsha menatap Marini penuh harap.

"Tante akan pastikan Ravi menikah denganmu. Kamu tenang saja." Marini menyakinkan Marsha untuk tidak mengkhawatirkan pernikahannya dengan Ravi.

"Tapi, benar 'kan Ravi sudah menceraikan wanita itu?" Namun Marini bertanya balik. Pandangannya menatap Marsha serius.

"Beneran, Tan. Aku denger sendiri."

"Terus, wanita gimana reaksinya?" Mata Mariani melebar tak sabar menunggu jawaban Marsha.

"Mau bagaimana lagi ... nangis lah." Marsha tersenyum puas. Begitupun dengan marini.

"Bagus, tante seneng banget. Akhirnya Ravi berpisah dengan wanita itu. Sekarang tinggal bagaimana kita benar-benar memisahkan mereka. Kalau perlu kita kirim wanita itu keluar negeri." Ujar Marini mulai menyusun rencana. "Tapi ingat! Jangan sampai Ravi tahu soal ini!" Imbuhnya mengingatkan.

"Pasti!" Marsha mengangguk sambil mengangkat kedua jempol tangannya.

Brak!

Ravi menggebrak pintu kamar ibunya. Hingga pintu kamar itu menghantam sisi tembok. Membuat Marini dan Marsha seketika terjingkat kaget.

"Jadi semua ini rencana kalian!" Ravi berteriak dengan nada penuh emosional. Wajahnya pun merah padam. Sampai-sampai urat di lehernya terlihat jelas.

"R-Ravi, kamu sudah pulang?" Marini berdiri menatap Ravi gugup. Wajahnya pun memucat.

"Jawab! Mama yang merencanakan semuanya!" Lagi Ravi berteriak. Sampai hati Marini melakukan hal se licik itu padanya.

"Kamu salah paham, Sayang ... mana mungkin Mama melakukan itu," Marini mengelak.

"Jangan bohong! Aku dengar semuanya!" Ravi menatap marah pada ibunya. "Kenapa, Ma? Kenapa mama tega melakukannya!"

"Ravi, mama tidak melakukan apa-apa! Memang benar, Nafa buka wanita yang baik untuk kamu."

"Iya, Vi. Mama kamu benar." Timpal Marsha membenarkan ucapan Marini.

"Dan kamu! Benar kata Nafa, kamu wanita licik!" Kini Ravi beralih menatap Marsha, dengan satu telunjuk terangkat menunjuk ke arah Marsha.

"Ravi! Kenapa kamu berkata seperti itu? Marsha wanita baik-baik. Yang licik itu istri kamu." Marini membela Marsha dengan balik menjelekkan Nafa.

"Aku akan buat perhitungan dengan kalian. Tunggu saja!" Ancam Ravi kemudian pergi.

***

Dari rumah, Ravi langsung melajukan mobilnya untuk mencari Nafa. Selama perjalanan Ravi terus berusaha menghubungi nomor Nafa. Namun, tidak tersambung. Dia benar-benar menyesal karena percaya begitu saja pada hasutan Marsha. Ravi mulai frustasi karena tak bisa menghubungi Nafa. Kemudi mobil pun tak luput dari luapan emaosinya. Kemudian Ravi memutuskan pergi kerumah sewa Ika, satu-satunya sahabat Nafa di kenalnya.

"Maaf bukannya aku nggak mau ngasih tau. Tapi aku sudah berjanji untuk tidak mengatakan pada siapapun."

Seperti itulah jawaban Ika, saat Ravi datang kerumahnya dan bertanya tentang keberadaan Nafa saat ini. Dia sudah berjanji pada Nafa untuk tidak mengatakan keberatannya pada siapapun, terutama pada Ravi.

"Tolonglah, ada masalah yang harus aku selesaikan dengan Nafa." Ravi memohon agar Ika mau memberi tau dimana Nafa berada.

"Sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak bisa mengatakannya." Namun Ika tetap pada pendiriannya, tak mau membuka mulut. Tak mau mengingkari janji pada sahabatnya.

"Aku mohon Ik, bantu aku. Aku tak tau lagi harus mencari Nafa kemana," Ravi mulai frustasi.

"Kalau aku jadi Nafa, aku juga akan melakukan hal yang sama. Dia sangat kecewa, kepercayaan yang di bangun selama lima tahun sirna hanya karena sebuah gambar yang belum terbukti kebenarannya." Ika menyindir Ravi menyayangkan sikap gegabah Ravi.

"Itulah, bodohnya aku. Aku menyesal karena lebih percaya pada gambar daripada istriku sendiri."

"Menyesal pun sudah terlambat, Vi. Nafa sudah pergi, dia hanya akan kembali setelah benar-benar bisa melupakanmu." Beritahu Ika, tapi tetap saja tidak mau memberi tahu dimana Nafa berada.

"Kemana dia pergi?" Tanya Ravi dengan tatapan pias.

"Maaf, aku tidak bisa mengatakan. Tunggulah sampai dia kembali."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!