Kilas Balik

“Satu kelebihan tidak mampu menutupi satu kekurangan, tapi satu kekurangan mampu menutup berbagai kelebihan.”

~Tangan-Tangan dari Surga~

Satu Tahun lalu ….

Langkah kaki seorang gadis terdengar menggema melewati koridor yang kosong. Keringat menetes deras, membasahi seragam batiknya. Sebuah skrip lecek didekap erat. Di lapang yang berumput terdapat banyak properti perfilman. Kerumunan meleleh hingga ke sisi lapangan. Langkah kakinya berpacu semakin cepat tatkala melihat keramaian di sana.

Keringat yang menetes di pelipis diusapnya dengan asal. Seulas senyum tipis terbit. Ia berhenti berlari. Pandangannya mengerling pada sejumlah properti dan orang yang berlenggak-lenggok sedemikian rupa di sana. Kakinya dibawa berjalan ringan ke arah seorang laki-laki yang mengenakan seragam batik sama sepertinya.

Wajah laki-laki itu tampak segar dan bersinar. Aura bintangnya menguar begitu menyilaukan. Warna kulit yang seputih susu, bibir mungil kemerahmudaan, hidung mancung, rahang tegas, dan alis yang tebal. Ah, sempurna sekali. Gadis dengan rambut bergelombang itu untuk sesaat terpaku padanya. Menikmati sebuah karya tangan Tuhan yang begitu indah.

“Mau daftar?”

Sebuah suara membuyarkan pikirannya. Ia tersenyum malu sebelum pada akhirnya menjawab, “Iya, kak, mau coba ikut. Masih bisa daftar, kan?” Gadis itu sedikit salah tingkah. Ia merapikan tatanan poni curtain bangs miliknya.

Di lapang sekolahnya memang sedang diadakan audisi pemilihan aktor dan aktris, khususnya untuk para murid SMA 3 Kencana. Usut punya usut sekolah ini terkenal banyak mencetak aktor dan aktris yang berbakat. Jadi, untuk lebih mencetak bibit-bibit unggul, diadakanlah audisi ini. Pun latar belakang diadakannya audisi ini juga karena agensi membutuhkan banyak aktor dan aktris untuk mengisi berbagai proyek.

Laki-laki di depan sana terdiam untuk sesaat. Berdeham pelan untuk menetralkan suaranya yang sempat serak karena berteriak mengatur beberapa orang pendaftar. “Masih dibuka sebenarnya, tapi maaf ….” Kalimatnya sengaja digantung. Ia melirik ke arah tangan tak sempurna milik gadis di depannya. “Sepertinya kamu harus mempertimbangkan lagi, takutnya nanti … maaf, ditolak karena tidak sesuai dengan kriteria yang dicari. But, no problem kalau kamu mau coba sekarang. Aku cuman takut kamu kecewa, jadi pertimbangkan lagi. Masih ada sebelas peserta yang akan tampil, kamu bisa gunakan waktu itu untuk mempertimbangkan lagi, kalau kamu sudah siap dengan konsekuensinya—“

Anna, gadis dengan tangan yang tak sempurna itu menatap sengit ke arah laki-laki di depannya. Senyum yang tadi tertarik ke atas dalam seketika luntur. Ia menyeringai. “Oh, hanya karena tangan cacat, aku gak ada kesempatan untuk ikut audisi ini, ya? Apa harus sempurna dulu, ya, Kak? Lucu banget!” teriaknya. Ia membuang pandangan muak. Baru saja beberapa waktu lalu dirinya memuja laki-laki itu, kini perasaan dengki langsung menguasainya.

“Bukan seperti itu. Agensi Starlight memang mencari murid-murid SMA untuk mengisi beberapa proyek film, tapi itu pun ada beberapa kriteria, di antaranya berpenampilan menarik—“ penjelasan lawan bicara Anna kembali terpotong.

“Dengan tangan cacat seperti ini tidak menarik, ya? Saya di sini berani daftar karena saya punya bakat, saya bisa berakting. Saya juga punya kelebihan, kak. Kakak lihat wajah saya, kan? Harusnya wajah saya sudah cukup membuat tertarik. Kenapa pula kakak atau agensi mempermasalahkan tangan saya yang cacat? Harusnya kalian lihat dulu potensi yang ditunjukkan peserta, bukan malah langsung menolak mentah seperti ini, bahkan sebelum saya daftar!”

Anna berujar menggebu sebelum mendengarkan penjelasan laki-laki di depannya hingga selesai. Ia juga melupakan siapa sosok yang tengah dilawannya. Alfa Dewanda, aktor muda yang paling dipuja oleh seluruh Indonesia. Tak terkecuali oleh seluruh penghuni SMA tempatnya bersekolah. Ah, entahlah, penolakan membuatnya buta dan sulit mengontrol emosi. Wajar saja jika hampir semua pasang mata yang berada di sana menyorot aksi Anna.

“Sekali lagi saya gak bermaksud demikian. Tolong dengarkan penjelasan saya hingga selesai! Saya—“ Perkataan Alfa terpotong lagi. Kini pelakunya bukan Anna.

“Apa-apaan anak itu?”

“Si cacat berani banget ngebentak Alfa.”

“Sinting, ya, tuh orang? Berani banget di publik gini.”

“Gak waras. Sadar diri woi, yang dibilang kak Alfa benar, kok, lu emang gak pantas buat jadi aktris!”

“Gila aja sih, si cacat yang bercita-cita terlalu tinggi. Haha.”

“Heh, muka lu emang cantik, tapi tangan lu itu cacat. Kalau ketangkap kamera yang nonton pada geli, jijik aja anjir!”

“Tangannya rapet gitu anjir, geli. Sok-sokan pengen jadi aktris. Hebat aja kalo yang nonton gak mual.”

“Pisahin dulu itu jari lu, bego! Baru jadi aktris. Haha.”

Teriakan-teriakan memprovokasi Anna. Dorongan-dorongan kasar turut membabi buta mengenai tubuhnya. Tarikan kasar pun sukses menarik Anna keluar dan menjauh dari lokasi audisi. Amukan dari fans Alfa terlalu mengerikan. Ia jatuh tersungkur mengenai rerumputan hijau. Sedangkan Alfa, Laki-laki itu malah diamankan. Seakan tubuhnya memang barang berharga yang tidak boleh lecet sedikit pun. Menjengkelkan. Apa memang harus sempurna dulu baru bisa dihargai?

Alfa yang ditarik untuk diamankan oleh beberapa orang dari agensinya mencoba melepaskan diri. “Aduh, Mas, Mbak, ini saya belum selesai bicara sama cewek tadi, lho. Saya gak enak, tadi cuman salah paham saja. Lagi pula, saya yang salah, kok, hadeuh.” Laki-laki itu berujar setelah berhasil dibawa oleh empat orang hingga keluar dari kerumunan dan diam di salah satu koridor yang sepi.

“Al, tadi genting banget, tiba-tiba aja fans kamu membabi buta gitu. Mbak yakin gak semua dari mereka paham sama titik masalahnya, dan cuman ikut-ikutan menghebohkan aja, seolah mengambil kesimpulan bawa si cewek yang salah, tapi justru itu yang bahaya. Bagaimana kalo dari salah satu fans kamu ada haters yang nyamar dan menggunakan keributan itu sebagai kesempatan untuk mencelakakan kamu, membuat berita seakan kamu yang salah karena melihat kamu ngotot minta maaf dan menjelaskan. So, ini lebih baik, kan? Diam dan seolah kamu gak mau terlibat terlalu jauh karena memang kamu merasa gak alah.”

Alfa berdecak tak suka mendengar salah satu penjelasan dari staf agensinya. Meski ingin kembali mengejar gadis tadi dan meluruskan kesalahpahaman, Alfa memilih diam menurut saja. Ah, sial.

Di sisi lain, Anna meringis kesakitan. Meniup tangan sebelah kirinya yang terbentuk tak sempurna. Warna merah kentara sekali tercetak di sana, menandakan ada sebuah rasa sakit yang bersarang.

Saat terjatuh tadi, tangan Anna beberapa kali terinjak oleh sepatu-sepatu beralas keras. Syukurnya, tangan Anna tidak sampai berdarah karena beberapa staf agensi sekaligus keamanan sekolah membubarkan kerumunan dan mengamankannya ke tempat yang lebih tenang.

Seseorang menyodorkan kotak P3K ke hadapannya. Anna menyambut dengan seulas senyum tipis. “Terima kasih,” ucapnya sambil mendongak, melihat siapa yang menyodorkan benda itu. Senyuman di bibirnya pudar. Sebelumnya, gadis itu mengira yang memberikan kotak P3K adalah salah satu staf agensi yang beberapa waktu lalu memang pamit meninggalkannya untuk mengambil kotak tersebut. Namun, ternyata orang yang ada di hadapannya sekarang adalah gadis yang juga memakai seragam batik sepertinya. Oh, mau apa ia?

“Anna.” Gadis di depan sana memanggil namanya dengan senyum yang tercetak manis. “Butuh kotak P3K, kan?” Ia menyodorkan kotak berwarna putih.

Anna sedari tadi hendak mengambil, tapi tangannya terhenti di udara tatkala melihat siapa yang datang dan memberinya kotak P3K. Alis Anna mengerut heran. Siapa gerangan gadis cantik berambut lurus itu? Kenapa tiba-tiba datang dan bersikap lembut padanya? Ah, bukankah tadi hampir seluruh siswa menyoraki dan mendorongnya?

“Gue Thiele,” ucap gadis berambut lurus, memperkenalkan dirinya langsung seolah mendengar apa yang sedang dipikirkan Anna. Tangan Thiele menarik tangan Anna dan memaksanya untuk menerima kotak P3K yang sedari tadi disodorkan. Ia kemudian mendudukkan bokong di kursi panjang, bersebelahan dengan Anna.

“Boleh ngobrol sebentar, kan?” tanyanya to the point. “Lo boleh sambil obatin tangan lo, kok, gue cuman butuh waktu sebentar,” lanjutnya.

Memutar mata malas. Anna meletakkan kotak P3K di antaranya. Mendengkus kesal sekaligus muak. Perasaan tak nyaman sudah mulai menggerogoti. Firasatnya mengatakan jika gadis cantik di sampingnya memang tidak berniat baik. Oh, ayolah, mood Anna sedang buruk hari ini. Ia tidak ingin berurusan terlalu jauh dengan orang lain, bahkan untuk mengobrol saja malas.

“Aku gak ada waktu, kamu bisa pergi dari sini! Aku menolak diajak mengobrol sekarang.” Anna menjawab dengan tegas. Pandangannya berada pada objek lain selain gadis bernama Thiele itu.

Suara kekehan kecil menjejal telinga. “Benar kata orang ternyata, lo tuh songong, cuek, dan dingin banget.” Thiele menghentikan kekehannya. Menatap serius pada Anna yang masih saja memalingkan pandangannya. “Huuh. Orang lain memang lebih pintar menilai diri kita, ya, penilaian mereka gak pernah salah. Beda lagi kalau kita menilai diri kita sendiri, kadang kita memang gak sadar bahwa, ‘oh, ternyata aku tuh begini.’ Meskipun ada saatnya sadar, kita memang gak mau ambil ribet dan memilih bodo amat.”

Kerutan di dahi Anna semakin berlipat. Ia menatap tajam ke arah Thiele. “Apa maksud kamu?” tanyanya.

Seringai kecil terbit di bibir Thiele. Gadis itu memang sengaja memancing Anna dengan kalimatnya. “Lo gak sebodoh itu, kan, sampai gak ngerti perkataan gue?”

Anna berdecih mendengarnya.

“Mau gue jelasin lagi?” tanya Thiele dengan senantiasa menyeringai. “Gue tadi denger pembicaraan lo dan Alfa. Gak usah berbelit deh, ya. Maksud dari penilaian orang tuh, gue ambil contoh Alfa, tadi ia menilai bahwa lo gak cocok dan gak pantas buat ikut audisi karena lo cacat. Seharusnya lo sadar, kan? But, lo terus mengelak dan kukuh buat ikut, bahkan lo bilang kalo cacat itu bukan patokan, lo juga ngejabarin kalo lo punya kelebihan paras yang cantik, dan kemampuan akting yang mumpuni. Please deh, Anna, meski lo menganggap diri lo sangat-sangat berkualitas, tapi kalo kata orang lo cacat dan gak cocok jadi aktris, ya lo terima aja.”

Kali ini, giliran Anna yang tertawa keras. “Aku kira kamu datang ke sini sebagai orang yang bijak, menyadarkan kalo memang aku gak berhak untuk berharap lebih karena kekurangan yang kumiliki. Menyadarkan aku untuk mengenal diriku sendiri dengan kata-kata kamu tadi. But, setelah mendengarkan penjelasan kamu, aku malah pengen ketawa. Oh, ternyata orang di depanku ini cuman mau menjatuhkan aku, ya.”

“No. Tujuanku memang ingin menyadarkan kamu bahwa kamu tidak mengenal diri kamu sendiri.” Thiele mengelak.

“Kata siapa aku gak mengenal diriku sendiri?” Anna bertanya dengan cepat. “Kamu itu lucu, ya. Aku berbuat sampai titik ini, karena aku mengenal diriku sendiri. Justru, Orang-orang itu yang gak mengenal diriku, mereka hanya menggunakan mata untuk melihat apa yang ingin mereka lihat, mencari kekurangan orang lain. Mereka hanya mengandalkan telinga untuk mendengar apa yang ingin mereka dengar. Kadang apa yang mereka lihat dan dengar bukanlah hal yang sebenarnya.”

“Bedakan dengan aku yang memiliki diri ini sendiri, mengandalkan penglihatan untuk membandingkan diri dengan orang lain, mengandalkan telinga untuk mendengar berbagai perspektif orang tentangku. Bukankah itu sudah cukup membuatku belajar mengenal diriku? Tapi ternyata bukan di situ saja. Aku juga mengenal diriku lewat perasaan-perasaan yang tumbuh seiring aku melihat dan mendengar.”

“Intinya, aku mengenal diriku karena aku merasakan apa-apa yang ada dalam diriku. Aku juga berbuat sejauh ini karena aku percaya bahwa aku punya potensi. Itu sudah membuktikan bahwa aku mengenal diriku.”

“Sederhananya, kamu tidak akan menyimpan sebuah kepercayaan pada orang yang tidak kamu kenal, kan? Begitu pula denganku, jika aku tidak mengenal diriku, maka aku tidak akan memercayai dan mengandalkan diriku sendiri.”

Anna mengakhiri perkataannya. Menatap manik mata Thiele yang berwarna kecokelatan, mencoba memenangkan dirinya di mata itu. Helaan napas Anna terdengar begitu jelas, menandakan jika dirinya cukup lelah. Entah karena penjelasannya yang panjang, atau hal lain yang tersembunyi dalam lubuk hati.

Thiele menggeleng beberapa kali. “Anna, oke, mungkin gue sekarang mengakui kalo lo mengenal diri lo sendiri. But, meski begitu, lo tetap gak akan bisa bertahan dengan perspektif lo sendiri. Ketika menjadi publik figur, yang paling dibutuhkan tetap perspektif orang lain, bukan diri sendiri. So, apa lo mau terus-terusan dibayangi dengan perspektif yang mengatakan kalo lo itu cacat dan gak pantas jadi aktris?”

Pertanyaan Thiele menggantung di udara. Anna bangkit dari duduknya, mengambil kotak P3K dan beranjak dari sana. Membiarkan pertanyaan Thiele sebagai kalimat retorik. “Meski lo mengenal dan memercayai diri lo sendiri, tapi itu semua gak akan cukup menutup mulut-mulut mereka yang gak suka sama lo!” Thiele berteriak sebagai penutup obrolan keduanya hari itu.

Anna berjalan menjauh dengan pikiran yang berantakan. Bohong jika ia tidak mendengarkan dan terpengaruh oleh perkataan Thiele sedari awal. Bisa saja mulutnya lancar memberikan penjelasan bahwa ia mengenal dirinya sendiri. Namun, tetap, jauh di dalam lubuk hati, Anna menyangkal jika mengenal dirinya sendiri.

Mengenal, artinya mau tidak mau harus memahami dan menerima, serta beradaptasi dengan apa-apa yang ada dalam diri. Namun, hingga detik ini, Anna sama sekali tidak pernah memahami, beradaptasi, atau bahkan menerima kekurangan yang ada pada dirinya. Bahkan, perkataan Thiele dan Alfa hari itu semakin membuat Anna jauh untuk mengenal dirinya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!