“Cita-cita adalah sesuatu yang ingin kamu raih dengan keridaan hati.”
~Tangan-Tangan dari Surga~
Hujan deras mengguyur sebagian kota Bandung. Langit dengan awan gelap menjadi backround mengerikan sore hari ini. Gemuruh guntur yang merambat berkali-kali dari arah berbeda turut menjadi backsound menegangkan. Hawa dingin menyusup lewat sela pori-pori kulit yang terbuka. Air hujan berjatuhan membasahi kerudung putih milik Anna. Selang beberapa waktu berhasil membasahi seluruh seragam SMA yang dikenakannya.
Pandangannya sudah buram, entah karena efek samping air hujan yang mengenai mata atau karena air yang diproduksi matanya sendiri. Bibir pucat itu bergetar, seirama dengan tubuh yang juga ikut berguncang. Napasnya tersengal meski beberapa kali mencoba memburu udara sebanyak mungkin untuk masuk ke dalam dadanya. Sesak.
“Anak sialan. Tidak ada habisnya membuat masalah. Cuih.” Seorang pria berumur empat puluh tahunan berkata sarkas pada Anna. Di bawah langit yang mengeluarkan tangis, pria itu menatap murka pada gadis di depannya. Meludah jorok, nyaris mengenai ujung kaki Anna yang tak mengenakan alas.
“Kain menjijikkan apa yang kau kenakan, Bodoh?” Tangannya menarik paksa kerudung putih Anna. Mencoba melepaskannya, tapi Anna dengan sekuat tenaga mempertahankan. “Dua hari ini aku membiarkanmu memakainya. Sudah kuperingati kau untuk melepasnya. Kenapa tidak kau lepas juga? Bahkan berani sekali memakainya ke sekolah, dasar anak bodoh!” Pria itu semakin menjadi.
Anna meringis perih. Tangannya memerah terkena pukulan demi pukulan yang dilayangkan pria di depannya. Kerudung yang menutupi kepala sudah tak menentu lagi. Kacau. Berantakan. Syukur, meski begitu ia masih bisa mempertahankannya untuk tetap menutupi aurat serapat mungkin.
“Ayah, maaf, tapi ini memang keputusan Anna.” Anna berujar dengan isak tangis lirih yang mengiringinya.
Baru dua hari ini—saat sekolahnya libur—Anna membulatkan diri untuk mengenakan kerudung. Ayahnya sudah melarang tegas. Namun, memang tidak pernah sampai murka dan bermain fisik seperti ini. Paling parah adalah kemarin, ayah memarahinya dengan kata-kata kotor dan sarkas karena mendapati ia keluar rumah dengan mengenakan kerudung, menjadikannya topik terhangat di Komplek perumahan. Tak disangka, Ayahnya hari ini lebih murka dari kemarin.
Pria bertitel ayah di depannya menyeringai. “Keputusan? Memangnya kau boleh membuat keputusan begitu saja, hah? Hanya aku yang dapat membuat keputusan di rumah ini, termasuk semua tentang hidupmu. Sekarang, lepaskan kain itu!”
“Enggak, Ayah.” Anna menggeleng kuat.
“Lepaskan Anna!” Perintah ayahnya untuk yang kedua kali.
Tangan pria itu kini turut menarik kain putih dari kepala Anna dengan kasar. Kain putih itu terlepas. Jarum dan peniti yang sebelumnya melekatkan kain di kepalanya, sudah terpental entah ke mana. Sekilas, Anna merasa perih di dagunya. Darah segar bercampur air hujan tak lama kemudian menetes mengenai seragam putih. Hanya satu tetes. Ah, salah satu peniti ternyata berhasil melukai dirinya.
“Ayah.” Anna tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya menatap kecewa pada ayahnya. Hendak mengambil kembali kerudungnya, tapi sang ayah lebih dulu menjauhkan dari jangkauan tangannya.
“Dengar! Kain ini hanya membuatmu tampak lebih jelek. Kau tahu, cacat di tanganmu itu sudah cukup membuatmu tidak menarik untuk ditatap, kau jangan menambah dirimu semakin mirip sampah dengan kain ini. Bodoh. Dengar lagi! Kain ini malah membuatmu semakin sulit untuk menjadi aktris. Kain ini hanya membuatmu sial!”
Beberapa kalimat terakhir yang dilontarkan ayahnya sukses membuat Anna mendongak. Menatap tajam dengan mata memerah ke arah pria di depannya itu. Lagi. Untuk ke sekian kalinya ia mendengar ayahnya membahas perihal aktris. Sesuatu yang sangat sensitif baginya setahun terakhir ini.
“Berapa kali Anna sudah bilang, Yah, jangan membahas itu! Anna sudah tidak mau menjadi aktris.”
Ayahnya menyeringai lebar. “Kenapa? Bukankah dulu kau begitu sangat ingin menjadi aktris?”
Bibir Anna bergetar. “Iya, dulu Anna memang begitu menginginkannya, tapi itu semua karena pengaruh ayah. Sejak kecil ayah selalu mengagungkan aku, membahas dan membayangkan bagaimana kelak jika aku menjadi aktris. Ayah hanya memuji dan melihat parasku, begitu ingin mengambil keuntungan darinya, hingga mencuci otakku setiap hari untuk terus berharap dan berusaha menjadi aktris. Ayah seolah lupa jika aku memiliki kekurangan. Aku cacat, Yah. Dipandang sebelah mata oleh orang-orang. Aku dihujat karena memiliki cita-cita terlalu tinggi, sedang sudah jelas bahwa aku tak akan bisa menggapainya karena aku cacat.”
Hujan sedikit mereda. Guruhnya tidak lagi sekeras sebelumnya. Meski Anna berbicara dengan sesekali tersendat, suaranya masih bisa didengar dengan jelas oleh sang ayah. Tidak tenggelam oleh gemercik air hujan. Sayang, ayahnya sedikit pun tidak merasa terusik atau bersalah mendengar perkataan putrinya. Seolah pria itu memang kehilangan rasa simpati kepada anaknya sendiri sekali pun.
“Hei, dengar! Asal kau tahu, orang cacat bisa menjadi aktris, ya! Yang dibutuhkan untuk menjadi seorang aktris itu kelihaian dalam berakting dan kecantikan wajah saja. Jika kau tidak bisa menjadi aktris, itu bukan karena cacat yang kau miliki, tapi karena kau saja yang tidak becus, Bodoh.” Ayahnya membalas dengan sengit. “Tahun ini, kutekankan kau harus bisa menjadi aktris. Awas saja jika lagi-lagi gagal,” lanjutnya lagi.
Anna melotot. Menggeleng keras. “Anna tidak mau, Yah! Sampai kapan pun Anna tidak mau lagi menjadi aktris.”
“Tidak mau? Kalau begitu pergi saja kau dari rumah ini! Untuk apa lagi kau berada di sini jika tidak bisa menuruti apa yang kumau? Kau sama saja seperti sampah yang tidak berguna!”
“Ayah ….” Anna memanggil sang ayah dengan lirih. Isak tangis meluncur dari bibir. Seumur hidup, meski ayahnya acapkali berkata kotor dan kasar, tapi ia tidak pernah mengusirnya agar pergi dari rumah. Namun, kali ini, untuk pertama kalinya kata itu terlontar.
“Jika kau masih mau berada di sini, turuti semua perkataanku, termasuk menjadi aktris dan tidak lagi mengenakan kain sialan ini. Kau mengerti?” Volume suara ayahnya terdengar menurun, meski setiap katanya penuh penekanan.
Anna tak menjawab. Ia menunduk dengan isak tangis yang terus mengiringi. Sang ayah pergi dengan melempar kerudung putih tadi ke hadapannya. “Ayah, cukup tanganku yang cacat. Aku tidak mau memiliki cita-cita yang cacat juga. Cita-cita yang hanya membuatku tersiksa, bahkan cita-cita yang pernah membuat orang tersayang kehilangan nyawanya. Aku tidak mau, Yah.” Anna berujar di antara gemercik hujan yang kembali turun dengan deras.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments
arisawa miya
semangatt
2022-12-28
0