Sakit

“Hal paling menyakitkan adalah ketika diri kita yang seharusnya memiliki hak lebih besar, tapi kalah oleh mereka yang memiliki jabatan atau gelar yang lebih tinggi.”

~Tangan-Tangan dari Surga~

“Kamu tahu, Anna? Kamu memiliki paras yang cantik, peluang untuk menjadi aktris sangatlah besar. Sayang sekali, kamu cacat.” Suara rendah seorang wanita mengusik pendengaran gadis yang pagi hari ini masih meringkuk di balik selimutnya.

“Beberapa hari ini kamu mengambil keputusan besar. Mengenakan kerudung, sama seperti mendiang ibumu. Ah, andai kamu tahu, Anna, kerudung itu juga yang membuat ibumu dikeluarkan dari agensinya. Pantas saja jika ayahmu menentang keras keputusanmu. Mungkin ia teringat kisah ibumu.”

Anna tak bergeming. Beberapa waktu lalu, saat wanita itu masuk ke kamarnya dan membuka gorden, ia sudah bangun dari tidurnya. Berpura-pura memejamkan mata agar tak bersitatap. Kondisinya sedang buruk. Ia tidak mau dilihat oleh wanita bertitel ibu tiri itu.

Menjengkelkan. Anna kira ibu tirinya akan segera keluar dari kamar setelah membuka gorden dan menyapu lantai, tapi ternyata ia malah mendudukkan bokongnya di atas ranjang milik Anna. Kurang ajar, wanita itu juga berbicara ngalor-ngidul tentang ibu kandungnya.

Tangannya terkepal di balik selimut. Kepalanya berdenyut tak karuan. Ia menahan kekesalan. Anna tahu tentang cerita bagaimana ibunya yang dulu pernah menjadi seorang aktris dan dikeluarkan dari agensi setelah memakai kerudung. Namun, siapa wanita di dalam kamarnya yang berani sekali membahas hal tersebut. Wanita kurus itu sama sekali tidak berhak mengungkitnya. Meski begitu, Anna tetap berpura-pura tidur.

“Kamu sepertinya ingin mengikuti jejak ibumu, ya? Seseorang yang sebelumnya begitu dicintai oleh Mas Iyan, berubah menjadi seseorang yang begitu dibencinya.” Wanita kurus itu menyeringai. “Aku turut sedih, tapi juga begitu senang. Karena kalian berdua mengecewakannya, kelak hanya akan ada aku dan anakku di mata Mas Iyan.” Tangannya menyentuh rambut bergelombang milik Anna. Menyisirnya dengan lembut sekaligus gemas. Lantas, ia beranjak dan keluar dari kamar.

“Sial.” Anna memaki. Ia bangun dari posisi baringnya dan menatap nyalang pada pintu kamar yang sudah tertutup kembali. “Dasar iblis gila.” Gerakan tangan yang memukul ke udara turut memperjelas betapa kesalnya Anna pada wanita yang baru saja keluar dari sana.

“Argh!” Anna meringis tatkala kepalanya semakin berdenyut nyeri tak karuan.

Berdiri di bawah guyuran hujan satu sore penuh, benar-benar menjadikan tubuhnya tumbang sekarang. Semalam gadis itu sudah merasakan demam yang menggigit setiap inci tubuhnya. Hidung pun ikut mampat. Flu.

Pagi ini, meski sudah tidak separah tadi malam, tapi ia masih bisa merasakan jika kepalanya berat. Tubuh pun lemas. Lunglai. Niat hati ingin berangkat sekolah, sepertinya harus tertunda. Bukan hanya karena kondisi fisik, melainkan juga suasana hati yang berubah buruk sedari insiden di halaman depan rumah kemarin sore.

Anna membaringkan tubuhnya kembali. Memijat pelipisnya dengan pelan guna menghilangkan rasa sakit. Menetralkan gemuruh di dada, melenyapkan sisa kesal yang mendera beberapa waktu lalu. Gadis itu menatap kosong pada langit-langit kamar berlukiskan awan berwarna biru. Pikirannya melayang entah ke mana.

“Cklek!”

Knop pintu kamarnya diputar dari luar. Sesosok pria yang mengenakan kemeja biru muncul di daun pintu. Anna melirik sekilas, kemudian segera mengalihkannya kembali. Insiden kemarin masih menyisakan kecewa di dada Anna. Rasanya ia belum siap untuk kembali berhadapan dengan pria itu.

“Kamu tidak berniat pergi sekolah, Anna?” Suara bariton menjejal telinga Anna. Ayahnya tidak masuk, masih betah berdiri di ambang pintu.

Anna menggeleng saja sebagai balasan. Tatapan tidak ia alihkan. Tubuhnya pun tetap berbaring seperti semula. Masa bodoh dengan ayahnya yang melihat isyarat tubuhnya atau tidak.

“Kenapa? Jangan bilang kau tidak mau sekolah karena aku melarangmu memakai kain sialan itu, ya!”

Udara dihirup rakus oleh Anna. Lagi. Ayahnya mulai mengeluarkan suara keras. Cara bicara berubah, dari yang awalnya menggunakan kata ganti kamu menjadi kata ganti kau, itu menunjukkan jika ayahnya sedang murka. Oh, ayolah, Anna bukan tidak mau sekolah dengan alasan seperti yang dikatakan pria itu. Bukan sama sekali. Apa ayahnya lupa jika kemarin dirinya digempur habis-habisan oleh dinginnya air hujan?

“Bukan karena itu, tapi karena Anna tidak enak badan, Yah,” jawab Anna dengan suara yang pelan.

“Benarkah? Itu bukan hanya sekadar alasanmu saja, kan? Jangan hanya karena kain itu kau sampai membangkang aku yang notabenenya ayahmu!” Ayahnya semakin berulah menjengkelkan.

Menarik selimut hingga sebatas leher. Anna meringkuk lebih intim. Hawa dingin tiba-tiba saja terasa menembus pakaian tidur yang dikenakannya. “Terserah saja jika ayah tidak percaya,” balasnya. Gadis itu memejamkan matanya. Kedatangan sang ayah di pagi hari ini semakin membuatnya sakit kepala.

Ayahnya memicing. “Baiklah, dari nada bicaramu yang seperti orang sakit, aku memercayaimu untuk kali ini. Beristirahatlah.” Nada suara pria itu berubah menjadi lembut. Ia menutup pintu kamar Anna tanpa berniat mengecek kondisi anak gadisnya itu, meski sekadar menempelkan punggung tangannya pada kening Anna.

Helaan napas berat lagi-lagi terdengar. “Ayah, bagaimana bisa kau tidak memercayai perkataan anakmu sendiri?” Anna menitikkan air mata. Selalu begitu.

“Setelah ayah mengetahui jika aku sakit, kenapa ayah sedikit pun tidak terlihat khawatir? Dulu bukankah ayah selalu khawatir jika aku jatuh sakit? Apa sekarang rasa kasih dan cinta ayah untukku telah sirna? Semalam aku mendengar pembicaraan ayah dengan Thiele di telepon, ayah begitu perhatian padanya, menanyakan kabar, menanyakan ia sudah makan atau belum, menanyakan berbagai kebutuhannya dan berniat membelikannya, tapi sedikit pun ayah tak pernah bertanya hal demikian padaku. Pembicaraan ayah padaku setelah bunda meninggal hanya terus berputar pada bagaimana agar aku cepat-cepat menjadi aktris.” Isak tangis Anna pecah. Gadis itu mengingat jika semalam ayahnya menelepon Thiele—anak bawaan dari ibu tirinya.

“Ayah, apa posisiku sebagai anak kandungmu sudah tergeser olehnya? Kenapa rasanya sakit sekali.” Anna berujar lirih dengan tangan yang memukul dadanya. Mencoba mengeluarkan sesak di sana.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!