Tangan-Tangan Dari Surga

Tangan-Tangan Dari Surga

Cacat Hati

”Cacat yang mengerikan itu adalah cacat hati. Ketika manusia ditutup rasa simpati dari hatinya dan ketika manusia ditutup kesadaran hatinya untuk bermahabah kepada Tuhannya.”

~Tangan-Tangan dari Surga~

Semburat jingga menyebar dari cakrawala bagian timur. Hawa dingin yang menyelimuti kota Bandung beberapa waktu lalu, dalam sekejap menyesap hangatnya mentari pagi. Burung pipit di atas dahan pohon mulai mengoceh, saling berbalas decit satu sama lain. Ibu-ibu gendut Komplek perumahan pun tak mau kalah; saling membisik keras dengan tangan mengaduk sayur-mayur di atas gerobak. Pria tua pemilik gerobak hanya memutar mata malas, sesekali pura-pura tersenyum memaklumi. Ibu-ibu memang pandai bergosip.

Sejurus, sedan hitam melaju pelan melewati kumpulan itu. Gadis berkerudung putih mengangguk dan tersenyum menyapa di balik kaca mobil yang terbuka, tatkala seorang ibu-ibu berperawakan paling tambun di sana bertanya, “Berangkat sekolah, Neng?”

Mereka kembali berbisik-bisik setelah mobil sedan itu melesat dan hilang di tikungan.

“Saya mah merasa kasihan sama Neng Anna. Hidupnya teh kayak yang gak ada gairah setelah bu Mega meninggal.”

“Ya, iya, Ceu, si Anna pasti merasa bersalah, sebab Bu Mega meninggal karena nolongin ia.”

“Neng Anna pasti terpukul sekali. Saya paling gak habis pikir sama Pak Iyan yang menikah lagi, tak lama setelah kejadian tersebut.”

“Aduh, Bu, saya dengar-dengar Pak Iyan menikahi janda itu karena uangnya. Itu rumah gedong, ya, dari mana duitnya kalo bukan dari janda itu.”

“Uangnya bukan dari wanita itu, Bu, tapi dari anak bawaannya. Saya dengar sih anaknya aktris di Jakarta.”

“Halah aktris dari mananya, paling juga jadi simpanan om-om di Jakarta.”

Seorang wanita berperawakan kurus dengan rambut yang digelung asal, berdiri di belakang ibu-ibu tersebut. Sebelah sudut bibirnya tertarik ke atas. “Aduh, Bu, enak sekali menjelek-jelekkan anak saya, ya? Padahal belum pernah ketemu, loh. Tolong, lain kali mulutnya dikondisikan, dong!”

Dengan tidak tahu malunya ia menyerobot, mengambil beberapa sayuran di atas gerobak dengan kasar. “Belanja sayur saja lama, menjelek-jelekkan orang lagi. Ibu-ibu rumah tangga sekarang gak ada kerjaan, ya, Mang?” tanyanya pada pria tua penjual sayur. Menyindir ibu-ibu di sana.

“Ya, namanya juga ibu-ibu, gosip sudah makanan sehari-hari,” jawab pria tua itu sambil terkekeh ringan. Tangannya gesit memasukkan sayur dan lauk milik wanita kurus tadi ke kantung belanjaan berwarna bening. “45 ribu, Bu,” lanjutnya menyodorkan kantung tersebut.

“Ya, jangan menjelek-jelekkan orang yang belum mereka lihat juga, dong. Itu jatuhnya fitnah.” Wanita kurus itu membalas dengan ketus. Mengambil kantung belanjaan dan menukarnya dengan sejumlah uang. “Terima kasih, ah, Mang.”

Transaksi jual-beli sayur yang dipenuhi dengan sindiran. Ibu-ibu gendut di sana hanya memutar mata malas sekaligus jengkel. Mereka memang selalu memilih diam jika di hadapkan dengan wanita kurus itu. Melawan sama saja mencari mati. Pak Iyan sebagai suami dari wanita kurus itu sering membuat kegaduhan dengan suami-suami mereka, melebarkan masalah yang sebenarnya kecil.

Pak Iyan dan istrinya yang juga merupakan pedagang besar sekaligus produsen sembako termurah, sering kali menyusahkan dengan memberi harga lebih mahal kepada mereka yang terlibat masalah dengannya. Paling parah, mereka sampai di-blacklist dari toko-toko sembako yang memang mengambil bahan dari pak Iyan. Ujung-ujungnya mereka harus membeli sembako dengan harga lebih mahal dan jarak yang lebih jauh pula.

“Bu Tiwi, saya tandai situ, loh! Berani-beraninya bilang anak saya simpanan om-om. Lain kali, jangan jelekin anak saya yang situ aja belum pernah lihat. Jelekin aja tuh si Anna, jelas sering lihat, kan? Cacat, pembunuh ibunya sendiri, beban di keluarga saya. Ia lebih pantas dijelekin, kan?” Wanita kurus itu melengang pergi setelah mengatakan sederet kalimat penuh penekan. Tak lupa, ia pun menandai sosok Bu Tiwi.

“Neng Anna cacat tangannya, tapi Bu Ani sudah beda konteks, cacat hati. Lebih pantas dijelekin itu, ya, berarti bu Ani sendiri.” Bu Tiwi hanya berani menggerutu setelah wanita kurus bernama Ani itu menghilang di pagar hitam sebuah rumah besar.

***

Gadis berkerudung putih dengan nametag bertuliskan Anna Frisila yang menempel di dadanya, berjalan melewati koridor yang sudah tampak penuh oleh pelajar berseragam SMA. Suasana semakin terasa bising. Tatapan-tatapan mata menancap kukuh padanya. Menguliti dari bawah hingga atas penampilannya. Rasa itu dejavu. Sama seperti pertama kali ia menginjakkan kaki sebagai murid baru di sana.

Terlahir cacat pada tangan dengan jari-jari yang menempel atau sindaktilia. Anna mungkin dipandang sebelah mata, sering dianggap aneh, menjijikkan, dan mengerikan. Meski begitu, Anna sebenarnya memiliki paras yang luar biasa cantik. Itu pula yang menjadikan Anna sebagai sorotan publik terlegit saat pertama kali menginjakkan kaki di sana. Sebuah kekurangan juga kelebihan yang membaur begitu menonjol.

Tatapan-tatapan itu untuk kali ini bukan menyorot pada tangannya yang cacat. Melainkan sepenuhnya pada seuntai kain putih yang membalut rambut panjang bergelombang miliknya. Rambut yang dapat membuat Anna terlihat lebih cantik dan manis, hingga banyak membuat iri para gadis di sana. Namun, sehelai rambut pun kini tak lagi terlihat. Anna membulatkan dirinya untuk mengulurkan kerudung dan menutup semua rambutnya.

Kehilangan sang bunda satu tahun lalu menjadi latar belakang terkuat atas hijrahnya Anna, termasuk untuk berkerudung. Sang bunda selama ini tidak pernah menegur caranya berpenampilan, termasuk berkerudung atau tidak. Padahal, bundanya adalah wanita berkerudung lebar. Beberapa perkataan mungkin pernah menjadi kode keras untuk Anna agar segera memperbaiki diri. Namun, ia memang tidak cepat-cepat menyadarinya.

Setelah sesal demi sesal menyusup dalam diri Anna. Barulah ia menyadari perkataan berarti dari bundanya dulu. “Anna, apakah kamu tahu kecacatan apa yang paling mengerikan?”

“Bagi Anna, cacat tangan yang Anna miliki sekarang inilah yang paling mengerikan.” Anna menjawab dengan perasaan sesak yang menggemuruh.

Bundanya menggeleng. “Cacat yang mengerikan itu adalah cacat hati. Ketika manusia ditutup rasa simpati dari hatinya dan ketika manusia ditutup kesadaran hatinya untuk bermahabah kepada Tuhannya.”

Perkataan itu memukul telak Anna. Bahkan hingga napas terakhir, sang bunda lagi-lagi mengucapkan kalimat yang sama.

Terpopuler

Comments

arisawa miya

arisawa miya

sukaa, semangat thor, saling mampir yuuu.. ^^

2022-12-23

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!