Bambang yang berjalan tertatih dengan hati teriris langsung menelepon putri semata wayangnya. Bahkan, pipinya telah basah, matanya memerah lantaran mengingat momen panas yang dilakukan oleh menantunya sendiri di kediaman pribadi.
"Angkatlah, nak!" batin pria tua itu, sebab panggilannya tak kunjung mendapat respon.
Hingga saatnya, Bambang tiba di teras rumah sendiri, ia memanggil istrinya. Berteriak-teriak bak orang gila. Ayah mana yang tidak histeris setelah memergoki menantunya sendiri berselingkuh di rumah yang ditinggali bersama sang istri.
"Ibu, sini!" teriak Bambang histeris.
"Ada apa toh, pak? Teriak-teriak kayak orang gila," sindir Retno.
"Lihat ini." Bambang menunjukkan foto-foto senonoh yang ia ambil. Beberapa foto menunjukkan wajah pemeran pria dari samping serta wajah pemeran wanitanya dari samping.
"Astagfirullahaladzim." Retno membuka mulut dengan lebar, lalu menutup dengan kedua tangan. Matanya pun berkaca-kaca setelah menebak pelaku utama dalam foto tersebut.
"Kok bisa sih, pak? Apa yang ada dipikiran menantu kita itu?" lirih Retno dengan berurai air mata.
"Apa yang harus bapak lakukan, bu? Apa kita perlihatkan hal memalukan ini pada Catylin?" ucap Bambang meminta saran.
"Kasih tahu, pak. Aku tahu, hati Catylin akan hancur berkeping-keping. Tapi hal seperti itu sudah tidak bisa ditolerir lagi!" geram Retno menggebu-gebu.
"Baiklah!" Bambang kembali menelepon putri semata wayangnya dengan rasa berdebar. Tak berselang lama, suara sapaan dari putrinya terdengar di gendang telinga.
"Halo, pak? Ada apa? Maaf, tadi aku tidak sempat mengangkat telepon bapak, soalnya lagi di jalan."
"Ehm ... ehmm ... kamu masih di mana, nak?" tanya Bambang dengan jantung berdegup kencang.
"Ada apa sih, pak? Kok suara bapak bergetar gitu? Kayak mau nangis," hardik Catylin, masih menyetirkan kendaraan miliknya.
"Bapak mau ngomong penting. Kamu di mana? Bisa langsung ke rumah bapak?" Bambang mondar-mandir karena masih ragu dengan pilihannya.
"Sebentar lagi aku sampai, pak, nanti aku akan mampir ke rumah bapak." Catylin mematikan sambungan telepon itu, lokasinya pun masih menjadi misteri, ia tidak mengungkapkan pada Bambang Lee.
"Gimana, pak?" tanya Retno seraya menatap tajam ke arah suaminya.
Bambang seketika terdiam. Entah apa yang terjadi pada mulutnya, seolah-olah kaku tak bisa berbicara. Dirinya sangat kasihan dengan nasib putri semata wayangnya itu.
"Bapak bingung bu, jujur saja ... bapak tidak ingin menyatiki putri kita. Lelaki itu, dia sangat dicintai oleh Catylin. Namun, ia setega itu berbuat demikian. Mencoreng nama baik keluarga mereka sendiri," cibir Bambang, dengan kesal ia memukuli dinding dengan kepalan tangan.
"Sabar, pak! Mungkin dengan bapak melihat kejadian itu, bisa menyadarkan putri kita. Kalau dia tidak cocok bersanding dengan pria seperti Stefan." Retno mengelus punggung Bambang, seakan-akan menenangkan pria renta itu.
"Nyesal sekali bapak bisa pilih dia jadi mantu. Bisa-bisanya pula setelah ketahuan selingkuh, dia malah memaki-maki bapak." Bambang menyugar kepalanya, meski dahinya telah plontos.
"Udah, bapak duduk dulu. Yang tenang, minum airnya. Jadi kalau Catylin datang, bapak juga ceritanya jangan sambil mengamuk. Rileks! Yang tenang."
"Iya, bu." Bambang duduk melamun, membayangkan apa yang akan terjadi jika Catylin melihat hasil jeperetan miliknya.
Dengan rasa kecewa yang begitu dalam, Bambang kembali membuka layar ponsel. Menatap foto Stefan yang ia anggap sangat suram dan tak pantas.
"Assalamualaikum." Catylin masuk dengan anak bungsunya, berjalan gontai mencari sosok ayahnya.
Setelah mendudukkan Stefi di depan tv yang menyala, Catylin langsung menyusuli keberadaan Bambang dan istrinya.
Dengan wajah tertegun, Bambang mendekati putrinya yang sedang asik mengutak-atik remote, mengganti ke channel kesukaan anak bungsunya.
"Nak, bapak mau bicara hal penting. Biarkan Stefi bersama mamamu."
"Bu, ibu, tolong jaga Stefi," teriak Bambang.
Retno langsung datang dengan jalan tertatih. Ia langsung mendudukkan Stefi di pangkuan. Lalu, Bambang menarik lengan Catylin dengan hati-hati.
Mereka berdua duduk di meja makan. Sebelum memulai pembicaraan, Bambang memastikan kondisi Catylin tampak baik-baik saja.
"Ada apa, pak?" desak Catylin, penasaran sejak sang bapak mulai menelepon dirinya.
"Hmm ... kamu jangan shock, jangan pingsan, atau apapunlah. Bapak mau ungkap sesuatu." Bambang mengambil ponsel yang berada di dalam saku.
"Ada apa sih, pak?" cecar Catylin semakin penasaran.
"Yang sabar, ya, nak ... bapak tahu ini bukan hal mudah. Tapi kamu harus mengetahui hal ini, jangan mau terus-terusan diinjak-injak oleh suamimu."
"Suamiku?" beo Catylin. Ia bak tersambar petir seraya menerka-nerka. Apakah sang bapak mengetahui tabiat suaminya yang hobi berselingkuh? Bagi Catylin itu adalah hal biasa, bahkan sampai membuat dirinya mati rasa pada suaminya sendiri.
"Hmmm, suamiku kenapa pak?" tambah Catylin.
Bambang memberikan ponsel, menampilkan galeri ponsel, beberapa foto toples saat Stefan bertindihan dengan wanita lain tanpa busana mulai diperlihatkan oleh pria tua itu.
"Lihatlah fotonya! Ingat, jangan kaget." Bambang memperingati putri semata wayangnya.
Catylin mengambil ponsel itu, betapa shock dan hancur hatinya saat melihat foto senonoh yang tak layak dipertontonkan.
"A–apa ini pak?" tanyanya dengan suara bergetar, bahkan tangannya pun ikut tremor.
"Geser saja fotonya. Kau akan melihat wajah pria pemeran utama pada foto itu." Bambang hanya tertunduk penuh sesal.
"Hah? Stefan?" Catylin semakin panik setelah menggeser foto-foto lainnya. Wajah Stefan dengan perempuan yang ia tak kenal justru terlihat sangat jelas.
"I–ini di mana, pak?" desak Catylin.
"Itu di rumahmu, nak. Di rumahmu sendiri! Suamimu tega melakukan hal seperti itu! Dia tidak pernah menghargaimu! Ceraikan dia!" tegas Bambang dengan raut wajah penuh amarah.
"Di rumahku?" Mulut Catylin ternganga lebar, ia menutup dengan satu tangannya. Sedangkan tangan lain masih memegang ponsel itu, menatap foto yang tak pantas dengan tajam.
"Stefan seberani itu dia melakukannya di sana? Benar-benar tidak tahu diri," sesal Catylin, amarahnya semakin memggebu-gebu.
"Yang sabar, nak. Kau tidak perlu membuang tenaga untuk bertengkar. Langsung ajukan gugatan cerai, kasih pelajaran untuknya." Bambang mengepalkan tangan, lalu menepuk ke telapak tangan sebelah karena rasa kesal.
"Sebenarnya, ini bukan yang pertama kali, pak. Dia sudah sering berselingkuh. Berkali-kali juga aku memaafkan dia tapi ini sudah keterlaluan. Dia berani melakukan hal itu di ranjang yang kami tiduri. Benar-benar tidak tahu diri!" cemooh Catylin.
"Aku pamit pulang dulu, pak. Maaf bapak harus menyaksikan kelakuan pria tak bermoral itu." Catylin langsung mengirimkan foto-foto yang ada di ponsel Bambang ke alamat emailnya.
"Iya, nak. Hati-hati pulangnya. Tenangkan dirimu, buat pikiranmu tetap waras!" imbuh Bambang menenangkan.
Catylin hanya mengangguk, sedari tadi ia menahan air matanya agar tidak keluar setetes pun. Ia sangat malu harus menangisi pria yang tak memiliki moral seperti suaminya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 22 Episodes
Comments