rasa benci

Stefan bahkan berjanji dalam hatinya, ia tak akan lagi pernah berselingkuh. Kasus perceraian itu akan menjadi pembelajaran baginya.

Kini, Stefan akan fokus pada keluarga. Ia akan menyayangi Catylin sepenuh hati. Mencintai anak-anaknya dengan rasa sayang yang besar.

Namun, hal itu berbeda dengan Catylin. Entah mengapa, rasa benci pada janin yang berada di dalam rahim muncul. Mata memerah, raut wajah sedih serta tangis yang tak henti membuat ia semakin sakit.

Tak hanya itu, rasa benci pada pria itu memupuk begitu besar di hati. Hal yang ia harapkan telah berakhir. Keinginan berpisah dari laki-laki yang sangat ia benci itu telah sirna lantaran gugatannya tak disetujui oleh pihak pengadilan.

Seluruh hakim serta tamu persidangan membubarkan diri dengan rasa kecewa. Sepasang suami istri itupun masih bersama, terlihat Stefan masih memeluk sang istri penuh haru.

"Ayo, kita pulang!" ajak Stefan, tanpa memperdulikan perasaan wanita itu.

Catylin hanya mendongak ke atas, menatap pria itu dengan wajah yang basah. Ini benar-benar tak sesuai harapannya.

"Dasar laki-laki brengsek!" maki Catylin lantaran telah muak dengan perilaku lelaki itu.

"Kenapa kamu berkata seperti itu, sayang? Aku ini suamimu, aku berjanji akan mencintaimu dari awal. Aku juga berjanji, tidak akan pernah berselingkuh lagi." Stefan mengalungkan tangan ke leher wanita itu, lalu mencium pucuk kepala Catylin.

"Laki-laki biadab. Pantas saja nama belakangmu worst, sama seperti artinya. Nama adalah doa yang diberikan kedua orangtuamu dan itu terwujud pada dirimu. Perilakumu benar-benar buruk! Menjijikkan, aku benar-benar tak sudi menjadi istrimu lagi," tandas Catylin penuh amarah.

"Jangan begitu, sayang! Aku serius ingin memulai hidup baru. Anak-anak kita sudah menunggu di rumah." Stefan menarik lengan Catylin agar mulai beranjak dari kursi.

Di sana, Raisa masih menunggu kliennya untuk bergerak. "Ayo, kita pulang bu. Ruangan ini sudah sepi, semua orang telah pergi."

Catylin justru menurut dengan pengacaranya. Membiarkan Stefan berdiri mematung, bahkan Catylin tak berniat pulang bersama sang suami.

Catylin bersama Raisa berjalan ke parkiran. Mobil milik Catylin pun terparkir di sana. "Biar saya saja yang menyetir, bu!" pinta Raisa, karena perasaan Catylin tengah terguncang akibat gagalnya berpisah dengan suaminya.

Disisi lain, Stefan langsung menyusul kepergian istrinya. Ia mengekori mobil sedan yang ada di depan. Dengan rasa khawatir, Stefan takut kalau Catylin akan mencoba menyakiti diri sendiri.

Sebab, ia tak menginginkan bayi tersebut hadir ke dunia ini. "Maafkan papa, nak," gumam Stefan seraya memfokuskan pandangan, mengekori mobil istrinya.

Mobil itupun ternyata masuk ke dalam komplek perumahan mereka. Sedikit rasa lega yang Stefan rasakan, setelah melihat Catylin kembali ke rumah.

Mobil sedan itu terparkir di garasi, diikuti oleh Stefan yang juga memarkirkan mobil di samping mobil milik sang istri.

"Ini kuncinya, bu, biarkan saya pulang menaiki taksi online." Raisa berpamitan pada kliennya. Sebelum berperang, kasus mereka telah ditolak lebih dulu oleh pihak Pengadilan Agama.

Sebelum masuk ke dalam rumah, Catylin menyeka air mata. Memastikan raut wajahnya baik-baik saja, ia tak ingin wajah sedih terlintas, dilihat oleh ketiga anaknya yang dititipkan pada ibu kandung Catylin.

"Mama, pulang," teriak Catylin, sebelum ia masuk ke dalam rumah, ia sudah mengabaikan pria yang sudah menjadi suaminya selama 10 tahun terakhir yang berdiri mematung setelah keluar dari dalam mobil.

"Papa, juga pulang!" Stefan meregangkan kedua tangannya agar anak-anaknya berhamburan memeluknya, sedari tadi ia mengekori langkah kaki wanita di hadapannya.

Namun, ketiga anak itu malah berlari ke arah mamanya sendiri. Tak ada satupun yang mau memeluk Stefan. Anak-anak itu sudah paham dengan status rumah tangga kedua orangtuanya yang telah merenggang.

Tak ada lagi kata harmonis sejak dua bulan terakhir, ketiga anak itu sampai merindukan kebersamaan di keluarga mereka.

"Mama, dari mana aja sih," cerocos anak pertama—Sadewi yang berusia 7 tahun.

"Mama abis dari luar sayang, tadi ada perlu. Biasa, mengurus bisnis mama," kilah Catylin, mengelus rambut anak perempuan yang paling besar dengan jari-jemarinya.

"Terus, kok barengan sama papa?" timpal anak keduanya–Sadewa yang juga berusia 7 tahun.

Anak pertama dan anak keduanya itu memang kembar. Anak perempuan lahir lebih dulu, berselang 10 menit, anak laki-lakinya menyusul keluar dari rahim.

Tak heran jika kedua anak kembarnya itu sudah memahami kondisi pernikahan kedua orang tua mereka. Sebab, usia mereka yang dini juga dipaksa dewasa dengan keadaan.

Meskipun sang mama tak pernah mengucap langsung tentang penderitaan hidup selama membina biduk rumah tangga bersama pap- mereka. Namun, kedua anak itu memahami kondisi yang berbeda lantaran sikap dingin kedua orangtuanya.

Tak hanya itu, Stefan bahkan tak tahu malu, memperkenalkan selingkuhannya kepada anak-anaknya dengan alasan adalah teman sang papa. Namun, kedua anak yang duduk di bangku kelas 2 SD itu sudah mengetahui tabiat papa mereka.

Perempuan yang dikenalkan bukanlah teman melainkan selingkuhan papanya. Selain itu, Stefan tanpa sadar kerap mempertontonkan kemesraan dengan wanitanya di depan kedua anak kembar itu.

"Loh, kok semuanya ke mama? Nggak ada yang peluk papa nih?" celetuk Stefan, masih membentangkan kedua tangannya.

Anak bungsu mereka yang belum mengerti apapun langsung berlari ke arah sang papa. Stefy berusia 2 tahun, masih mungil-mungilnya tetapi sudah bawel dan berbicara dengan jelas meski beberapa kata masih terdengar cadel.

"Efy yang peyuk papa," ujar Stefy dengan gaya bicaranya yang memeluk tubuh kekar milik sang papa.

Stefan pun meraih gadis kecil itu, mengecup kening serta mengacak-acak rambut anak bungsunya dengan gemas.

"Sadewa sama Sadewi nggak mau peluk papa juga?" kata Stefan, saat istri dan dua anak kembarnya menatap ke arah dirinya.

Dua anak kembar itu dengan kompak menggelengkan kepala mereka. Bahkan, mengeratkan pelukan pada sang mama.

"Sudah makan?" ucap Catylin, mengalihkan pandangan dua anak kembarnya.

"Efy beyum ma," sambar Stefy dengan riang khas anak bayi.

"Sini, sayang!" Catylin menganggukkan tangan ke arah Stefy, gadis kecil itu melepaskan pelukan dari tubuh papanya, lalu berlari bergantian memeluk Catylin.

"Ayo, Stefy mau mam apa?" ujar Catylin, merangkul kedua anak kembarnya dengan satu lengan, lalu menggendong Stefy di lengan sebelah.

"Mau ayam goreng," teriak Stefy dengan girang.

"Dewi sama Dewa juga lapar ma, eyang belum masak buat kita," celetuk Sadewi.

Catylin melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan, memang saat itu masih pagi. Tepatnya masih pukul 9 pagi, persidangan perceraian digelar saat jam 8 pagi.

"Ma, mama?" teriak Catylin ke arah dapur.

Ibu kandungnya itu masih sibuk memasak untuk ketiga cucunya. "Udah pulang?" sahut wanita tua itu.

"Iyah, ma." Catylin terlihat lesu, membuat wanita tua itu semakin penasaran.

"Loh, kok cepat banget? Bagaimana hasilnya?" tanya ibu kandung Catylin—Retno Sri Asih.

"Nanti saja aku ceritakan, anak-anakku lapar ma. Mama masak apa?" ujar Catylin menatap ke arah wajan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!