Rindu Natasya

Satria melepas dasi dan kancing kemejanya yang paling atas. Dia baru saja pulang dari kantor tempatnya bekerja. Satria sekarang tinggal di rumah orang tuanya. Dia mengambil pigura yang ada di atas kabinet lalu duduk di atas ranjangnya. Helaan napas panjang terdengar dari mulutnya.

Usapan lembut Satria berikan di sebuah kaca pigura yang melindungi foto keluarga kecilnya.

Dalam bingkai itu, ada dirinya, Santika dan putri kecil mereka saat Natasya masih berusia satu tahun. Satria ingat betul, waktu itu mereka menyempatkan waktu berjalan-jalan di akhir pekan ke sebuah tempat wisata. Senyuman cantik di wajah Santika pun masih terlukis jelas di ingatannya.

"Ayah kangen kamu, Nak." Tangan Satria kembali mengusap kaca pigura tadi, namun kali ini di bagian wajah putrinya. Sudah dua hari ini Satria tidak bertemu dengan putrinya dan Santika. Dia merindukan mereka berdua. Jujur saja, Satria masih belum rela kalau harus berpisah dengan Santika.

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Satria. Dia tidak tahu siapa yang datang ke rumahnya di jam segini. Jarang sekali ada tamu untuknya, sehingga Satria mengira kalau mungkin saja orang di luar sana mencari kedua orang tuanya. Namun sekarang Satria juga tidak tahu kedua orang tuanya sedang ada di mana. Sedari dia pulang kerja, rumah sudah sepi.

"Permisi!" seru seseorang dari luar.

Rasa penasaran semakin menghantui Satria. Pigura foto tadi diletakkan Satria kembali ke atas kabinet dan dia berjalan ke arah pintu guna membukakan pintu untuk orang yang menunggu di luar.

"Ada orang?" Sebuah suara kembali menyapa gendang telinga Satria.

"Ya, sebentar!" sahut Satria seraya membukakan pintu. Ketika pintu sudah dibuka, Satria mendapati seorang laki-laki berpakaian rapi. Dia memakai kemeja putih, jas dan celana hitam, sepatu pantofel yang mengkilap serta tangannya menenteng tas kerja. Kening Satria mengerut melihat laki-laki yang tidak dia kenal berdiri di depan pintu rumahnya. Satria pun mencoba mengingat-ingat, siapa tahu laki-laki berbadan kurus itu adalah salah satu temannya di kantor.

"Betul, ini dengan rumahnya Pak Satria?" tanya laki-laki berjas yang berdiri di depan Satria itu.

"Ya, betul. Anda bicara dengan saya sendiri, Satria." Tangan kanan Satria menunjuk ke arah dadanya, khas seperti orang yang sedang memperkenalkan dirinya kepada orang baru.

Laki-laki tadi melihat ke arah dalam rumah sebentar dan itu membuat Satria tersadar, "Mari masuk. Silakan duduk dulu, biar saya buatkan minum." Satria mempersilakan laki-laki yang belum dia ketahui identitasnya itu untuk masuk ke dalam rumah, tanpa curiga pada hal-hal lainnya.

"Tidak perlu repot-repot, saya tidak akan lama," cegah laki-laki tadi setelah dia duduk di salah satu kursi di ruang tamu.

Satria yang tadinya sudah akan berjalan ke arah dapur, jadi dia urungkan. Satria tidak jadi membuatkan minum karena tamunya berkata sendiri bahwa dia tidak akan lama. Sekarang, Satria duduk berseberangan dengan laki-laki asing tadi. Dia memerhatikan apa yang dilakukan oleh tamunya itu yang mulai mengeluarkan amplop coklat dari dalam tas kerjanya. Perasaan Satria jadi tak keruan, dia sudah berpikir yang bukan-bukan.

"Saya adalah pengacaranya Ibu Santika. Kemarin istri Anda datang ke pengadilan negeri agama untuk menggugat cerai Bapak Satria, dan maksud kedatangan saya ke sini itu untuk mengantarkan surat cerai kepada Anda." Laki-laki tadi menjelaskan mengenai gugatan yang Santika layangkan kepada Satria. "Saya harap, nanti Bapak bisa datang ke persidangan," lanjut laki-laki yang mengaku berprofesi sebagai pengacara itu.

Satria kaget, dia merasa tubuhnya seolah dipukul sedemikian kencang selama berulang-ulang. Matanya memanas, Satria masih belum percaya kalau Santika serius pada perkataannya. Mulanya Satria kira kalau Santika hanya menggertaknya saja untuk menakut-nakuti dirinya, tetapi setelah dia melihat serta mendengar semua ini maka Satria tidak ada pilihan lain selain percaya.

"Silakan ditandatangani, Pak." Pengacara Santika itu kembali membuyarkan lamunan Satria.

"Apa saya boleh mendiskusikannya lagi dengan istri saya, Pak?" Satria mencoba meminta kelonggaran waktu untuk membahas lagi bersama Santika.

"Sangat boleh," jawab sang pengacara. "Nanti kalau ada kabar baru mengenai hubungan Bapak dan Ibu Santika, kalian boleh hubungi saya. Kalau begitu, saya permisi dulu." Pengacara tadi sudah langsung pamit pulang karena dia merasa tugasnya juga sudah selesai.

Tersisa Satria seorang diri di sini. Diambilnya amplop coklat tadi dan Satria melihat isinya. Itu jelas memang surat gugatan cerai. Satria tidak bisa membendung tangisnya. Dia meratapi nasibnya yang merasa gagal dalam mempertahankan rumah tangganya. Satria merasa tidak berguna karena harus ingkar janji dalam menjaga Santika sebagai istrinya hingga maut memisahkan.

"Aku harus bagaimana, Santika?" tanya Satria kepada selembar kertas yang dia pegang.

Rasa tidak terima karena digugat cerai, membuat Satria langsung berdiri dan dia ingin menemui Santika di rumah mertuanya. Satria akan berusaha membujuk Santika supaya istrinya mau rujuk dengannya. Satria akan berusaha semampunya.

Sesampainya di rumah mertuanya, kebetulan Santika dan Bu Mirna sedang ada di depan rumah. Dengan langkah cepat, Satria mendatangi Santika. Dia tarik pelan tangan perempuan yang masih berstatus sebagai istrinya itu. Santika tampak marah melihat ada Satria di depan matanya. Tak berbeda jauh dengan Bu Marni.

"Kamu apa-apaan sih, Mas? Ngapain kamu ke sini?" sentak Santika tak berperasaan.

Amplop coklat berisi surat gugatan cerai di tangannya tadi, diperlihatkan oleh Satria kepada Santika. Namun tanpa Satria sangka, Santika malah menghela napas lega.

"Oh, jadi surat gugatan cerainya sudah sampai di kamu?" Santika merespons. "Bagaimana, kamu sudah tanda tangan 'kan?" tanya Santika seraya menyilangkan kedua tangannya di depan dada.

"Bagaimana mungkin kamu tega melakukan ini, San? Ingat anak kita. Natasya masih kecil, dia masih perlu sosok seorang Ayah. Kenapa kamu tega menggugat cerai aku? Apa kamu sudah tidak cinta lagi sama aku?" tanya Satria beruntun.

Santika memutar bola matanya malas, "Pokoknya aku nggak akan pernah mau rujuk sama kamu! Aku tidak akan mengubah keputusanku buat cerai sama kamu!" balas Santika disertai gerakan tangannya yang menunjuk-nunjuk wajah Satria. "Kamu itu sadar apa enggak sih, Mas? Kamu tu kurang bisa membahagiakan aku. Gaji kamu itu nggak cukup buat aku beli barang-barang branded! Aku pakai shopping sepuluh menit juga sudah langsung habis! Jadi buat apa aku mempertahankan kamu yang jelas-jelas nggak bisa kasih aku banyak uang." ujar Santika emosi dan menggebu-gebu. "Lagi pula, mana kenyang aku makan cinta. Makan tuh cinta.

Hati Satria begitu sakit, mendengar dirinya dihina oleh perempuan yang dia cintai selama ini. "Tega kamu bilang begitu ke aku, San." Hanya ini yang bisa terucap dari bibir Satria.

Terpopuler

Comments

Heri Wibowo

Heri Wibowo

benar-benar surat cinta dari istri

2023-01-08

1

☠☀💦Adnda🌽💫

☠☀💦Adnda🌽💫

cewek matre..... cewek matre.... ke laut aje 🤭🤭🤭

2023-01-04

1

Diaz

Diaz

sudah cerai aja 🤭

2022-12-26

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!