Surat Cinta Dari Istriku
"Aku nggak bisa hidup pas-pasan kayak gini, Mas! Aku tersiksa!" Suara Santika terdengar menggema di seluruh penjuru rumah. Perempuan itu sedang marah-marah kepada suaminya, Satria.
"Nyesel aku dulu mau nikah sama kamu kalau pada kenyataannya kamu nggak bisa menuhin semua kebutuhanku dan semua keinginanku!" Santika tidak berhenti berteriak, dia terus mencaci-maki suaminya yang berusaha menenangkannya.
Satria berulang kali mencegah Santika mengemasi barang-barangnya ke dalam tas, tetapi usaha Satria selalu gagal. Santika tetap menjadi pemenangnya. Hingga sekarang, Satria melihat semua pakaiannya yang mulanya berada di dalam lemari kini sudah berpindah tempat ke tas hitam yang dia bawa saat pertama kali pindah ke rumah mertuanya.
"Lebih baik kamu pergi dari rumah ini! Tidak sudi aku terus-menerus punya menantu miskin, nggak punya banyak uang dan bisanya cuma numpang!" Bu Marni selaku ibu mertuanya Satria yang sedari tadi berdiri di ambang pintu kamar putri sulungnya pun kembali menyahut.
Dia ikut mengompori Santika supaya mau turut serta mengusir Satria dari rumahnya.
Satria gelagapan, dia menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Tentu saja lelaki itu tidak ingin berpisah dari istri dan anaknya. Bagaimanapun juga, Satria menyayangi mereka dan berusaha akan selalu tetap bersama Santika dan anaknya sampai maut memisahkan.
Sebenarnya Satria bukan bermaksud tidak tahu diri. Hanya saja, dia merasa bahwa selama ini dia sudah bekerja keras untuk memenuhi semua kebutuhan istrinya yang cantik, gila belanja dan sangat haus mata pada barang-barang branded.
Selama ini Satria sudah sering bilang kepada Santika untuk menabung guna membangun rumah buat mereka tinggal sendiri, jadi mereka tidak perlu lagi menumpang di rumah orang tua Santika, tetapi Santika tidak pernah mendengarkannya dan malah menyalah-nyalahkan Satria.
Mulanya Satria hanya menganggap bahwa semua itu hanyalah keluhan biasa yang Santika lakukan.
Dia tidak mengira kalau Santika akan tega membuangnya bagai barang tidak berguna begini hanya karena ekonomi mereka yang pas-pasan.
"Kita bisa bicarakan masalah ini lagi dengan kepala dingin, Sayang. Kita semua lagi emosi." Satria kembali berusaha membujuk Santika supaya mau mendengarkannya.
"Sayang, Sayang! Nggak sudi aku dipanggil Sayang sama kamu! Ada uang, ada sayang!" balas Santika sinis.
"Sudah, jangan lama-lama. Langsung kita usir saja laki-laki tidak berguna ini!" Bu Marni maju, dia yang mengambil tas berisi pakaian Satria tadi yang mulanya ada di atas ranjang. Bu Marni membawa tas itu ke luar kamar.
Satria mengikuti ibu mertuanya, "Tolong jangan usir aku dari rumah, Bu. Aku nggak mau pisah dari Santika, aku juga nggak tega ninggalin Natasya. Dia masih kecil, Bu." Satria memohon-mohon kepada Bu Marni supaya ibu mertuanya itu mau memberinya belas kasihan.
"Paling tidak, Ibu mau memberi aku waktu tinggal di sini sampai aku bisa membangun rumah untuk Santika dan Natasya."
Bu Marni yang sudah geram kepada menantunya itu, dia menghempaskan tangan Satria begitu saja. Kedua matanya kini melotot dan kemarahan sudah menguasai hati Bu Marni.
Tidak selang lama, ketiga orang yang sedang bersiteru di ruang tamu tadi dikagetkan oleh suara seorang perempuan yang keluar dari kamar lain.
Siapa lagi kalau bukan Lusiana, karena Bu Marni hanya memiliki dua putri. Santika dan Lusiana yang baru saja menikah beberapa hari lalu.
"Ini apa sih ribut-ribut? Berisik tahu nggak? Aku sama Mas Rendi tuh mau istirahat. Malah harus ngedengerin keributan!" sentak Lusiana kepada Satria, Santika dan Bu Marni.
"Kalau tahu di sini bakal ribut kayak gini, mending aku tadi tidur di rumah aja!"
Lelaki yang dipanggil Mas Rendi oleh Lusiana tadi keluar dari kamar. Dia juga tampak marah sambil menatap ke arah Satria.
Rendi dan Lusiana berjalan ke arah Bu Marni. Mereka melihat ada tas hitam di tangan Bu Marni yang mereka yakini itu milik Satria.
"Pasti biang keroknya Mas Satria, 'kan? Kamu yang udah mancing-mancing Mbak Santika sama Ibu, sampai mereka marah begini?" Lusiana menuding Satria yang sebenarnya malah ingin masalah ini dibicarakan baik-baik.
Bu Marni melemparkan tas berisi pakaian Satria tadi ke luar rumah. Tatapan Bu Marni sangat tidak bersahabat dengan Satria.
Sedangkan Satria, dia kaget ketika tasnya dilempar begitu saja.
"Lebih baik kamu segera pergi dari rumah ini!" titah Bu Marni lagi dengan nada kencangnya.
"Sudahlah Mas, kamu itu sudah diusir. Harusnya kamu cepetan pergi dari sini. Kamu memangnya nggak punya harga diri? Sudah hidup numpang sama mertua, terus sekarang pas diusir masih juga nggak mau pergi." Rendi ikut-ikutan mengusir Satria.
Bu Marni sekarang mendekati Rendi, dia usap bahu menantu keduanya, "Kamu lihat Rendi, sudah tampan, berwibawa, sebelum menikahi Lusiana juga sudah punya rumah sendiri, punya pabrik tekstil. Beda jauh sama kamu, yang hidup numpang, gaji sebulan saja nggak cukup buat beliin pakaian dalam anakku." Bu Marni sengaja membanding-bandingkan Satria dengan Rendi.
Telinga Satria panas mendengar ini. Harga dirinya sebagai laki-laki hancur berantakan. Dia benar-benar merasa terhina dan kata-kata Bu Marni itu sangat menyakitkan.
Walau Satria laki-laki, tapi dia juga punya perasaan yang bisa terluka apabila dibanding-bandingkan begini. Meski apa yang dibilang oleh Bu Marni tadi juga tidak semuanya salah. Memang ada beberapa hal yang tidak bisa disamakan antara Satria juga Rendi, dan Satria memahami itu.
Pandangan Satria kini beralih ke arah Santika yang hanya diam menyaksikan tanpa ingin membelanya. Satria sungguh tidak pernah mengira kalau Santika bisa setega ini kepadanya.
"Santika, aku mohon bilang ke Ibu kamu kalau aku akan berusaha untuk membangun rumah buat kamu. Buat keluarga kecil kita, San," kata Satria lagi untuk yang ke sekian kalinya.
"Kamu nggak usah banyak drama, Mas. Aku sudah muak lihat muka kamu ada di rumah ini. Keputusan Ibu buat mengusir kamu itu memang keputusan paling tepat.
Aku sudah tidak peduli lagi sama kamu, aku mau pisah sama kamu." Itulah jawaban Santika kepada Satria, suami yang dulu dia cintai dan dia bangga-banggakan karena bekerja di perusahaan ternama.
Santika mengira kalau dirinya menikah dengan Satria yang bekerja di perusahaan besar, maka hidupnya akan terjamin dan dia bisa hidup mewah. Namun semua dugaannya salah, Santika masih kurang dengan penghasilan Satria selama ini.
"Cepat kamu angkat kaki dari rumah ini!" Bu Marni maju, dia mendorong-dorong tubuh Satria dengan sekuat tenaga.
Suara tangisan anak kecil dari dalam kamar, membuat Satria menolak. Pasti itu adalah anaknya yang baru bangun tidur. Satria ingin memeluk anaknya dengan Santika, tapi Bu Marni sudah lebih dulu menutup pintu rumah sehingga dia tidak bisa masuk untuk menemui putrinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments
Heri Wibowo
Assalamualaikum mau gabung momi
2023-01-08
1
Dwi MaRITA
widih... kayak ntu yak... mangkanya kata guru senior, kalok dah nikah.... mending misah .... ngontrak ato kost aja... biyar sama² enak, nggak 'sungkan'... nggak ada yg ngrecokin lah... mandiri kan asyik, isa merusuh cantik 🙊😁
lalakik mah kudu punyak harga diri lah... diusir spt ntu mah sbg cambuk tuk sukses... 🙈
Sat... kluat dr rmh mertua, hudu isa sat set sat set, krj tekun & buktikan isa lebih sukses drpd iparmu... kuy lah... 👏👏👏
2022-12-21
2
💞🖤Icha
Susah istri gila materi bukan bejuang bersama" apalagi mertua ikut campur...uda semakin panas rumah tangga...😞😞😞
2022-12-21
2