Jajan Lagi

Egois itu, kala pergi tanpa peduli.

Egois itu, KAU!

Sekali kau melangkah pergi, tak ada kata untuk kembali.

***

Selepas solat isya, Rania termenung dalam simpuhnya. Butiran tasbih ia letakkan di ujung sajadahnya.

Perlahan tetesan air jatuh dari bola matanya. Membasahi pipi mulus tak berjerawat milik Rania.

Ratusan bahkan ribuan malam ia lalui dengan air mata. Mengadu, adalah rutinitas yang tak mau ia tinggalkan.

Bukan! Bukan mengadu pada manusia. Ia adukan keluh kesah dalam balutan air mata pada sang Pencipta.

Tak satupun terlewat dari saraf otaknya yang mengingat tiap inci kenangan masa lalu yang kelam.

Orang bilang, waktu dapat menyembuhkan. Orang bilang waktu bisa mengubur ingatan pedih, nyatanya tidak bagi Rania.

Seperti membeli bulatan gula-gula kapas di pasar malam. Semakin berputar mesin, semakin membesar bulatan gula-gula kapas arummanis.

"Aku harus apa, Tuhan?" rintih Rania dalam derai air matanya.

Waktu dua tahun, sudah ia lalui di kota Kuda dengan penuh perjuangan. Bangkit dari kesakitan, bangkit dari keterpurukan kehidupan. Nyatanya, tak jua menyembuhkan lukanya. Bahkan semakin parah.

Kilas masa lalu masih saja menghantui malam-malam Rania. Tak ayal, kerapkali Rania terbangun saat malam karena mimpi buruk. Bahkan lebih parah lagi, gangguan tidur alias insomnia mendera otak Rania.

Pikirannya selalu terjaga setiap saat bahkan saat malam yang seharusnya ia bisa beristirahat, namun pikiran itu membuat retina Rania tak jua mengendur dan tidur.

Rania adalah salah satu dari jutaan wanita berkeluarga di muka bumi yang menjadi korban penghancuran batin dan pikiran akibat perselingkuhan suaminya.

Ilham. Nama lelaki yang menjadi penyebab rusaknya hati Rania. Ia berselingkuh dengan teman semasa kuliah.

Pernikahan yang ia jalani selama tiga tahun akhirnya harus berakhir secara mengerikan. Semua milik Rania terenggut paksa oleh keadaan. Harta terakhirnya adalah si kembar. Karena itulah banyak keputusan berat yang ia ambil demi selalu bersama dengan si kembar.

Tragis. Kata itu yang terucap jika ia bercerita pada teman yang tak bersimpati. Dan kasihan adalah kata simpati dari orang-orang yang menatap kedua buah hatinya. Lalu, kata apa yang pantas disandang oleh Rania? Janda? Benar! Dia janda anak dua!

"Bunda... Mmm... Bunda ada di mana?" Suara putri kecilnya bergetar. Sepertinya ia ketakutan.

Rania bergegas menyapu pipinya yang basah dengan mukena yang ia kenakan. Ia menoleh ke belakang. Rupanya Lisha terbangun.

"Iya, sayang. Bunda di sini," sahut Rania sambil membuka mukenanya.

Bergegas Rania mendekati Lisha.

"Lili mimpi buruk, Bunda... Lili takut," lirih Lisha.

"Lili mimpi apa? Memangnya tadi, Lili baca doa sebelum tidur, gak?"

Bocah cilik itu mengangguk pelan.

"Ya, sudah. Sekarang, Lili baca doa lagi, lalu tidur. Itu hanya mimpi, bukan kenyataan. Bunda ada di samping Lili kok. Yuk, bobo lagi," ujar Rania menenangkan Lisha.

Lisha patuh. Ia kemudian merapalkan doa sebelum tidur lantas memejamkan kedua matanya. Posisi tidur dibuat senyaman mungkin dan kini tubuhnya lebih merapat ke arah tubuh Rania. Ia memeluk erat sang bunda, seolah meminta perlindungan agar tak lagi diganggu oleh mimpi buruk.

Tak hanya Lisha yang akhirnya tertidur, perlahan namun pasti tubuh Rania merosot. Rasa kantuk yang mendera dan lagi, tubuh yang lelah karena baru saja melakukan perjalanan antar kota, membuat kesadarannya tumbang lantas lelap dalam tidur.

***

Sayup-sayup suara adzan subuh terdengar dari masjid dekat rumah.

Perlahan, kelopak mata Rania terbuka. Ia menoleh ke sisi kirinya. Kedua buah hatinya masih terlelap. Bergegas ia bangkit dari ranjang dan bersiap untuk solat subuh.

Ibadah yang sulit dilakukan oleh beberapa umat muslim tentu saja solat subuh. Alasan paling kuat adalah rasa kantuk dan dingin yang membuat mereka malas untuk menunaikannya.

Jika saja mereka tau balasan dari ibadah satu itu, tentu mereka akan berbondong-bondong melaksanakannya meski harus merangkak.

Tak sampai setengah jam, Rania sudah membersihkan diri lalu menunaikan solat subuh. Selagi si kembar masih tertidur pulas, ia keluar dari kamar dan bersiap untuk mengerjakan pekerjaan rumah. Mencuci baju lantas menyiapkan sarapan untuk semua orang.

"Kamu sedang apa, Wi?"

Saat Rania tiba di dapur, dirinya menemukan Dewi tengah berjongkok sambil membenarkan sesuatu.

"Eh, kamu Ran! Bikin kaget aku aja!" sahutnya tapi tak menjawab pertanyaan Rania.

Rania lantas meng-copy aksi Dewi. Ia mendekati Dewi lantas berjongkok di sampingnya.

"Itu tabung gas, kamu apain, Wi? Kok digoyang-goyang gitu? Rusak?" tanya Rania penasaran.

Dewi menoleh. Ia menghentikan aksinya mengguncang tabung berwarna hijau itu sejenak.

"Aku mau buat sarapan buat kita semua, tapi kompornya gak nyala dari tadi. Jadi, kupikir mungkin selangnya gak berfungsi," ujar Dewi menjelaskan. Ia lantas melanjutkan mengguncang tabung gas lagi.

Dahi Rania berkerut. Otaknya mencerna ucapan Dewi.

"Kalo selang yang bermasalah, kenapa tabungnya yang kamu guncang, Wi?"

"Eh iya juga ya. Kamu kok ngerti ya?"

Rania menepuk jidatnya.

"Astaga... sini, biar aku saja yang lihat. Kukira kamu lagi nyari tikus jongkok di bawah sini. Ternyata sedang ngobrol sama tabung gas, rupanya, haish..."

Dewi memberengut sambil tertawa. "Kamu tuh ya, enak aja kalau ngomong! Masa' aku ngobrol sama beginian!" ujarnya sambil menunjuk benda besi berbentuk bulat seperti melon.

Rania terkekeh. Ia lantas fokus bolak balik mengecek kompor dan selang bergantian.

"Hmmm... Dari tadi kita hanya fokus sama selangnya saja. Ternyata isi tabungnya sudah kosong. Haish...!" tutur Rania menemukan sumber permasalahannya.

Regulator kompor gas milik Dewi tak memiliki indikator isi gas, karena itulah, Rania dan Dewi tidak bisa mengetahui apakah masih berisi ataukah sudah kosong dalam tabung gas tersebut.

"Waduh! Gasnya habis ya? Trus gimana nih sarapan anak-anak? Toko sembako di sini bukanya jam delapan," kata Dewi setengah panik setengah lagi bingung.

"Aha! Gimana kalo kita cari sarapan di luar saja? Sambil olahraga cari keringat. Setelah capek, lapar dan haus baru deh kita langsung ke tempat makan," sambung Dewi memberi ide praktis.

"Jajan lagi? Kamu 'kan tau, aku sedang berhemat. Belum tentu aku bisa dapat pekerjaan dalam waktu dekat. Biar aku sama anak-anak sarapan nunggu jam delapan saja. Setelah toko sembako buka, aku langsung melesat beli gas baru."

Rania menolak ide brilian Dewi. Tapi, Dewi tak mau menyerah begitu saja. Dia masih mempromosikan idenya agar Rania patuh dan melaksanakan idenya.

"Baiklah... aku nyerah, aku ikut idemu deh. Tapi, aku gak setuju kalau kamu yang bayarin kami lagi. Biar kali ini, aku yang traktir. Anggap saja, aku sedang bayar hutang martabak semalam."

"Oke kalau begitu, aku setuju. Ayo kita bangunkan anak-anak. Jam enam pagi, kita mulai berangkat dari rumah."

"Loh, pagi-pagi banget. Memangnya, mau beli sarapan di mana? Jauh?" tanya Rania bingung.

"Yah... sedikit sih, tapi gak terlalu jauh juga kok. Sambil olah raga jalan santai, sekitar sepuluh menitanlah ya."

"Hmm... memangnya mau ke mana? Kok sampe sepuluh menit gitu. Sepuluh menit versi langkah orang dewasa atau versi motor nih? Jangan jauh-jauh deh! Kasian anak-anak, pagi-pagi udah jalan jauh!"

"Udah... ikut aja! Anak-anak pasti seneng kok. Hari ini minggu pagi, banyak orang yang jalan santai juga. Ayo, kita siapin anak-anak!"

Terpopuler

Comments

Romi Az

Romi Az

menunggu cerita selanjutnya

2022-12-24

0

Cute Mommy

Cute Mommy

walah mau JJP Jalan Jalan Pagi, semangat Rania, kali aja nemu cogan

2022-12-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!