Tak perlu mewah, sebab bahagia bisa kau ciptakan sendiri.
Tak perlu lagi sempurna, sebab kita sudah sempurna.
Gelak tawa penanda kita bahagia.
***
Malam hari pun tiba. Rania sudah merapikan barang-barangnya ke dalam kamar. Tidak banyak yang dia bawa, hanya pakaian miliknya dan pakaian kedua buah hatinya yang berada dalam koper. Dan satu tas berukuran sedang yang terisi oleh beberapa berkas penting untuk perpindahan pekerjaan Rania.
Semua itu sudah tertata rapi dalam lemari kayu yang ada di dalam kamar tersebut.
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam. Kisha dan Lisha sudah rapi. Mereka selesai mandi beberapa menit lalu.
"Bunda, aku lapar!" rengek Kisha.
Tentu saja! Sudah waktunya makan malam, belum lagi, dua bocah itu baru saja menikmati tidur sore yang nyenyak dan mandi sore yang segar. Dan kini perut mereka meronta meminta diisi.
"Oke siap! Kita cari makanan di luar yuk!" ajak Rania seraya menggiring kedua putri kembarnya.
Di ruang televisi, Dewi sudah rapi dengan penampilannya. Memakai abaya dan jilbab besar berwarna senada, biru dongker. Penampilan layaknya seorang wanita sholeha.
Tak seperti Rania yang masih belum ingin memakai hijab. Meski begitu, Rania punya batasan dalam berpakaian. Ia tak serta merta memakai rok mini ataupun pakaian seperti lontong.
Seperti kali ini, ia memakai celana kulot dan kemeja panjang yang ia gulung hingga sikunya.
"Kalian sudah siap?" tanya Dewi.
Kedua bocah kembar itu mengangguk bersamaan. Dewi lalu menggiring keduanya keluar dari rumah. Rania mengekor di belakangnya.
"Kita mau ke mana, Wi?" tanya Rania pada Dewi yang tengah sibuk mengunci pintu rumah.
"Kita beli makanan di rumah makan depan komplek," sahut Dewi.
"Jauh gak? Kita ke sana pakai apa? Ojek? Atau taxy? Tunggu sebentar, aku mau ambil sweter untuk anak-anak."
"Hishh... gak jauh kok. Gak perlu ribet begitu. Gak pakai kendaraan kok. Kita jalan kaki saja, sambil menikmati suasana malam di komplek. Lagipula cuaca agak panas. Yuk, kita jalan!"
Dalam hati, Rania membenarkan ucapan Dewi. Kota Udang sangat berbeda dengan kota kelahirannya, yakni kota Kuda yang cuacanya lebih sejuk dan cenderung dingin saat malam. Di sini, ia sudah berkeringat bahkan setelah mandi.
Dewi langsung sigap. Ia menggandeng salah satu putri Rania. Yang paling mudah untuk diajak interaksi, siapa lagi kalau bukan Kisha. Kiki lebih dewasa ketimbang adiknya yang selalu ingin nempel ibunya.
"Tante Dewi, gak takut?"
Tiba-tiba Kisha nyeletuk di tengah jalan santai mereka.
"Takut? Takut kenapa?" tanya Dewi bingung.
"Di sini 'kan gelap, tante. Memangnya, tante sering jalan-jalan malam begini?"
Dewi terkekeh. Meski wajahnya tak nampak jelas karena pencahayaan di jalan hanya mengandalkan lampu jalan, namun dapat dipastikan tawa renyah Dewi tak sampai membuka seluruh rongga mulut. Palingan hanya senyum lebar menunjukkan deretan gigi putihnya.
"Takut hantu, maksud Kiki? Gak lah! Jalanan di sini ramai orang, gak perlu takut. Lagipula, hantu jaman sekarang wujudnya gak halus lagi, kebanyakan nongol di siang hari?"
Dahi Kisha berkerut. "Maksud tante?" tanya Kisha bingung dengan ucapan sahabat ibunya itu.
"Maksud tante Dewi, sekarang tuh lebih banyak hantu berwujud manusia ketimbang hantu aslinya. Contohnya, ya kejadian seminggu yang lalu di kampung kita, kamu ingat gak, Kiki?" ujar Rania menerangkan maksud sahabatnya itu.
"Mmm ... kejadian minggu lalu? Oh, maksud bunda, hajatan Mang Asep?!" tebak Kisha. Ingatan bocah itu masih tajam.
"Iya, betul sekali!" Rania mengacungkan jempolnya, mengapresiasi ingatan anaknya yang bagus.
"Memangnya, apa yang terjadi di hajatan Mang Asep?" Kini giliran Dewi yang bingung.
"Minggu lalu, Mang Asep bikin panggung joget di atas kuburan, tante! Semua orang joget di antara batu nisan. Ramai loh, tante!" sambar Lisha kini memberanikan diri bersuara.
"Astaghfirullah! Masa' begitu? Lalu kalian ikut joget juga?"
"Ya gak lah tante! Mana mungkin kita joget begitu, bunda bisa marah-marah deh," seloroh Kisha.
"Kita di sana hanya berfoto dengan pengantin, lalu pulang. Lisha merengek minta pulang karena ketakutan. Kami bahkan belum sempat mencicipi suguhan prasmanan," terang Rania.
"Aih-aih... ternyata ada juga yang begitu ya. Hmm... selama tante tinggal di kota ini, belum pernah lihat yang begitu. Kalau sampai tante lihat, mungkin tante juga sama dengan Lisha, bahkan langsung lari, deh. Merinding!"
Dewi memperagakan diri seolah bergidik ketakutan.
"Memangnya kenapa merinding tante?" tanya Lisha polos.
"Ya, tentu aja tante merinding. Coba kalian bayangkan deh. Bisa saja yang di dalam kuburan bangkit dan marah karena terusik suara musik."
"Hiiyyy... bunda... aku takut..." rengek Lisha sontak memeluk Rania.
"Tante Dewi bercanda, sayang. Bisa saja yang di dalam kuburan juga ikutan joget karena ada hiburan gratis," kelakar Rania diimbuhi tawa jahil.
"Hish... kamu tuh ya Ran, ngaco! Mana mungkin begitu."
"Lagian kamu duluan cerita begitu, anak-anakku jadi ketakutan nih!" protes Rania.
"Iya, iya. Maafin tante ya. Itu hanya cerita hayalan tante saja, mana ada yang begitu. Eh, tuh lihat! Kita sudah sampai. Ayo!"
Dewi menunjuk pada sebuah rumah makan sederhana yang berada di seberang jalan komplek perumahan tersebut.
Tak hanya rumah makan, deretan bangunan di sana memanglah pertokoan dan tempat usaha lainnya. Seperti contohnya salah satu tempat di sebelah rumah makan yang mereka tuju adalah tempat usaha londry. Pada malam hari tentu saja tutup dan di depannya diisi oleh para pedagang makanan malam seperti martabak manis dan masih banyak lagi pedagang makanan malam.
Dewi menggiring si kembar dan Rania memasuki rumah makan sederhana yang memang buka hingga pukul sembilan malam.
Mereka duduk di bangku kayu yang panjang dengan menghadap pada display kaca yang berisi lauk pauk. Duduk memanjang bersebelahan.
"Kalian mau makan apa? Tante pesankan untuk kalian," ujar Dewi menawarkan si kembar.
Sejak kedatangan si kembar, Dewi mendominasi berinteraksi. Ia sangat menyukai anak-anak. Alasan lainnya juga karena ia ingin lebih dekat dengan si kembar agar urusan Rania selama di kota Udang lebih mudah.
Lisha memindai lauk pauk yang tersaji di dalam kaca tersebut. Ia berpikir akan memilih menu mana yang ingin ia makan kali ini.
Berbeda dengan Lisha yang sibuk celingukan memilih menu, Kisha termenung sejenak lalu menarik ujung jilbab Dewi.
Dewi memang duduk di sebelah Kisha. Posisi duduk si kembar diapit oleh dua orang dewasa, yakni Rania dan Dewi.
"Kenapa Kiki, sayang? Kiki mau lauk yang mana?" tanya Dewi sadar ujung jilbabnya ditarik oleh bocah lugu itu.
"Bunda, Lili mau ayam goreng serundeng!" seru Lisha sambil menunjuk ke kaca tempat menu ayam goreng tersaji.
Rania lantas menunjuk kaca tersebut sambil menyebutkan menu yang ingin dimakan Lili.
Tak lama kemudian, makanan pun tersaji dan disodorkan dari arah atas display kaca.
"Restauran Touchscreen..." gumam Kisha tiba-tiba.
"Apa sayang? Kamu bilang apa? Tante gak dengar."
"Ini restauran Touchscreen ya tante?" celetuk Kisha.
Dewi mengerutkan dahi. Berbeda dengan Dewi, Rania malah tergelak tawa.
"Kamu ngetawain apa sih Ran? Ada yang salah dengan dandananku?" ujar Dewi panik. Ia menggerayangi wajah dan jilbabnya demi menemukan keanehan yang membuat Rania tertawa.
"Bukan. Bukan kamu yang aneh tapi aku tertawa karena ucapan anakku."
Rania lalu menjelaskan pada Dewi bahwa Kisha menyebut display kaca itu seolah benda yang bisa ia sentuh lalu pesananpun segera tersedia. Seperti yang ada pada permainan di ponselnya.
"Owalah, rumah makan layar sentuh toh."
Dewi pun terkekeh setelah paham maksudnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Cute Mommy
wkwkk ngakak
2022-12-21
0