Cercah asa terlihat di matamu.
Bagai pelita kecil di kelamnya malam.
***
"Alhamdulillah, perut sudah terisi penuh. Camilan pun sudah siap di tangan. Sekarang, waktunya kita pulang. Yuk, kita pulang!" ajak Dewi sambil mengulurkan tangan kanannya pada Kisha.
Tangan kiri Dewi menggenggam kantong plastik berisi martabak manis dan martabak telor.
Setelah makan di rumah makan sederhana tersebut, tiba-tiba Lisha merengek meminta dibelikan martabak manis isi coklat dan keju. Tanpa aba-aba lagi, Dewi lantas membelikan yang diinginkan bocah lima tahun tersebut.
Tak hanya Lisha, Dewi pun menawari Kisha. Namun, bocah yang satu itu malah menggeleng. Saat ditanya alasannya, ternyata ia lebih memilih martabak telor.
Meski kembar, tentu saja selera makanan tak melulu sama. Lisha lebih suka yang manis-manis seperti martabak manis, sedangkan Kisha menyukai asin dan gurih seperti martabak telor.
Kisha menyambut tangan Dewi. Mereka bersiap menyusuri jalanan pulang.
"Dewi, sampai di rumah nanti, kuganti uangmu untuk camilan ini, ya?" kata Rania menyejajarkan langkahnya dengan Dewi.
"Hissh... gak usah! Udah, jangan dipikirkan!" tolak Dewi.
"Tapi, aku gak enak. Mereka anak-anakku. Kamu keluar uang banyak untuk jajan anak-anakku," keluh Rania.
Dewi yang membayar semua martabak yang dipesan. Rania tidak bisa berkutik, sebab ia tak membawa uang lebih.
Saat ingin membayar, ternyata uang yang ada dalam saku celananya kurang, sehingga dengan sigap Dewi mengambil alih pembayaran.
"Kamu gak usah mikirin hal itu. Nikmati saja kebersamaan ini. Anggap aja itu rejeki anak-anakmu yang dititipkan Allah melalui tanganku."
Rania terenyuh. Tiap kali ada yang mengasihani anak-anaknya, Rania selalu bersedih hati. Ia teringat kata-kata seorang tetangga yang tak sengaja ia dengar ketika masih berada di kota Kuda.
'Kasihan ya anak-anaknya. Seperti anak yatim tapi bukan anak yatim.'
Perih. Itu yang dirasakan Rania saat itu. Hanya tangisan di malam hari yang bisa ia perbuat.
"Ran! Rania! Kamu melamun ya?"
Rania mengerjapkan mata. Sesaat tadi pikirannya melayang mengingat kesakitan yang selalu ia tepis demi kebahagiaan anak-anaknya.
"Kamu mikirin apa? Uang martabak? Haish... 'kan aku udah bilang, gak usah dipikirin. Atau, kalau kamu masih bersikeras ingin membayar uang martabak, gimana kalau bayarnya dengan traktiran selanjutnya saja?" tutur Dewi memberi ide.
Rania tersenyum tipis. "Oke, kalau gitu. Nanti, kalau kita makan-makan lagi, biar aku yang bayar, ya?"
"Siap!" sahut Dewi sambil mengacungkan jempolnya.
Langkah kaki, mereka lanjutkan menuju rumah yang letaknya setelah satu belokan di depan.
Sepanjang jalan, Dewi bercengkrama dengan si kembar terutama dengan Kisha. Meski Rania berusaha untuk menepis perasaan sedih dalam hati dengan ikut nimbrung terutama menyahuti candaan Dewi, namun di sudut hati Rania yang paling dalam, perih luka lamanya terasa.
"Jalan-jalan malam bu Dewi?" sapa seorang laki-laki yang berpapasan dengan mereka.
"Eh, pak Bagas. Iya, pak. Saya abis nganter keponakan-keponakan jajan di depan komplek. Bapak mau ke mana? Itu si kecil Anya, kenapa pak? Sakit?" tanya Dewi membalas sapaan lelaki itu.
Di depan Rania berdiri seorang laki-laki seusianya tengah menggendong seorang anak perempuan. Sekilas dalam hati Rania menebak usia anak perempuan itu mungkin sama dengan usia si kembar.
"Oh, biasalah kalau saya baru pulang kerja memang begini. Anya pengen dibeliin pisang saba goreng di depan komplek. Mari, bu Dewi, mba!" sahut lelaki yang bernama pak Bagas lantas pamit pada Dewi dan Rania.
"Iya, mangga pak. Silakan," jawab Dewi membalas pak Bagas sambil sedikit menganggukkan kepala tanda bersikap sopan.
Rania mengangguk tipis. Senyumannya tak lebih dari senyuman miris. Beruntung pencahayaan di jalan sangat minim, sehingga goresan senyuman Rania tak terkesan sinis di mata si bapak.
Nyeri. Pemandangan seperti itu selalu saja membuat relung hatinya seolah tercabik. Tapi berusaha tak ditampakkan oleh Rania.
Namun, sayang sekali. Saat ia berhasil menyembunyikan rasa nyeri itu, tidak bagi kedua buah hatinya. Mereka malah menatap nanar kepergian pak Bagas.
Seolah mengerti sebagai seorang ibu yang memiliki naluri dan ikatan batin terhadap anak-anaknya, Rania mengerti arti tatapan mata mereka itu.
"Ayo, ayo kita cepat pulang. Udaranya semakin dingin nih!" titah Rania mengalihkan suasana agar tidak lebih terhanyut dalam kesedihan.
Bergegas Rania membuyarkan tatapan kedua bocah itu. Mereka lantas menuruti ucapan bundanya dan berjalan tanpa sepatah kata lagi.
Dewi yang memerhatikan perubahan air muka si kembar berusaha menghidupkan kembali suasana ceria di antara mereka. Ia melontarkan beberapa tebak-tebakkan yang berujung pada gelak tawa. Sesekali ekor matanya melirik sekilas pada wajah Rania. Ia yakin, saat ini suasana Rania sedang tidak baik-baik saja.
"Alhamdulillah... akhirnya kita sampai juga di rumah tercinta. Ayo masuk!"
"Bunda...Lili ngantuk."
"Kiki juga kayaknya ikutan ngantuk. Tidur yuk, bunda!"
Kedua bocah itu menguap hampir bersamaan saat mereka sudah masuk ke dalam rumah.
Bukan berarti mereka kembar, lantas mereka mengantuk secara bersamaan. Pernah Rania mendengar teori pantulan cermin otak. Saat seseorang melihat orang lain menguap, maka secara otomatis syaraf otak mengirimkan sinyal dan memantulkan perintah agar menguap juga. Jadi, bukan lantaran karena kembar, lantas mereka digambarkan menguap bersama, tapi memang otak manusia merespon dan dapat meniru kelakuan yang dilihat oleh mata.
Rania bergegas mengurusi mereka. Mengantar mereka ke kamar mandi untuk kebiasaan baik sebelum beranjak tidur. Membuang air kecil, menggosok gigi dan mencuci kaki tangan mereka.
Setelah beres, Rania mengantarkan mereka naik ke atas ranjang. Mengusap-usap punggung mereka agar tertidur lelap.
Tak perlu waktu lama, mereka pun akhirnya tertidur nyenyak.
Rania tak beranjak dari tempatnya. Ia menatap kedua buah hatinya dengan tatapan nyeri. Entah sampai kapan, Rania memendam perasaan sakitnya tanpa berusaha mengobati.
Orang bilang, waktu dapat menyembuhkan, tapi tidak bagi Rania. Rasa sakitnya semakin menggumpal seiring detik jarum jam berjalan.
"Ran... boleh aku masuk?"
Dewi mengetuk pintu pelan. Ia tak mau si kembar terganggu tidurnya lalu bangun dan rewel.
Rania mengangguk.
Dewi mendekati Rania. Ia duduk di sisi ranjang dekat Rania.
"Ran... boleh aku nanya sesuatu sama kamu?"
Rania mengangguk pelan. Ia masih mengusap lembut dahi Kisha.
"Apa kamu gak ada pikiran untuk menikah lagi? Menikahlah demi anak-anak. Kasihan mereka masih kecil. Mereka masih butuh sosok ayah di hidup mereka."
Telinga Rania panas. Bukan sekali atau dua kali dirinya mendapat nasihat seperti itu. Sang ibunda --bu Ayu-- pun mengatakan demikian.
"Kamu... apa gak mau balikan dengan--"
"TIDAK! Aku tidak akan pernah melihat pilihan itu! Aku menganggap dia sudah mati!" sela Rania tegas.
Dewi menghela napas berat.
"Baiklah...tapi apakah tidak ada niatan membuka hati untuk laki-laki lain? Cobalah, Ran... demi anak-anak," bujuk Dewi.
"Tidak! Ini bukan keegoisanku tapi ini keputusanku. Pertanyaanmu kujawab dengan pernyataanku. Aku tidak mau mengenal laki-laki lagi. Titik!"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 39 Episodes
Comments
Deriana Satali
Jangan egois Rania kasian anak2mu masih kecil masih membutuhkan figur Ayah
2022-12-22
1
Cute Mommy
Plis thor, hadirkan cinta tulus buat Rania, kasian anak-anak 😭
2022-12-21
0