Perjanjian Pernikahan

Perjanjian Pernikahan

Pergi Merantau

"Apa kamu sudah bulat dengan keputusanmu, Nia? Mama sangat khawatir kamu akan kerepotan di sana. Mama takut kamu kesulitan ngurusin kembar."

Sang mama memasang wajah cemas dan tak yakin pada putrinya. Berbeda dengan sang putri, ia sangat yakin dengan keputusan untuk pergi dari kota kelahirannya.

Salah satu bukti kesiapannya adalah dengan dua koper dan satu tas ransel yang sudah siap terisi oleh semua baju dan keperluan mereka, Rania dan kedua buah hatinya.

"Mama gak usah khawatir. Aku bisa kok menjaga anak-anak. Semua sudah kupikirkan. Mama tenang aja, ya?" Sang anak berusaha meyakinkan sang mama agar bisa melepas dirinya pergi.

"Baiklah, kalau keputusanmu sudah bulat. Kamu hati-hati ya, di sana. Ingat, jaga kesehatan dan jangan sampai teledor mengurusi si kembar. Kabari Mama kalau kamu mengalami kesulitan. Mama akan langsung berangkat mendatangimu."

Ucapan wanita paruh baya itu penuh kecemasan. Setengah hati menerima keputusan anak semata wayangnya.

Tak hanya karena putri satu-satunya dan dikarenakan sang mama tinggal sendiri di kita kelahiran, melainkan karena keputusan sang anak didasari oleh kemarahan yang menggebu atas tragedi di pernikahan sang anak.

"Iya Mama. Nia pasti akan selalu mengabari Mama. Kita bisa saling menghubungi. Anak-anak juga gak, akan merasa jauh dari nenek mereka."

Sekali lagi sang anak meyakinkan ibundanya.

"Kalau begitu, Nia pamit sekarang ya, Ma? Taxi Nia sudah tiba di depan. Anak-anak juga sudah siap."

Sang mama menatap pilu wajah sang anak.

"Biar Mama yang bawakan kopermu dan Kisha, Sayang. Kamu gandeng saja tangan Lisha," perintah sang mama.

Perempuan bernama Nia pun patuh. Ia lantas menggamit tangan salah satu anak kembarnya dan menggendong tas ransel miliknya ke bahu kirinya.

Mereka berempat berjalan keluar dari rumah.

Sebuah mobil sedan berwarna biru dengan tulisan "Taksi" di atasnya sudah terparkir rapi. Seorang laki-laki berseragam biru pun keluar dari pintu depan.

"Biar saya yang bawakan, Bu!"

Wanita paruh baya itu pun merelakan koper yang ia bawa diambil alih oleh lelaki itu yang diketahui adalah supir dari taksi tersebut.

"Ma, Nia berangkat sekarang ya? Mama jaga diri baik-baik di sini. Jangan terlalu banyak pikiran. Nia dan anak-anak pasti baik-baik saja di tempat baru," ujar Nia sambil memeluk mamanya.

Tak kuasa menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata, sang mama seketika terisak kecil melepas buah hatinya.

"Kamu juga ... jaga diri baik-baik. Jaga cucu-cucu Mama," ujarnya sambil mengelus lembut punggung Nia.

"Kisha, Lisha, ayo pamitan dengan Oma, nak!" perintah Nia pada kedua buah hatinya.

Bocah kecil berusia lima tahun tersebut langsung mengikuti perintah mamanya. Mereka mendekati ibu Ayu --sang nenek-- sambil mencium tangan wanita tersebut.

"Oma, Lili berangkat dulu ya," pamit si anak pertama.

"Iya, Oma. Kiki juga ikut berangkat sama Bunda dan Lili, ya?" celoteh anak kedua menyusul.

Tak kuasa menahan rindu yang sudah tercipta bahkan sebelum mereka semua pergi, Bu Ayu seketika merengkuh kedua bocah tersebut dalam pelukannya.

"Oma pasti bakalan kangen banget sama kalian. Kalian jangan lupa telepon Oma terus ya? Jangan nakal ya, di sana. Harus saling menjaga satu sama lain!"

"Siap Oma! Lili pasti bakal telepon Oma kalau Lili kangen sama Oma."

Ibu Ayu tersenyum bangga. Ia sangat sayang pada kedua cucunya tersebut. Sejak bayi merah, ia yang membantu Nia mengurus keduanya. Hingga detik karamnya kapal pernikahan Nia, Bu Ayu tegar mendampingi Nia.

"Ya sudah, ayo masuk ke dalam mobil. Biar Oma bukakan pintunya untuk kalian," ujar Bu Ayu setelah menciun kening kedua bocah tersebut.

"Kiki mau duduk di depan Oma!" seru anak yang bernama Kisha.

"Baik ... Oma bukakan untuk Kiki. Oh iya, Lili mau duduk di depan juga?" tanya Bu Ayu menawarkan tempat duduk yang sama pada Lisha.

"Enggak Oma! Lili mau bobo di pangkuan Bunda. Lili duduk di belakang aja sama Bunda," jawab Lisha.

"Siap! Oma buka pintu belakang ya?"

Anak bernama Lisha kegirangan dan langsung berlari memasuki taxy.

Kini tinggal Bu Ayu dan Nia yang masih di luar mobil.

"Ma, aku pamit."

"Iya Sayang ... Mama doakan, supaya kamu bisa lebih baik dan berhasil di tempat baru. Jangan ingat lagi lukamu. Sembuhkan luka hatimu di tempat baru."

Nia mengangguk pelan, lalu mencium tangan ibundanya.

Nia melambaikan tangan sebelum memasuki mobil taksi tersebut.

Tak lama kemudian, mobil pun mulai melaju. Nia menatap lurus ke arah jendela samping tempat duduknya.

Matanya nanar menatap jalanan yang bergerak mundur meninggalkannya atau memang ia yang berjalan maju meninggalkan segala kenangan dari kota itu.

Kenangan indah semasa kecilnya bersama sang bunda dan almarhum ayah tercinta, hingga kenangan buruk pernikahannya bersama mantan suaminya.

Keputusannya pindah kota tentu saja untuk mencari suasana baru agar luka hatinya bisa lebih baik meski tak akan pernah bisa terobati seutuhnya. Sebuah keputusan yang tidak mudah.

Setidaknya, ia melakukan itu semua demi melindungi anak-anaknya tercinta. Menjauhkan anak-anaknya dari efek buruk sang mantan suami.

Meski ia harus mengambil konsekuensi besar yakni hidup berjauhan dengan sang bunda dan harus bertahan hidup bersama kedua buah hatinya.

"Bunda ... kenapa menangis?"

Rupanya sejak tadi bocah yang duduk di samping Nia memerhatikan wajah sang bunda.

Nia bergegas menyapu kedua pipinya. Ia tak ingin buah hatinya bertanya lebih dalam alasan dirinya menangis.

"Bunda gak nangis sayang ... Bunda hanya sedikit sedih karena harus meninggalkan Oma sendirian," jawab Nia sekenanya.

"Oh begitu ya bunda. Memangnya, kenapa Bunda gak ajak Oma pindah juga bersama kita? Kalau begini 'kan, Oma juga pasti sedih berpisah sama Bunda," ujar bocah itu balik bertanya.

"Iya, Bunda! Kenapa Oma gak ikut kita pindah ke kota baru? Biar di rumah baru nanti, kita bisa sama-sama terus. Oma juga gak akan kesepian," sambar sang anak yang duduk di kursi depan.

Nia tersenyum lembut sambil mengusap penuh sayang pada anak di sebelahnya.

"Oma gak bisa ikut dengan kita, Nak."

"Memangnya kenapa Oma gak bisa ikut kita?" tanya Kiki lagi penasaran.

Nia memutar otaknya untuk mencari jawaban yang tak berujung pertanyaan lagi. Anaknya yang bernama Kisha memang sedikit kritis dalam berpikir.

"Oma harus menjaga rumah Opa di sana. Kalau Oma ikut kita, nanti, siapa yang akan menjaga rumah Opa? Barang-barang opa 'kan masih banyak di rumah itu!"

"Oh, iya ya, Bun. Kalau begitu Oma jangan ikut kita. Biar Oma tetap di sana jagain barang-barang Opa. Takut nanti ada maling yang masuk ke rumah! Hiyy... Serem!" seru Lisha berlakon bergidik seolah ketakutan.

Dan celotehan pun berlanjut, namun tidak lagi mempertanyakan perihal alasan Nia pindah dan alasan mengapa sang nenek tak diikutsertakan.

Kedua bocah itu berceloteh tentang pemandangan yang ia lihat dari balik jendela. Nia pun ikut nimbrung dalam obrolan. Seketika terlupa kesedihannya meninggalkan kota kelahiran. Dan berfokus pada perjalanannya merantau ke kota baru.

Terpopuler

Comments

Zay

Zay

ninggalin jejak dulu

2022-12-23

0

Cute Mommy

Cute Mommy

karya baru lagi, kayaknya seru, ninggalin sendal dulu.

2022-12-18

0

Deriana Satali

Deriana Satali

Nyimak dulu

2022-12-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!