Bab 4. Perdebatan.

"Bu, Riah!"

Tanpa ragu Riah berhenti ketika ada suara seseorang yang memanggil namanya dari sebuah rumah yang ia lewati. Suara yang cukup familiar dan orang yang ia hormati.

"Iya, Bu Farah?" balas Riah tersenyum hangat.

"Begini lo, Bu Riah ... lusa 'kan, saya ada acara pengajian di rumah Pak Camat. Nah rencananya, besok Johar sama anak dan istrinya, ternyata mau datang. Kira-kira, Anis mau nggak, ya? Bantu menantu saya, di rumah jagain bayinya? Soalnya, Mina nggak ada temannya. Mau saya ajak ke acara, takutnya anaknya rewel. Jadi, Mina minta tinggal di rumah sama Anis, katanya."

"Dia memang nggak sibuk sih, Bu. Tapi, saya nggak bisa mengiyakan. Mungkin Bu Farah, bisa tanyakan langsung sama Anis!"

"Anis-nya ada di rumah, Bu?"

"Iya Bu."

"Bisa temenin saya sebentar menemui Anis, Bu Riah?"

Riah terdiam sejenak, ia sedang berpikir. Apakah ia tidak akan telat masuk kerja, jika kembali ke rumah? Namun, menolak pun ia segan. Sebab, Bu Farah adalah orang yang selalu membantunya dalam hal keuangan atau bantuan apa pun itu. Tidak pantas rasanya jika ia menolak hanya untuk sekedar menenani menemui Anis.

"Mari, Bu Farah!"

Riah dan Farah berjalan beriringan sembari bicara ringan tentang kelulusan Anis.

"Gimana Bu Riah, apa kemarin Anis lulus?"

"Alhamdulillah, walau tidak juara kelas, tapi dia lulus, Bu."

"Alhamdulillah. Apa Anis, akan masuk kuliah, Bu?"

"Nggak, Bu. Kata Anis, dia maunya langsung kerja."

"Kuliah sambil kerja 'kan, bisa, Bu?"

"Anis-nya nggak mau, Bu."

"Wah .., sayang sekali ya, Bu. Padahal semisalnya Anis kuliah, dia 'kan, bisa bekerja di perusahaan besar. Siapa tahu nanti hidup kalian bisa lebih nyaman dari sekarang, karena Anis bisa bekerja di perusahaan."

"Entahlah, Bu. Saya tidak berani terlalu berharap. Tapi, kuliah itu perlu uang yang banyak, Bu! Sementara hidup kami masih banyak kekurangan! Pas-pasan! Nggak punya hutang saja sudah untung, dari pada nambah hutang buat kuliah."

Farah mengangguk pelan, ia tidak mau terlalu mengikuti urusan pribadi orang lain. Tidak terasa mereka sudah sampai di depan rumah peninggalan suami Riah.

"Mari, Bu Farah!" Riah berbasa basi sebelum membukakan pintu rumahnya.

Betapa terkejutnya Riah, ketika ia membuka pintu. Hal pertama yang ia lihat adalah pemandangan tidak senonoh dari anak tetangga dan anaknya sendiri.

"I--Ibu."

"Kalian," geram Riah menatap marah pada sepasang manusia itu.

"Ada apa, Bu Riah."

...🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁...

"Saya ingin anak saya dinikahkan hari ini juga, Pak!"

Mendadak suasana menjadi hening. Raungan kemarahan Susan langsung lenyap bersamaan menatap Riah tak percaya. Semua mata melirik objek yang sama, sedangkan sang objek hanya melihat Anis tak berkedip.

Pak Rt selaku ketua warga, segera membubarkan para tetangga yang mulai bergunjing. Bu Farah mengajak kedua pasang ibu dan anak itu untuk duduk agar bisa mengontrol emosi mereka.

"Mereka terlalu muda jika dinikahkan sekarang, Bu Riah! Masih banyak impian yang belum Bima, capai," ujar Susan serius memecah keheningan.

Riah meradang mendengar penuturan itu. Apa hanya Bima yang belum mencapai impiannya? Oh, tidak! Anis pun demikian. Akan tetapi, demi mempertanggung jawabkan perbuatan keduanya, juga mencegah hal-hal yang tidak diingini dikemudian hari.

Riah ingin mereka bersikap dewasa dan mengambil pelajaran besar. Bahwa setiap suatu perbuatan itu, pasti ada resikonya yang menunggunya.

"Apa bedanya jika mereka menikah sekarang? Tidak ada larangan bagi Bima untuk berusaha mencapai sesuatu setelah mereka menikah! Dia masih bisa mengejar apa yang dia inginkan, meski harus menikah sekarang," balas Riah tegas.

"Tapi beban Bima, akan bertambah! Sementara mentalnya belum siap!"

"Kalau belum siap? Kenapa dia bisa sampai melewati batasan seperti tadi? Harusnya Bima berpikir dua kali!"

"Itu karena Anis tidak becus dalam menjaga diri. Harusnya dia tidak membiarkan lelaki menjamah dirinya!"

Anis tertunduk dalam bersamaan Bima yang juga tertunduk. Riah semakin marah dan mengepalkan kedua tangan di atas pangkuannya.

"Anis menang salah! Tapi, sebagai seorang laki-laki, Bima harusnya tahu ... kalau dia tidak boleh datang ke rumah perempuan yang hanya ditinggal sendiri!" Tunjuk Riah kepada Bima.

"Itu hal yang biasa bagi anak muda seperti mereka, jadi jangan salahkan Bima!"

"Justru karena hal biasa itulah, awal dari gugurnya sebuah kehormatan seorang wanita," ujar Riah sambil menghentakkan tangan ke atas meja. "Jika hal itu terus dibiarkan tanpa pengawasan dari kita ... bukan tidak mungkin, jika mereka akan melakukan sesuatu yang merugikan diri mereka sendiri!"

Pak Rt dan istrinya hanya terdiam tanpa bisa menyela bertebaran di antara Riah dan Susan.

"Tapi mereka tidak sampai melakukan hal seperti itu! Jadi, mereka tidak perlu harus sampai menikah!"

"Mereka tetap harus menikah! Karena harga diri Anis sudah diinjak-injak oleh Bima."

"Harga diri apa maksud kamu? Anis sendiri yang dengan suka rela membiarkan Bima, menciumnya!"

"Sudah saya katakan! Jika semua itu tidak akan terjadi, seandainya Bima tidak datang ke rumah saya!"

"Itu kar---."

"Tenang Ibu-Ibu! Kita bicarakan baik-baik," Pak Rt memotong cepat.

Pembicaraan antara kedua wanita itu tidak akan pernah ada habisnya dan menemukan titik temu.

"Sebaiknya Bu Susan hubungi Pak Daris, dulu! Biar beliau tahu! Siapa tahu beliau punya solusi untuk masalah ini!"

"Solusi apa, Pak Rt? Solusinya sudah jelas! Kalau mereka tidak perlu dinikahkan!"

"Saya mau mereka tetap menikah!"

"Saya tidak setuju!"

Pak Rt menghela napas panjang, ia dan istrinya saling lirik kebingungan. Bima dan Anis masih menunduk malu. Sama sekali tidak berani mengeluarkan pendapat yang akan membuat suasana bertambah kacau.

"Mereka harus menikah, Bu Susan!"

"Nggak perlu!"

"Berhenti!" pangkas Pak Rt tegas.

"Sebaiknya Bu Susan dan Nak Bima, pulang saja dulu! Kita tunggu sampai Pak Daris datang!" ujarnya tegas, "Nak Bima. Tolong nanti hubungi Bapakmu!" imbuhnya beralih menatap Bima.

Bima mendongkak dan mengangguk lemah. Dengan sedikit paksaan dari Bima, Susan berlalu sambil menekuk wajah kesal. Pak Rt meminta mereka berkumpul kembali di sore hari.

"Ibu benar-benar kecewa sama kamu, Anis!"

Saat ini Anis hanya tinggal berdua dengan ibunya. Setelah kejadian tadi, Riah tidak jadi bekerja dan meminta ijin bapa atasannya.

"Bu ... Anis minta maaf!" pecah sudah tangis Anis sambil berlutut di depan Riah.

"Mungkin Ibu akan memaafkan kamu, tapi tidak dengan Bapakmu!"

Anis semakin terisak dan segukan ketika disindir tentang ayahnya. Ia teringat tentang nasehat yang ia berikan kepada Bima tempo hari. Tentang dampak dari resiko perbuatan mencoret-coret baju, dan itu merugikan diri sendiri.

Ternyata begitu mudah ia menasehati orang lain. Akan tetapi, ia tidak bisa menerapkannya pada diri sendiri. Seharusnya ia menasehati diri sendiri lebih dulu, barulah orang lain.

"Bodoh kamu, Anis. Cinta membuat kamu, berpikiran pendek!"

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!