Bahagia (Tanpa) Denganmu

Bahagia (Tanpa) Denganmu

Bab 1. Cinta.

"Goolll!"

Sorak sorai dari anak remaja di tengah lapangan berumput dengan sedikit penonton seusia mereka dan beberapa orang dewasa, seketika mencuri perhatian seorang gadis yang duduk sendiri di kursi bawah pohon tidak jauh dari lapangan tersebut, sambil asyik menulis sesuatu. Seragam putih abu-abu masih melekat di tubuh kecilnya.

Namun, perhatian itu hanya berlangsung seperkian detik. Sebab, ia memilih kembali menunduk dan melanjutkan kegiatan mencoret-coret kertas yang ada di atas pangkuannya.

Sekekali teriakkan berupa ejekan atau pun seperti sebelumnya kembali terdengar, membuatnya tergelitik untuk mendongkak guna melihat kawanan anak kecil yang berlari sambil menggiring sebuah bola.

"Anis!"

Gadis berambut panjang dengan ekor kuda itu menoleh ketika ada yang meneriaki namanya. Seluas senyum tipis terbit di paras cantik Anis, seiring dengan pria yang berlari mendekatinya. Lelaki itu juga mengenakan seragam yang sama, tapi ada sesuatu hingga sedikit berbeda.

"Aku cariin ke mana-mana, ternyata kamu di sini," ucapnya dengan nafas terputus-putus dan dada naik turun. Detik berikutnya ia turut duduk di samping Anis.

Akan tetapi, respon yang ditunjukan Anis kali ini berbeda dari beberapa waktu sebelumnya. Ia mendelik, menatap kesal dan terang-terangan menunjukkan wajah tidak suka.

"Kenapa, sih?"

"Bima! Aku 'kan, kemarin udah bilang ... bajunya jangan sampai dicoret-coret, gitu!" sahut Anis ketus, "dari pada dicoret-coret, mending dikasih sama orang yang lebih membutuhkan!" imbuhnya menasehati, masih terselip nada kesal.

Gadis bernama lengkap Anisha Suhaidi, dengan latar belakang anak yatim dan terlahir dari keluarga tidak mampu itu sangat tahu betul bagaimana pentingnya sebuah seragam sekolah. Tidak seperti orang kaya, ia harus bersusah payah membantu sang ibu guna memilikinya.

Ya, tadi pagi ia baru saja menghadiri pengumuman kelulusan mereka. Anis yang tidak terlalu memiliki teman usai pulang sekolah, ia memutuskan menepi ke lapangan di sekitar rumahnya sambil menikmati waktu senggang. Ibunya pun setelah menerima rapor langsung pulang lebih dulu sebelum acara selesai. Sebab, ibunya harus kembali bekerja.

Kemarin ia sudah mewanti-wanti Bima, agar menjaga bajunya. Namun, apa yang ia lihat sekarang? Bima malah mengabaikan perkataannya tempo hari. Seandainya tidak dicoret, ia ingin menyumbangkan baju seragam sekolahnya bersamaan milik Bima untuk orang yang lebih membutuhkan. Dampak dari tindakan Bima tersebut sudah pasti merugikan diri sendiri. Selain itu, juga bisa berpengaruh dengan nama baik sekolah.

Bima adalah teman sekaligus tetangganya yang paling dekat dengannya, hanya saja nasib pria itu lebih mujur. Maka dari itu, ia tidak segan menegur dan memberi nasehat.

Sungguh disayangkan memang, jika anak negeri seperti kita masih mengembangkan pola pikir seperti Bima. Yang katanya, 'untuk kenang-kenangan semasa SMA, dan mengikuti budaya terdahulu', yakni dengan cara mencoret-coret baju seragam sekolah.

Hei! Itu bukanlah budaya yang baik dan benar ... tapi pemikiran yang sangat sempit serta kurangnya budi pekerti. Seharusnya kita sebagai generasi muda, memberikan contoh dan edukasi yang bermanfaat serta bisa dijadikan pedoman.

Masih banyak cara untuk mengungkapkan perasaan kita dikala itu. Salah satunya adalah mengisi buku khusus dengan tanda tangan teman-teman, atau bahkan meminta para guru untuk ikut serta mengisinya. Tidak lupa juga berfoto bersama sebagai kenang-kenangan.

Dilain kesempatan, kita bisa berkumpul dan berdiskusi untuk memberikan sumbangan berupa buku-buku bab dan seragam. Itu adalah sebuah tindakan yang akan selalu terkenang dalam memori kita. Nilai plusnya mendapatkan pahala jariyah.

"Hehe, maaf. Tadi nggak sempat nolak ajakan teman-teman, soalnya keburu disemprot mereka," kilah Bima sambil nyengir.

"Alasan," gumam Anis cemberut, "permintaan maaf kamu itu, sekarang tidak berguna lagi. Seharusnya nih, ya! Kamu bisa menolaknya dengan tegas, dan memikirkan apa yang sudah aku katakan sebelumnya!" cecar Anis tanpa menoleh. Sepasang matanya fokus memandang tangan mengukir kertas dengan pikiran yang terbagi di antara Bima dan buku gambar.

"Lagi gambar apa, nih?" pangkas Bima segera mengalihkan topik pembahasan.

"Kamu punya mata, bisa lihat sendiri 'kan?" ujarnya balik bertanya acuh tak acuh.

"Emm ... lagi gambar langit, gunung, punggung cowok, dan cewek," jawab Bima menyebutkan detail gambar ciptaan Anis.

Sebuah gambar berlatarkan langit dan pegunungan dengan bayangan seorang lelaki sambil menggendong tas punggung di salah satu bahunya, sementara di bagian bawah adalah gambar nyata dari bayangan sambil berjalan meninggalkan seorang gadis berambut tergerai.

"Kalau dilihat, kaya menggambarkan sebuah perpisahan," komentar Bima mengerutkan kening, "kok malah gambar gitu, sih?" lanjutnya bertanya keheranan. Tidak bisanya Anis menggambar seperti itu.

"Cowok ini adalah kamu. Dan cewek ini adalah aku," jawab Anis pelan, tiba-tiba suasana hatinya berubah pilu.

"Loh, kok gitu? Emang aku mau pergi ke mana?"

Anis menghela napas pelan, menghalau cairan bening yang mendadak muncul di sudut matanya. Ia masih mendengar jelas teriakan anak-anak bermain bola di tengah lapangan. Mendongkak menatap lurus ke depan, bukannya menjawab pertanyaan Bima, Anis malah terdiam sambil memperhatikan bola yang berpindah-pindah.

Bima membiarkan dan mengikuti arah pandang Anis, sambil menyandarkan punggung lebih dalam di sandaran kursi panjang tersebut. Diam-diam Anis mengusap sudut matanya tanpa sepengatuhaan Bima.

"Sebentar lagi kamu akan jadi mahasiswa di kota. Kita pasti akan jarang bertemu. Atau mungkin tidak bisa bertemu lagi," ungkap Anis memecahkan lamunan mereka.

"Khahaha," Bima tergelak, Anis langsung menoleh bingung.

"Kok ketawa?"

"Habisnya, kamu lucu," balas Bima sambil mengapit ujung hidung Anis.

"Iih, apanya yang lucu?" Anis menepis tangan Bima.

"Dengar ya, Anis sayang!"

Anis lekas berpaling ketika mendengar kata ajaib yang seharusnya hanya akan terlontar di antara sepasang kekasih, bukan seperti mereka.

"Kita itu bertetangga. Jadi, kita akan tetap ketemu kalau aku balik ke rumah," pipi Anis merona saat tangan lebar Bima mengacak pucuk kepalanya.

"Udah ah, aku mau balik. Sudah sore," ujar Anis bergegas membereskan alat tulisnya.

"Anis!" Bima menahan Anis yang sudah siap bangkit dari duduknya.

"Apa?" tuntut Anis penasaran.

Namun, rasa penasaran Anis mendadak lenyap dan berubah gugup ketika tangannya digenggam Bima lembut.

"Ada yang mau aku sampaikan," ujar Bima serius.

"Tentang apa?" tanya Anis pelan hampir tidak terdengar.

Sejak kecil sampai mereka besar, mereka selalu bermain dan belajar bersama. Seiringnya berjalannya waktu, tidak ada yang bisa mencegah perasaan tentang sesuatu yang tiba-tiba muncul di hati keduanya.

"Tentang perasaanku selama ini," jujur Bima sambil memiringkan tubuhnya menghadap Anis, kali ini ia menggenggam kedua tangan gadis tersebut.

Anis terdiam, menerka dalam pikirannya. Tanpa dikomando otaknya bekerja keras dan berputar-putar mencari jawaban yang sebenarnya, sebentar lagi pasti ia dapatkan. Ingin sekali ia menarik tangannya. Sebab, tangan itu bergetar dan berkeringat dingin, yang pastinya dirasakan oleh Bima.

Anis tersentak ketika Bima malah turun dari kursi dan berlutut di hadapannya.

"Bima, apa-apaan, sih? Buruan bangun!" panik Anis menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang melihat aksi Bima.

"Diam aja dan dengerin aku! Kamu cukup jawab pertanyaan aku nanti setelah mendengar semuanya! Oke?"

Bagaikan terkena hipnotis, Anis terdiam dan mengangguk patuh beberapa kali.

"Entah sejak kapan perasaan ini muncul? Tapi setiap kita bersama, perasaan ini semakin tumbuh dan semakin besar. Sudah lama ingin kusampaikan hal ini padamu, tapi aku selalu takut untuk melakukannya. Aku takut, jika perasaanku hanya berada dari sisiku ...," jeda Bima, sejak awal berlutur ia menatap tekat manik kecoklatan di depannya.

Tindakan itu membuat Anis salah tingkah. Bola matanya selalu bergerak menghindari tatapan seorang Abima Sanjaya.

"Anisha Suhaidi, apakah kamu juga mempunyai perasaan yang sama denganku? Perasaan ingin memiliki dan dimiliki? Perasaan ingin selalu bersama tanpa ada sekat di antara kita? Perasaan saling berbagi cerita apapun itu, asalkan tentang kita? Apakah pernah, kamu berpikir seperti itu?" rentetan pertanyaan semakin membuat degup Anis berdetak tak beraturan.

Lidahnya kelu, otaknya tak mampu mengurai pertanyaan guna memberikan jawaban yang semestinya. Ia bingung dan ingin berlari saja, menghindari pertanyaan sebanyak itu, walau sebenarnya mudah untuk di jawab dengan satu jawaban yang sama.

"Jawab, Anis!"

Terkesiap Anis, dan langsung tersadar dari lamunannya seorang.

"Jawab!" ulang Bima meminta.

"Duduk di atas dulu! Baru aku jawab," sahut Anis sambil berusaha melenyapkan atmosfir yang tidak mengenakkan.

Anis bernapas lega ketika Bima bangkit dan duduk lagi di sisinya. Seharusnya Bima tidak perlu melakukan hal konyol itu. Dengan duduk pun ia pasti akan mendengarkan apa yang mau disampaikan Bima.

"Jadi, apa jawabannya?"

"Jawabnya ... sama semua. Iya," ujar Anis menunduk dalam, menyembunyikan rona merah yang memang selalu muncul jika bersama Bima, tapi biasanya ia sangat baik dalam hal menyembunyikannya.

"Maksudnya?" tanya Bima pura-pura tidak mengerti.

"Tau ah, aku mau balik," ketus Anis menahan malu dan beranjak pergi meninggalkan Bima.

Tentu saja Bima langsung mengejar dan mensejajarkan langkah mereka. Tanpa aba-aba Bima merangkul bahu kecil Anis.

"Bima, apa-apaan sih? Nanti ada yang lihat, loh?" dorongan keras dari Anis sempat mengurai dekapan Bima dan berjarak.

Namun, dengan gerakan cepat, Anis kembali masuk dalam rangkulan tangan kekar Bima.

"Aku belum selesai ngomong loh, tadi. Aku baru bilang dan bertanya tentang perasaan kita. Tapi kamu malah nyelonong mau pergi," protes Bima memaksa mereka berhenti.

"Apa lagi sih? Buruan?" kesal Anis mati-matian menahan malu. Yang diperlukannya saat ini adalah menenggelamkan wajah di balik bantal guling.

"Kamu mau nggak, jadi pacar aku?" tanya Bima tanpa melepaskan bahu Anis.

Membuang muka ke sisi lain adalah hal yang bisa Anis lakukan saat ini. Ia menggerutu kesal di dalam hati. Setelah memberikan jawaban atas pertanyaan Bima, tapi lelaki itu belum bisa menarik kesimpulan atas apa yang sudah ia jawab. Kesal bukan main rasanya.

"Mau nggak?" bisik Bima, seketika membuat bulu-bulu halus Anis meremang.

"Jawab."

"Iya, mau," ujar Anis langsung berlari.

Bima terkekeh dan berlari mengejar Anis.

"Anis, I love you."

Anis semakin mempercepat larinya ketika mendengar pengakuan cinta dari teman semasa kecilnya tersebut. Keributan anak-anak yang tengah bermain bola menyamarkan kalimat itu. Ia samar mendengar tawa bahagia yang terselip dari bibir pria yang kini telah resmi menjadi kekasihnya. Tarikan dari sudut bibirnya pun tidak bisa ia hentikan sepanjang perjalanan menuju rumah mereka.

Bersambung ....

Hai semuanya! Mohon maaf kalau hiatusnya sangat lama. 🙏 Semoga kalian masih berkenan membaca karya baru saya! Jangan lupa tap Fv. dan bintang lima dipojok kiri atas. Tinggalkan jejak komentar berserta bonus gift nya. Hehehe. 😅 Untuk yang masih mau baca, saya ucapkan banyak-banyak terimakasih. 🙏 Semoga kalian sehat selalu. Salam sayang ....

Noormy 🤗

Terpopuler

Comments

🥀

🥀

i love you too Bima

hadir kak. nih jempol siap buat boom nya.

mampir mampir semua ke karya amatir mak_rohalus. amatir sekali. tapi siapa tau suka

2023-01-12

1

Imouto san

Imouto san

indahnya masa muda

2023-01-05

2

Adfazha

Adfazha

Dinda gk lanjut kak

2022-12-17

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!