"Kenapa sih? Kok dari tadi senyum-senyum, terus?"
Anis tersentak kecil dan langsung menoleh pada ibunya yang sedang menumpuk piring kotor usai mereka makan malam.
"Kan, Anis baru lulus sekolah, Bu. Jadi nggak salah 'kan, kalau Anis bahagia?" kilah Anis tersenyum lebar sambil mengambil alih piring kotor dari tangan sang ibu, dan membawanya ke tempat pencucian yang tidak jauh dari tempat makan.
Diam-diam Ania berusaha menahan senyum yang hendak muncul kembali. Ia tahu betul kenapa senyum itu selalu muncul walau pun tanpa diminta. Begitu sulit rasanya untuk mencegahnya. Ingatan tentang kejadian di lapangan sepak bola sudah tentu menjadi alasan utama senyum tersebut.
Bayangan dari mulai Bima berjongkok dan mengutarakan segala perasaannya, hingga pengakuan cintanya kepada Anis. Selalu melambai-lambai di pelupuk mata bagai sebuah rekaman video yang diputar berulang-ulang. Akan tetapi, Anis tidak ingin ibunya tahu. Ia merasa malu dan belum ingin berbagi cerita.
"Yakin ... cuman itu saja?"
"Iya Ibu, sayang. Cuman itu saja, kok," balasnya lembut sambil mencuci piring.
Di rumah sederhana seluas tujuh kali sembilan meter dengan dua buah kamar tidur itu, Anis hanya tinggal berdua dengan ibunya. Sariah, atau biasa dipanggil Riah, ibu dari Anis. Beliau seorang janda berusia empat puluh lima tahun yang ditinggal mati suaminya, karena tabrak lari ketika Anis masih kecil.
Riah bekerja di sebuah pabrik roti dengan jam kerja shift bergilir. Minggu ini Riah kebagian masuk shift siang. Maka dari itu, ketika ia menghadiri kelulusan Anis tadi pagi dan sudah menerima rapor, Riah pamit kepada putrinya untuk bekerja. Anis tentu mengerti akan hal itu, dan tidak masalah.
"Anis!"
"Ya, Bu?" tanya Anis.
"Ibu minta maaf ya, Nak! Karena tidak bisa menguliahkan, kamu," ujar Riah sendu.
"Nggak apa-apa kok, Bu. Malahan lebih bagus, Anis kerja cari uang. Jadi, kita punya banyak uang," sahut Anis semangat sambil mengelap piring basah yang sudah dicuci.
"Memangnya kamu yakin, mau kerja di tempat Ibu?"
"Iya, Bu. Mending kerja bareng Ibu. Besok Anis mau buat surat lamarannya."
"Ya sudah ... besok pagi Ibu temani kamu, minta surat dari puskesmas dulu. Kalau sekalian ke kantor polisi, mungkin nggak sempat. Jadi, surat dari kepolisian buatnya lusa saja! Sekarang Ibu, mau istrahat dulu. Dah ngantuk."
"Iya, Bu," Anis mengangguk dan membiarkan Riah pergi ke kamar untuk tidur, begitu juga dengan dirinya. Namun, bukannya tidur, Anis malah duduk di atas kasur sambil mencek ponselnya. Ada sebuah pesan dari seseorang yang namanya sudah ia rubah dengan sengaja sejak tadi sore.
Aein
"Sayang! Kamu sudah tidur?"
Anis tersenyum malu sambil menengkulupkan wajahnya di atas bantal, ketika membaca satu pesan yang masuk sejak lima menit lalu.
Masih dengan senyum, Anis mengetikkan beberapa kata untuk sang kekasih.
"Belum. Tadi habis cuci piring."
Tulis Anis dan langsung terkirim. Tidak lama kemudia, balasan pasan masuk.
"Aku kangen."
Tambah meronalah pipi Anis.
"Baru juga tadi sore ketemu. Masa kangen, sih?"
Detik berikutnya, ponsel Anis berdering. Anis terkesiap dan buru-buru menekan tombol mati. Ia menggigit bibir bawahnya ketika menyadari panggilan itu dari siapa.
Tidak ingin terulang lagi. Ia langsung mengubah nada panggilnya menjadi silent, dan benar saja. Panggilan kedua masuk dengan penelpon yang sama. Kamar yang bersisian membuat Anis, pergi keluar kamar menuju dapur.
"Halo," sapa Anis pelan.
"Kenapa dirijek?" todong di seberang kesal.
"Ibu lagi istrahat. Memangnya kenapa kamu, nelpon?"
"Pakai nanya, lagi," terdengar jelas jika di ujung telepon itu, Bima berdecak kesal, "aku serius kangen sama, kamu. Tapi kamu malah nggak percaya."
Untuk sekian kalinya, wajah Anis memerah malu. Akan tetapi, ia mendadak menjadi kikuk. Ia bingung harus menanggapi seperti apa? Ini sesuatu yang tidak biasa, dan ia baru pertama kali mengalaminya.
"Kok diam? Kamu masih di sana, kan?"
"Hah? Masih kok, masih," jawab Anis gugup.
"Jadi ... kamu kangen nggak sama, aku?"
"Emm ... enggak tuh," Anis menggigit bibir bawahnya.
Sebab, apa yang ia katakan sangat bertentangan dengan isi hatinya. Hanya saja ia malu untuk berterus terang, walau Bima tidak bisa melihat wajahnya.
"Sekarang kamu di mana?"
"Di dapur," jawab Anis jujur, "kenapa?" lanjutnya.
Anis mengerutkan kening, karena tidak mendengar suara Bima lagi. Ia menjauhkan ponsel dari daun kuping dan melihat layarnya guna memastikan, apakah panggilan itu sudah terputus.
"Halo, Bima ... kok diem?"
"Bukain pintunya!"
"Hah, pintu apa?" pekik Anis bingung.
"Ya, pintu ini."
Anis tersentak kaget dan gelabakan ketika mendengar pintu di ketuk dua kali seiring Bima meminta dibukakan pintu.
"Bima," pekik Anis tertahan ketika mendapati Bima di depan pintu sambil tersenyum lebar, "kamu apa-apaan, sih? Nanti ada yang lihat, gimana?" geramnya berbisik.
"Nggak akan ada yang lihat," jawabnya yakin.
Sebab, selain pencahayaan di rumah Anis tidak terlalu terang seperti di rumah tetangga. Pintu dapur Anis tepat berada di belakang yang tidak terjangkau oleh orang, kalau pun semisalnya ada seseorang yang lewat.
"Ayo, masuk!"
Anis membelalakkan mata mendengar Bima dengan lancangnya mengajak dirinya masuk ke dalam bagaikan tuan rumah.
"Bima, nanti ketahuan ibu," peringat Anis sambil berusaha menarik tangan yang digenggam Bima.
"Udah, diam aja!" bisik Bima membimbing Anis duduk di kursi makan.
Anis pasrah demi tidak mengundang perdepatan yang akan membangunkan ibunya. Entah kenapa hatinya juga berkata ingin bersamanya. Bima perlahan mendekatkan kursi mereka dengan posisi Anis menghadap meja, dan Bima menghadap kepadanya. Anis menunduk malu, karena rambutnya yang menjuntai disisipkan Bima ke belakang telinganya.
"Beneran nih, nggak kangen sama pacarnya?" goda Bima berbisik sambil tetap menggenggam tangan Anis.
Anis menggeleng dalam tunduknya, berusaha keras menyembunyikan senyum dan rona di pipi. Otaknya sedang tidak baik-baik saja, hingga ia berani mengambil langkah yang mungkin akan menjadi mala petaka. Membiarkan seorang lelaki memasuki rumah tanpa sepengetahuan ibunya.
Ia sedikit terkejut ketika dagunya diangkat dan di tarik pelan guna saling bertatapan. Namun, Anis langsung menundukkan pandang dengan senyum yang tidak bisa lagi dibendung.
"Kalau aku udah kuliah, kamu bakalan lama lo nggak lihat aku. Jadi, sekarang waktunya kamu, buat lihat aku sampai puas!"
Anis refleks mencibir, dan dalam hitungan detik, bibir bawah Anis sudah berada dalam mulut Bima. Udara yang tadinya dingin mendadak berubah panas hingga membakar seluruh tubuh.
Anis terpaku, pandangannya terbatas dan penuh dengan wajah Bima. Perlahan wajah lelaki itu menjauh seiring tarikan lembut di bibirnya.
Hening, keduanya beradu pandang tanpa satu kata yang terucap. Beberapa detik kemudian, Bima kembali mendekatkan wajahnya. Tanpa disuruh, Anis spontan menutup mata dan membuka sedikit mulutnya.
Ini adalah pemgalaman yang pertama bagi keduanya. Namun, bohong rasanya kalau mereka tidak tahu bagaiman orang berciuman. Di jaman moderen ini, hampir semua film indonesia yang mempertontonkan adegan ciuman. Bahkan, film luar negeri pun dengan beraninya menyelipkan adegan panas sebagai bumbu penasaran.
Bima menyesap pelan bibir bawah Anis yang sedikit tebal, sesekali ia menjulurkan lidahnya. Merasa ada balasan dari Anis, membuat satu tangan kokoh dengan jemari panjang berhiaskan bulu-bulu kecil seakan bergerak slow montion mendarat di belakang lehernya.
Keduanya terhanyut dalam sebuah kenikmatan dan semakin memperdalam ciuman. Sesuatu yang baru mereka rasakan seolah engan untuk dihentikan begitu saja.
Bunyi dentuman pintu yang keras membuat keduanya mengurai ciuman secara paksa, karena kaget. Keduanya langsung menoleh ke asal suara, seiring dengan panggilan sang ibu.
"Anis, kamu di dapur?"
"Iya Bu, Anis di dapur," jawabnya cepat.
"Bunyi apa itu?"
"Pintu Bu, ketiup angin. Tadi Anis lupa kunci."
"Ya sudah, cepat kunci pintunya dan langsung tidur!"
"Iya, Bu."
Anis bangkit dari duduknya dan langsung menarik Bima, membawanya keluar lewat pintu yang membawanya masuk.
"Yang, aku masih kangen," protes Bima tidak terima di dorong ke luar rumah.
"Ini udah malah. Nanti kamu dicariin mama, kamu."
"Ck, ini semua gara-gara angin," decak Bima kesal, "kenapa tadi aku lupa ngunci pintunya?" imbuhnya menggerutu.
"Eh, tunggu dulu," Bima menahan pintu yang hendak ditutup Anis.
"Apa lagi?"
"Cium dulu!" pintanya.
"Nggak! Tadi sud---."
Namun, tanpa meminta persetujuan Anis, Bima sudah lebih dulu membekap mulut Anis dengan mulutnya dan menghisap cepat.
"Bima," pekik Anis mendorong Bima dan langsung menutup pintu perlahan agar tidak terdengar.
Kembali ke dalam kamar, Anis tersenyum sambil mengusap-usap bibirnya. Tidak ada sedikit pun penyesalan yang ia tunjukan, bahkan walau mata itu terpejam. Malu memang sempat singgah, tapi rasa bahagianya lebih mendominasi.
...🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁🍁...
Pagi harinya ....
Seperti janji Riah tadi malam, pagi ini Anis akan pergi ke puskesmas guna melengkapi surat lamaran kerja yang akan dilampirkan dalam surat lamarannya. Usai sarapan mereka langsung menuju puskesmas yang terletak dekat kantor kecamatan.
Anis melewati rumah Bima dan berharap bisa melihat sang pemiliknya, walau pun hanya sekedar melambaikan tangan. Namun, apa yang diharapkan tidak sesuai keinginannya.
Setibanya di puskesmas, sudah terlihat beberapa orang yang hendak berobat. Riah duduk di kursi tunggu stanliss, sementara Anis menuju loket pendaftaran. Ia disuruh mengisi formulir sebelum diarahkan ke sebuah ruangan.
Setelah melakukan beberapa tes kesehatan, akhirnya Anis menerima surat yang mengatakan jika dirinya dinyatakan sehat secara jasmani.
"Nisha!"
Anis menoleh ketika mendengar suara berat dan dalam memanggil namanya saat ia baru saja keluar dari ruangan. Seorang lelaki bertubuh tinggi dan sedikit berisi melempar senyum ramah padanya, membuat Anis mau tak mau ikut membalas senyum tersebut.
"Mau minta surat keterangan sehat, ya?" tanya lelaki itu ketika sudah dekat dengannya.
Anis mengangguk membenarkan dan mengangkat surat di tangannya sebelum balas bertanya, "Kamu?"
"Aku juga sama," ujarnya, "kamu sama siapa?"
"Sama ibu."
Lelaki itu mengangguk mengerti.
"Aku duluan ya, Dafa," ijin Anis dan tentu saja tidak ada alasan bagi Dafa untuk menahannya.
"Hati-hati," pesan Dafa.
Anis terpaksa mengangkat sudut bibirnya sebagai tanggapan dan segera berlalu dari hadapan pria yang mempunya lubang di pipi kanannya ketika tersenyum tadi.
Bersambung ....
Keterangan :
Dalam bahasa Korea, 'Aein' berarti kekasih. Biasa digunakan baik pria maupun wanita.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
Imouto san
Dafa siapa, ya?
2023-01-05
2