Bab 3. Menegangkan.

"Dari mana, Tante?"

Pertanyaan itu sempat membuat Anis terkejut ketika melewati rumah Bima dan langsung melirik ke asal suara, walau sebenarnya ia tahu betul siapa pemilik suara tersebut.

"Eh, Bima. Tante habis temenin Anis, ke puskesmas," tanggap Riah.

Anis menggigit bibir bawahnya sambil diam-diam memperhatikan ibu dan Bima.

"Lo ... Anis sakit, Tante?" dengan gerakan cepat, Bima membuka pagar rumahnya begitu saja dan kini sudah berdiri di samping Anis. Tanpa aba-aba tangan kokohnya mendarat di permukaan kening Anis.

Anis terkesiap dan membatu, menatap Bima tanpa berkedip.

"Anis nggak sakit kok, Bim. Tadi Anis minta surat keterangan sehat, buat lamaran kerja," jawab Riah buru-buru.

"Kamu mau kerja?" tanya Bima sambil menarik tangannya.

Anis hanya mengangguk tanpa menjawab. Sebab, lidahnya kelu, bayangan kejadian tadi malam seketika muncul dan membuatnya ketakutan jika ketahuan ibunya.

Aneh menang, seharusnya perasaan takut itu muncul tadi malam, tapi kenapa malah datang sekarang? Mungkin itu yang dinamakan 'cinta tak ada logika', seperti sebuah lagu yang dinyanyikan seorang penyanyi terkenal.

"Ya sudah ya, Nak Bima. Tante mau kerja dulu," pamit Riah.

"Iya, Tante. Hati-hati," pesan Bima sambil.

"Ayo, Anis!"

Bima masih betah berdiri di tempatnya berpijak sambil memperhatikan ibu dan anak itu menuju rumah.

Kedua wanita berbeda generasi itu kemudian berpisah di depan halaman. Riah terus berjalan, karena akan bekerja. Sementara itu, Anis masuk ke dalam rumah. Sebelum Anis benar-benar masuk dan menutup pintu, Bima sudah berlari menghampirinya.

"Sayang!"

"Bima?" pekik Anis terkejut, "ngapain?"

"Ya ketemu, kamulah," balas Bima sambil masuk ke dalam rumah melewati Anis.

"Udah ketemu 'kan? Mending pulang, gih!" usirnya masih berdiri di dekat pintu.

Bima berbalik mendekati Anis. Menatap lembut sepasang bola mata kecoklatan yang mulai bergerak-gerak gelisah, ketika ia mengikis jarak yang terbentang di antara mereka. Mendesak Anis hingga perlahan berjalan mundur.

Diam-diam Bima sudah memegang ganggang pintu, dan menutupnya seakan gerakan slow montion seiring dengan Anis yang terpojok ke dinding.

"Ma--mau ngapain?"

Anis mendadak gugup dan kaku. Kedua tangannya spontan terangkat menahan dada bidang Bima yang semakin merapatkan diri menggunakan punggung tangan.

Dari jarak sedekat itu, dan menyanggah langsung dada kokoh Bima. Anis dapat merasakan debaran jantung sang kekasih yang tak seirama. Bukan hanya degup jantung Bima, jantungnya pun semakin tak terkontrol detaknya.

"Pacar kok, diusir. Emang kamu nggak mau aku cium, lagi?"

Bulu-bulu halus Anis meremang, ketika Bima berbisik dan napasnya menerpa daun telinga.

"Apa-apaan sih, Bima? Jangan kaya gini! Aku nggak nyaman," ujarnya malu-malu, karena diingatkan tentang ciuman tadi malam.

"Masa sih? Tapi kayanya ... tadi malam ada yang, keenakan," goda Bima sambil menjawil dagu Anis.

Anis merona dan tersipu malu. Ia terlonjat kaget, ketika mendadak satu tangan Bima memeluk pinggangnya. Ia menjerit di dalam hati. Hatinya ingin sekali menolak, mendorong, memaki dan mengusir Bima agar pergi dari rumahnya.

Namun, tubuhnya berkata lain. Tubuhnya menuntut, meminta agar Bima mengeratkan pelukan mereka. Atau bahkan mencoba mengulang kejadian tadi malam.

"Bi--Bima ... lepasin!" pintanya lirih sambil menunduk dalam.

"Yakin?" Bima menahan dagu itu agar tetap mendongkak padanya. Ia semakin senang melihat pipi merah muda tersebut.

Lantas lima jemari itu menangkup pipi Anis yang terasa panas. Perlahan bergerak mengusap lembut, dan ibu jarinya merayap ke arah bibir bawah Anis.

"Boleh, kah?" Bima meminta ijin.

Kalau mungkin pikiran Anis dalam keadaan baik-baik saja. Mungkin tangannya sudah mendarat di kening lelaki itu, untuk mengingatkan. Jika tadi malam, tidak ada terucap permintaan ijin seperti itu dari mulutnya.

"Emm?"

Anis mengangguk malu-malu. Sebab, bukan hanya Bima yang menginginkannya, namun dirinya pun demikian. Sepasang kelopak mata berbulu lentik dan panjang, tanpa diminta sudah terpejam sempurna.

Dengan degup jantung dan perasaan gembira, Bima langsung mendekatkan wajah mereka tanpa keraguan. Sesuatu yang kenyal dan hangat kini sudah mereka rasakan. Detik berlanjut, sesapan pun saling bertukar bersamaan.

Sepasang tangan Anis kini sudah berpindah dan memegang erat baju kaus di kedua sisi pinggang Bima, membuat lelaki itu turut menekan pinggang juga leher Anis semakin dalam.

Akan tetapi, kesenangan dan kenikmatan itu hanya bersifat sementara lantas melebur hancur musnah tak tersisa, ketika daun pintu di samping mereka terbuka setengah.

Mendadak tubuh keduanya bergetar. Hawa panas menjalar dari ubun-ubun hingga ujung kaki. Akal hilang tak terkendali, membuat tubuh terasa melayang tak sanggup berdiri.

Wajah putih sepasang manusia yang baru saja terlena oleh rayuan setan itu, tiba-tiba berubah pucat bak tak bernyawa.

Seakan ditarik paksa dari jurang terdalam, kemudian dilempar kembali hingga sulit untuk berkata-kata.

"I--Ibu," Anis tergagap menatap sosok wanita yang sudah mengandung dan rela berkorban nyawa guna melahirkannya.

"Kalian," geram Riah melirik tajam bergantian.

"Ada apa, Bu Riah?"

Keduanya terkesiap ketika mengetahui bahwa ada sosok lain di belakang Riah, dan kini orang itu menatap mereka terkejut.

"Sedang apa kalian berduan di rumah ini?"

"Ka--kami ...."

Susah payah Bima menelan ludah seakan tenggorokannya sedang terganjal beberapa batu kerikil.

"Kalian pasti sedang berbuat hal tidak senonoh!" tuduh orang itu menohok.

"Biar saya panggil ibu kamu, Bima!" ujarnya berbalik cepat.

"Bu--Bu Rt!" panik Bima ingin mengejar.

"Berhenti kamu di situ!" cegat Riah dingin dengan tatapan yang tidak bersahabat.

Tidak mampu menolak, Bima pun terdiam menunduk takut, begitu juga Anis. Selang lima menit kemudian, Ibu Rt datang lagi bersama seorang wanita berusia empat puluh enam tahun sambil menahan marah.

"Bima!"

Suara wanita itu menggema di depan rumah sederhana sepasang ibu dan anak tersebut, hingga terdengar sampai ke rumah tetangga. Seketika mencuri rasa keinginan tahuan orang-orang di sekitarnya.

"Ma---," ujar Bima berkali-kali lipat masuk dalam kubangan kepanikan dan ketakutan.

"Anak tidak tahu diuntung! Bikin malu orang! Kamu sudah mencoreng muka, Mama," amuk wanita yang tidak lain ialah ibu Bima.

Wanita itu mengambil sebuah sapu yang tidak jauh darinya, dan langsung mendaratkan pukulan bertubi-tubi di punggung putranya. Tidak ada pembelaan atau pun perlawanan, Bima menerima semuanya pasrah dan tak berdaya.

Di sisi lain, cairan bening berjatuhan membasahi pipi Anis, bersamaan ia menatap Bima prihatin. Ia melirik Riah yang ternyata juga melihat ke arahnya. Terlihat jelas jika ibunya itu marah dan kecewa. Ia tahu, rasa bersalah maupun penyesalan tidak akan mampu merubah keadaan.

Bahkan, kata maaf pun ia ragu jika ibunya itu akan menerima. Semua yang terjadi hari ini hanya menyisakan sesal yang mendarah daging, serta luka untuk ibunya juga orang tua Bima.

Anis tahu bahwa meraka tidak sampai melewati batas, dan bisa saja melakukan pembelaan. Akan tetapi, rasa takut juga bersalah lebih mendominasi, hingga lidahnya begitu kaku.

Seandainya, ibunya tidak pulang dan melihat perbuatan mereka langsung, mungkin mereka akan selalu melakukan hal itu terus dikala ada kesempatan seperti tadi. Kemungkinan terburuknya ialah, bisa saja mereka terbuai dan nekat melampaui batasan serta larangan.

"Bu Susan, hentikan!"

Anis kaget ketika melihat Pak Rt datang dan segera menjauhkan Bima dari amukan ibunya. Ia baru sadar, jika tadi Ibu Rt pergi memanggil suaminya. Anis semakin terlonjat kaget, saat mendengar kegaduhan dari para tetangga di luar rumah.

"Sudah Bu Sasan! Hentikan Bu! Hentikan!"

Pak Rt menyembunyikan Bima di balik punggungnya. Sekekali beliau juga terkena pukulan dari batang sapu, membuat Ibu Rt memeluk Susan dan menariknya agar menjauh.

"Sudah Bu Susan, sudah! Sebaiknya kita bicarakan masalah ini baik-baik!" usul Pak Rt sambil menahan sakit di pergelangan tangannya.

"Saya ingin anak saya dinikahkan hari ini juga, Pak!"

Bersambung ....

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!