Saudara Kembar

Setelah percakapan keduanya berakhir di masjid tadi. Kini mereka sedang berada di toko pakaian perlengkapan muslimah. Fani sudah membulatkan tekadnya untuk berhijab.

Fani terlihat sibuk memilih jilbab dan juga pakaian untuk dia pakai nantinya. Fani terlihat antusias setelah berdiskusi dengan Wafa.

"Fa, liat deh. Ini bagus nggak?" Tanya Fani sambil memperlihatkan sebuah jilbab berwarna navy."

"Bagus kok. Kamu mau pilih yang itu?" Mendengar pertanyaan Wafa. Fani seketika mengangguk sebagai jawaban.

"Fa. Kamu pilih hijab juga, ya."

"Aku?" Tanya Wafa sambil menunjuk dirinya.

"Iya, kamu pilih juga. Biar aku yang bayar," Fani kembali disibukkan dengan memilih beberapa jenis jilbab yang lainnya. Sebelum memilih jenis jilbab yang akan dikenakan. Wafa juga mengingatkan Fani bahwa hijab yang sesuai syari'at adalah jilbab yang menjulur kebawah dan menutup dada. Akhirnya Fani memilih jilbab sesuai dengan apa yang dikatakan Wafa tadi.

"Eh, nggak usah." tolak Wafa secara halus.

"Nggak apa-apa kali Fa. Ini juga sebagai tanda terima kasih aku karena kamu udah yakinin aku untuk berhijab," tutur Fani tulus.

"Nggak Fani. Aku ngelakuin itu semua semata-mata karena aku sudah menganggap kamu sebagai sahabat. Dan sebagai seorang sahabat, aku rasa aku punya kewajiban untuk mengingatkan kamu dalam hal kebaikan."

"Dan sebagai sahabat pula, aku juga mau melakukan kebaikan untuk sahabat aku," kini giliran Fani yang membalikkan kata-kata Wafa.

"Udah ah, tinggal pilih juga. Rezeki itu nggak boleh di tolak." Mendengar itu mau tidak mau Wafa kemudian ikut memilih beberapa jilbab disana.

Setelah membeli beberapa pasang pakaian dan hijab, merekapun akhirnya keluar dari toko dengan menenteng beberapa paper bag di tangannya. Dan tidak lupa kini penampilan Fani sudah berubah. Dia sudah memakai hijab di kepalanya dan hal itu tak henti-hentinya mendapatkan pujian dari Wafa karena Fani terlihat sangat cantik saat sedang berhijab. Fani pun seolah nyaman dengan penampilannya sekarang. Ternyata berpenampilan tertutup lebih membuat nyaman bagi Fani.

"Fa. Kalau kamu mau duluan, nggak apa-apa. Aku nunggu supir aku jemput disini." ucap Fani sambil merogoh tas miliknya untuk mencari ponselnya.

"Eh jangan dong. Kamu nggak usah nyuruh supir kamu buat jemput. Aku aja yang nganterin kamu."

"Memangnya nggak ngerepotin?" Beginilah sifat asli, Fani yang sangat takut merepotkan orang lain.

"Nggak lah. Ya, udah, aku antar yuk, keburu sore nantinya."

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 25 menit akhirnya mereka sampai pada sebuah rumah megah dengan nuansa putih dengan pagar tinggi yang berwarna hitam.

Wafa seketika takjub dibuatnya. Ia sedikit terkejut saat melihat rumah Fani yang ternyata sangat besar dan mewah. Bisa dipastikan bahwa Fani merupakan anak dari keluarga terpandang. Mengingat hal itu membuat Wafa sedikit merasa tidak pantas berteman dengan Fani yang notabenenya adalah orang berada.

"Kok malah diam. Yuk, masuk!" ajak Fani yang melihat Wafa yang sedikit terkejut saat melihat rumah papanya.

"Ini rumah kamu Fan?" Tanya Wafa yang masih tidak percaya dengan semua ini.

"Bukan. Ini rumah Papa aku. Aku mah belum bisa beli rumah." memang begitulah kenyataannya bahwa rumah yang sekarang dihadapan mereka adalah milik dari papa Fani.

Akhirnya mereka berdua berada dipekarangan rumah mewah itu. Wafa mengikuti langkah Fani hingga mereka tiba di depan pintu rumah tersebut.

"Assalamualaikum," ucap Fani sambil membuka pintu rumah.

"Wa'alaikumusalam!" balas seorang laki-laki paru baya yang berpenampilan rapi dengan balutan jas di badannya. Laki-laki tersebut seolah kaget dengan penampilan baru dari putri bungsungnya.

"Lho, Papa kok di rumah. Nggak ke kantor?" Fani yang melihat sang papa dirumah sedikit terkejut dibuatnya, sang papa bisa dikatakan jarang berada di rumah.

"Papa baru saja pulang sayang. Tapi Papa harus berangkat ke kantor lagi karena ada urusan penting yang harus Papa selesaikan." ucap papa Fani yang tak lain adalah pak Mahendra yang merupakan salah satu pengusaha terkenal di kota ini.

"Kamu sekarang berhijab?" Tanya Pak Mahendra yang melihat penampilan Fani yang berubah 180 derajat. Dari yang awalnya hobi memakai jeans dan baju tanpa lengan kini Fani berpenampilan lebih tertutup dari sebelumnya.

"Iya Pa. Nggak apa-apa kan?" Kini giliran Fani yang bertanya. Dan hal tersebut hanya dibalas anggukan dan senyuman dari sang papa.

"Itu siapa?" tanya pak Mahendra sambil menunjuk Wafa dengan dagunya. Wafa yang sedari tadi hanya menjadi pendengar dari obrolan ayah dan anak itu dibuat gugup dengan pertanyaan papa Fani.

"Oh ini teman aku Pa. Namanya Wafa." ucap Fani sambil memperkenalkan Wafa kepada papanya.

"Wafa om," sapa Wafa sambil tersenyum ramah kepada pak Mahendra dan dibalas dengan senyuman kembali.

"Kalau gitu papa--" ucap pak Mahendra seolah terjeda saat seseorang tiba-tiba saja datang dan membuka pintu rumah dengan kasar.

Laki-laki dengan penampilan berantakan dan wajah yang dipenuhi lebam itu kini melangkah memasuki rumah tersebut. Bisa dipastikan dari hanya melihat penampilan luar saja laki-laki itu menunjukkan bahwa ia selesai berkelahi.

"Fano?" panggil Pak Mahendra tiba-tiba dan hanya mendapatkan tatapan datar dari sang pemilik nama.

Wafa yang melihat Fano baru saja masuk dirumah tersebut sungguh terkejut luar biasa. Ada apa lagi ini? Kenapa Fano bisa ada disini? Dan apa hubungan Fano, Fani dan pak Mahendra? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang muncul di kepala Wafa saat ini.

Fano tetap saja melangkah tanpa memperdulikan papanya yang sedang menatapnya sedang raut wajah sedikit kesal. Hingga tatapan Fano dialihkan kepada perempuan berhijab yang ada disamping papanya. Fano membulatkan matanya saat melihat Fani dengan penampilan barunya itu. Terlihat amarah di raut wajah laki-laki itu. Tanpa sepatah kata, Fano kemudian menghampiri Fani dan pak Mahendra yang kini berada diruang tamu.

"Fani, siapa yang nyuruh lo buat pakai pakaian kayak gini?" Tanya Fano dengan sedikit menekan suaranya untuk meredam amarahnya. Fani tahu betul maksud dari Fano bahwa laki-laki itu sangat membenci kain yang kini menutup kepalanya itu.

"Kakak mau sampai kapan sih kayak gini terus?" Alih-alih menjawab pertanyaan Fano. Fani justru kembali melayangkan pertanyaan kepada saudara kembarnya itu.

Saudara kembar? Ya, itulah kenyataannya saat ini. Fani yang memiliki nama lengkap Rifani Anastasya Mahendra dan Fano yang memiliki nama lengkap Refano Randana Mahendra adalah saudara kembar.

Kini Wafa semakin dibuat bingung dengan penuturan Fani yang memanggil Refano dengan sebutan "kakak".

"Fani, lo tau kan kenapa gue benci banget sama orang berhijab?" Setelah mengucapkan hal tersebut Refano melirik ke arah papanya yang sedang menatapnya.

"Kak ini--"

"Stop Fan. Gue nggak mau denger apapun dari lo. Dan gue mau, lo lepasin kain itu dikepala lo." ucapan Fano bukan seolah memohon. Lebih tepatnya dia sedang memperingatkan saudara kembarnya.

"Nggak. Untuk hal ini aku nggak bisa kak," tolak Fani secara halus dan hal itu langsung saja memancing amarah Refano.

"FANI!" bentak Fano dengan nada suara tinggi yang membuat semua orang disana terkejut dibuatnya.

"Fano, apa-apaan kamu bentak-bentak adik kamu kayak gitu." tegur Pak Mahendra dan hal tersebut lagi-lagi diabaikan oleh Refano.

"Lo perlu ingat Fan. Perempuan yang pernah merebut kebahagiaan Mama itu adalah perempuan yang berhijab seperti lo sekarang ini. Dan lo liat sendiri kan, gimana Mama harus berjuang selama satu tahun lebih untuk sembuh dari depresinya. Dan di mana perempuan yang buat Mama kayak gini justru pergi kan? Ninggalin semua yang seharusnya dari awal nggak dia rebut." Ucapan Refano barusan cukup membuat pak Mahendra bungkam untuk sesaat.

"Kak, mau sampai kapan kakak kayak gini? Semua itu masa lalu kak. Dan kakak harus tahu setiap orang itu berbeda. Nggak semua orang yang berhijab itu buruk." tutur Fani yang mencoba merubah pandangan buruk saudara kembarnya.

"Lo salah Fan. Mereka itu semua sama dan sampai kapan pun gue akan tetap benci sama mereka."

"Fano, itu semua masa lalu. Papa juga tahu kalau Papa salah waktu itu dan Papa juga sudah minta maaf soal hal itu. Papa menyesal Fano." Kini giliran Pak Mahendra yang ikut berbicara.

"Minta maaf? Apa maaf dari papa bisa kembaliin kebahagiaan mama yang sudah direnggut sama perempuan itu?" Fano seolah-olah melupakan dimana dan siapa yang berada di sekitarnya sekarang.

"Kak--"

"Gue nggak butuh pendapat lo Fan."

"Gue nggak akan nginep disini," ucap Fano lalu berjalan keluar rumah dengan amarah yang memuncak.

"Fano!" panggil Pak Mahendra. Namun, telat Fano sudah keluar dari rumah itu.

Fani lagi-lagi dibuat sedih dengan saudara kembarnya itu. Fani pikir seiring dengan berjalannya waktu, luka dari masa lalu sudah membuat Fano melupakan semuanya secara perlahan. Namun, ternyata semua masih sama seperti dulu. Refano masih membenci perempuan yang hijab. Fani tiba-tiba tersadar bahwa Wafa sudah menyaksikan semuanya. Fani kemudian menoleh ke arah Wafa yang kini diam seolah kaget dengan kejadian barusan.

"Fa?" Panggil Fani dengan suara pelan.

"Eh, maaf."

"Aku yang harusnya minta maaf sama kamu Fa. Kamu jadi harus dengar semua kata-kata buruk keluar dari mulut kak Fano." ucap Fani dengan suara lirih.

"Sudah sayang. Nggak usah dengerin kata-kata kakak kamu. Dia lagi emosi untuk saat ini. Biarin dia nenangin diri dulu sampai semuanya kembali baik-baik saja." ucap Pak Mahendra sambil mengelus lembut punggung putrinya.

"Iya, Pa."

"Ya, sudah papa berangkat ke kantor dulu, ya." ucap Pak Mahendra yang kemudian menyisakan Fani dan Wafa yang ada di ruang tamu.

"Kalau gitu aku juga permisi, ya, Fani." ucap Wafa lembut.

"Iya. Hati-hati, ya. Dan makasi udah nganterin aku pulang,"

Baru ingin meninggalkan tempatnya tiba-tiba Fani meraih pergelangan tangan Wafa.

"Kenapa Fan?" Tanya Wafa yang bingung dengan situasinya sekarang.

"Besok kamu ada waktu nggak?"

"Memangnya kenapa?" Wafa justru kembali melemparkan pertanyaan untuk Fani.

"Aku mau jelasin soal yang tadi." sebenarnya Wafa juga butuh penjelasan untuk hal yang tiba-tiba tadi. Tapi dia juga sadar bahwa semua orang memiliki privasi dan Wafa mengerti akan hal tersebut hingga dia tak ingin terlalu ikut campur dalam urusan orang lain. Namun, karena Fani seolah ingin menjelaskan semuanya, Wafa pun dengan senang hati mendengarkannya.

Sampai di rumah Wafa kembali mengingat kejadian tadi. Semuanya terjadi begitu tiba-tiba dan Wafa tidak pernah menyangka dengan semua ini. Dari tatapan Refano tadi, Wafa dapat melihat bahwa Refano seolah memiliki masa lalu yang buruk dengan perempuan berhijab. Sebenci itukan Refano dengan perempuan yang menutup aurat? Tapi kenapa? Pertanyaan itu seolah berputar di kepala Wafa. Dia sangat menunggu jawaban dari semua pertanyaannya itu. Hingga akhirnya Wafa memilih untuk mengistirahatkan dirinya yang lelah dengan segala rutinitas hari ini.

Terpopuler

Comments

Agustina Kusuma Dewi

Agustina Kusuma Dewi

heheheh..
jd inget..pertama x brukut..
tetangga mama q, pd tany kl pas pasan ..
kamu aliran apa skrg..
trsselalu tak jawab dg santai..
krn hbs facial n spa dr ujung rambut n kaki.. biar ga pudar..eman2.. mahal2. perawatanya kl di umbar
wkwkwkwkk
🤣😂😁😀😃😄😅😆😉😉
hbs itu bbrp tahn..mereka capek sendiri, aplg pemicunya covid19pd masa itu

2023-08-20

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!