Seperti biasa alarm kembali berbunyi ketika menunjukkan pukul 04.40. Dengan cahaya lampu yang remang-remang membuat Wafa kesulitan menggapai alarm yang terus berbunyi itu. Setelah berhasil membuat benda tersebut diam, Wafa kemudian bangkit dari tempat tidurnya. Sejenak ia mengambil napas kemudian berusaha untuk memulihkan kesadarannya. Wafa lalu beranjak dari tidurnya untuk mengambil air wudhu. Setelah itu, dia bergegas untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim yakni menunaikan ibadah salat subuh.
Karena hari ini Wafa kuliah jam 08.00 maka ia memutuskan untuk tidak tidur lagi dan memilih untuk membantu ibunya beres-beres didapur.
"Wafa tolong kamu masukkan kue sama gorengannya ke tempat yang ada di atas meja. Ibu mau buat sarapan dulu untuk kalian." Ucap bu Yana tanpa menoleh ke arah Wafa.
"Iya, Bu!"
"Bu, hari ini Wafa izin pulang terlambat, ya, soalnya Wafa mau ke makam Ayah dulu." Sambung Wafa.
"Iya sayang!" jawab bu Yani yang kini menatap Wafa dengan tatapan sendu.
Wafa kemudian membereskan barang-barang yang lain sesuai perintah ibunya. Dengan cekatan ia meletakkan satu persatu barang ke tempatnya masing-masing.
"Bu, ada yang bisa Meila bantu nggak?" Tanya Meila yang baru saja datang ke dapur.
"Telat. Orang semuanya juga udah beres," itu bukan bu Yana yang mengucapkannya melainkan Wafa.
"Nih, bawa ke meja makan." ucap bu Yana kepada Meila sambil menyodorkan nasi goreng buatannya.
"Oke bu!" kini Meila tidak mempedulikan ucapan dari Wafa. Dia lebih memilih untuk melaksanakan perintah ibunya.
Setelah selesai dengan ritual sarapan bersama. Wafa kemudian mengantarkan Meila ke sekolah seperti biasanya. Setelah mengantar sang adik, Wafa selanjutnya bergegas ke kampus, takut jika nanti dia telat untuk mata kuliah jam pertama. Wafa memasuki area kampus dengan menenteng dua kantong plastik berwarna merah dan menuju kearah kantin.
"Assalamualaikum, Bu." ucap Wafa dengan sopan kepada ibu kantin.
"Wa'alaikumusalam!"
"Seperti biasa, ya, Bu. Wafa titip kripik."
"Oh, iya, Wafa. Simpan disana saja." kata ibu kantin sambil menunjuk kearah barang dagangannya yang lain.
Mendengar itu Wafa lalu meletakkan dan menyusun kripik miliknya.
"Udah Bu. Wafa permisi dulu, ya."
"Assalamualaikum,"
"Wa'alaikumusalam!"
Wafa berjalan menjauh dari kantin. Dia melirik sekilas jam yang melingkar dipergelangan tangannya. Sekarang sudah menunjukkan pukul 07.35 dan saat yang bersamaan tiba-tiba Wafa seolah mendengar seseorang meneriakan namanya dan benar saja ketika dia berbalik tenyata ada Fani yang tak jauh dari tempatnya sekarang sedang melambaikan tangan seolah menyapa Wafa.
Fani terlihat berlari kecil ke arah Wafa dan tak lupa senyumnya yang terus dia pertahankan membuat gadis pemilik rambut sebahu itu terlihat sangat manis.
"Habis dari mana?" Pertanyaan itu langsung dilontarkan oleh Fani untuk Wafa.
"Biasa. Nitip dagangan sama ibu kantin."
"Oh, iya, hari ini kamu ada berapa mata kuliah?"
"Cuman ada 2 sih,"
"Habis kuliah kamu mau kemana?"
"Aku mau kesuatu tempat. Kalau kamu?" Tanya Wafa balik.
"Hari ini aku nggak ada kegiatan. Boleh nggak kalau aku ikut sama kamu aja?"
"Boleh sih. Tapi, kamu emangnya nggak ada kuliah hari ini?"
"Ada sih cuman dosennya nggak masuk jadi aku free hari ini." ucap Fani sambil terseyum kearah Wafa.
"Oh, ya, udah. Kalau mata kuliah aku sudah selesai. Nanti aku kabarin, ya."
"Oke deh!"
"Kalau gitu aku duluan, ya. Soalnya aku ada kuliah jam delapan." ucap Wafa yang kemudian kembali melirik jam tangan miliknya.
"Oke, sampai ketemu nanti!"
Wafa dan Fani memang mengambil jurusan kuliah yang berbeda di mana Wafa memilih jurusan Administrasi bisnis sedangkan Fani memilih jurusan Manajemen.
Setelah percakapan singkat itu, Wafa akhirnya sampai di dalam kelas. Pandangan Wafa tak sengaja mengarah pada sosok Refano yang sudah datang lebih dulu. Hanya ada wajah dingin dan datar yang Refano tunjukkan saat ini. Melihat itu, Wafa kemudian melangkah menuju salah satu kursi yang ada dibelakang karena memang hanya itu yang tersisa.
Dan tidak lama kemudian dosen akhirnya datang ke kelas. Dan kuliah pun di mulai hari ini. Tanpa terasa jarum jam berputar begitu cepat dan kini menunjukkan angka 10.15, Itu artinya kelas hari ini akan berakhir.
"Baik, cukup sekian untuk perkuliahan kita hari ini. Jangan lupa untuk mempelajari materi yang sudah kita diskusikan karena minggu depan kita akan mengadakan kuis." mendengar itu, semua mahasiswa tampak membuang nafas kasar. Setelah sang dosen meninggalkan kelas, semua mahasiswa pun satu persatu ikut berhamburan keluar dari kelas dan hanya menyisakan Wafa seorang diri yang tengah sibuk membereskan bukunya.
Saat sampai dipintu kelas Wafa mendapati tak jauh dari sana ada Fani yang sedang berbicara dengan seseorang. Wafa menyipitkan matanya untuk memastikan siapa orang tersebut. Namun, belum sempat melihat siapa orang yang berbicara dengan Fani tadi tiba-tiba saja Fani berteriak kearah Wafa.
"Wafa, sini!" panggil Fani dengan antusias.
"Kuliahnya udah selesai?" Tanya Fani pada Wafa yang kini sudah berdiri di depannya.
"Udah nih, baru aja,"
"Mata kuliah selanjutnya jam berapa?"
"Aku nggak masuk untuk matkul berikutnya soalnya dosennya lagi sakit."
"Jadi mau kemana sekarang?" Tanya Fani kembali. Seperti tidak ada habisnya pertanyaan Fani untuk Wafa. Ia terus saja ingin dekat pada Wafa saat ini.
"Aku mau ke makam. Kamu mau ikut?"
"Makam siapa memangnya?"
"Ayah aku." mendengar itu Fani kemudian terdiam sejenak.
"Aku ikut,"
"Tapi sebelum itu kita ke kantin dulu, ya, buat ngambil uang kripik aku," dan Fani hanya mengangguk sambil mengikuti langkah Wafa yang berjalan menuju ke arah kantin kampus.
Setelah dari kantin merekapun akhirnya menuju ke tempat di mana Wafa rencanakan sebelumnya. Tempat yang begitu sepi dengan jajaran rumput hijau diatas tumpukan tanah. Hingga akhirnya Wafa berhenti pada salah satu makam yang bertuliskan nama Herman disana.
"Yah, Wafa datang sama teman Wafa," ucap Wafa yang kini berjongkok sambil mengelus batu nisan milik sang ayah.
"Kenalin namanya Fani. Ayah tahu nggak? Fani ini satu-satunya teman Wafa dikampus." Ucap Wafa sendu dengan suara yang sedikit bergetar.
"Kalau ayah masih ada. Pasti ayah senang liat Wafa akhirnya punya teman." Wafa berbicara seolah-olah ayahnya sedang mendengarkan keluh kesahnya.
"Yah, boleh nggak kalau aku minta ayah buat dateng kemimpi aku? Aku kangen sama ayah. Aku juga kangen ngobrol sepanjang hari sama ayah. Aku--" Wafa tidak bisa melanjutkan kalimatnya lagi. Cairan bening itu tiba-tiba saja lolos dari mata indah miliknya.
Tanpa terasa Wafa semakin terisak saat mendapatkan elusan halus dipundaknya. Dia melirik kearah Fani dan benar saja Fani yang kini berusaha untuk menguatkan Wafa. Melihat itu Wafa sedikit memaksakan untuk tersenyum dan kembali memalingkan wajahnya kearah makan sang ayah.
"Anak ayah sekarang jadi cengeng semenjak ayah nggak ada. Wafa rasanya ngga punya penyemangat lagi selain ibu sama Meila." Kembali terdiam Fani dapat mendengar Wafa yang berusaha mengatur nafasnya.
"Fani?" panggil Wafa yang kini tengah mengendarai sepeda motor miliknya. Iya, mereka sekarang dalam perjalanan pulang menuju rumah. Fani yang mendengar namanya disebut seakan tersadar lalu menanggapi ucapan Wafa.
"Iya, Fa. Ada apa?"
"Kita singgah salat duhur dulu, yuk, udah azan soalnya." Fani yang mendengar itu memperjelas pendengarannya ternyata suara azan memang sedang berkumandang.
"Ya, udah, kita singgah ke masjid yang didepan aja."
"Oke deh!" ucap Wafa kemudian menuju masjid yang disebutkan oleh Fani itu. Wafa memarkirkan motornya disekitar pekarangan masjid.
Keduanya kemudian mencari tempat wuduh khusus untuk wanita. Setelah itu, mereka memasuki masjid yang ternyata sudah dipenuhi oleh banyak orang disana. Sekitar 10 menit melaksanakan salat akhirnya Wafa dan Fani memilih untuk beristirahat sejenak di teras masjid.
"Wafa?" panggil Fani secara tiba-tiba dan Wafa yang mendengar itu kemudian menoleh ke arah Fani. Wafa melihat Fani hanya menatap lurus kedepan. Entah apa yang sedang difikirkan oleh perempuan di dekat Wafa itu.
"Iya?"
Terdiam untuk beberapa detik akhirnya Fani mengeluarkan suara.
"Kamu mau nggak ngajarin aku berhijab?"
Wafa yang mendengar itu sedikit kaget dibuatnya. Dia terdiam untuk beberapa menit hingga akhirnya Fani menyadari keterkejutan Wafa karena pertanyaannya.
"Kenapa diam?"
"E-eh nggak apa-apa."
"Kamu mau berhijab?" Tanya Wafa yang memastikan bahwa apa yang didengar barusan tidak salah.
"Iya. Rasanya aku capek hidup dengan keadaan kayak gini. Sebagai manusia kita nggak pernah tahu bukan kapan kematian itu menghampiri kita." Penuturan Fani barusan seolah memberi kesan ada sesuatu yang perempuan itu tutupi.
"Tapi, apa aku pantes, ya, untuk berhijab?" Kini Fani mengubah posisinya untuk berhadapan dengan Wafa.
Wafa yang mendengar ucapan Fani seketika tersenyum.
"Semua orang pantas untuk menjadi lebih baik Fan. Bahkan orang yang dulunya memiliki masa lalu yang buruk pun pantas untuk mendapatkan surga. Asalkan kita mau berubah jadi lebih baik."
"Tapi--"
"Tapi apa?" Kini Wafa menautkan alisnya seolah meminta penjelasan dari Fani.
"Pasti semua orang bakalan mandang aku aneh karena tiba-tiba berhijab. Dan kemungkinan juga aku bakalan jadi bahan omongan sama orang-orang apalagi teman-teman yang ada dikampus." ucap Fani yang mengeluarkan segala yang kini mengganjal di hatinya.
"Sebelumnya aku mau tanya sama kamu Fan. Siapa manusia di dunia ini yang terbebas dari komentar buruk orang lain?" Fani menggeleng sebagai jawaban.
"Nggak ada Fa. Pasti semua orang pernah mendapat komentar buruk dari orang lain."
"Itu kamu tahu. Jadi, kamu nggak perlu khawatir kalau orang lain menganggap kamu aneh atau bahkan berkomentar buruk tentang perubahan yang kamu lakukan. Kamu cukup fokus pada apa menurut kamu baik dan mendekatkan diri kamu kepada Allah." Seolah memberi semangat pada Fani. Kini Wafa menggenggam kedua tangan perempuan yang berada didepannya.
"Tapi apa aku bisa, ya, untuk jaga sikap dan ucapan aku sesuai dengan pakaian yang aku pakai? Jujur, aku takut suatu saat perbuatan aku sama sekali nggak mencerminkan pakaian aku." Fani tertunduk lesu setelah mengucapkan itu. Dia ingin berubah menjadi lebih baik, tapi dia juga takut dengan segala kemungkinan yang akan dia terima kedepannya.
"Fani. Hijab dan akhlak itu berbeda. Hijab itu perintah Allah sedangkan akhlak itu adalah sikap kita. Kalau kita menunggu untuk menjadi baik baru kita akan berhijab, apa kita bisa menjamin bahwa kita bisa berubah sebelum kita bertemu dengan kematian?"
"Dan ketika nantinya kita sudah berhijab, dengan sendirinya akhlak itu akan menyesuaikan. Hijab kita akan menjadi alarm untuk kita ketika akan melakukan sesuatu. Setelah kita berhijab pun suatu saat akan ada rasa malu yang kita rasakan ketika melakukan hal yang buruk hingga perlahan kita akan berbenah dan memperbaiki sikap bukan? Jadi tidak ada lagi alasan untuk kamu nggak berhijab karena takut akhlak kamu nggak sesuai sama hijab kamu." Fani yang mendengar itu seolah mendapatkan semangat untuk memantapkan hatinya untuk mengenakan hijab.
"Bantu aku, ya, Fa. Bantu aku untuk belajar jadi lebih baik. Bantu aku untuk semakin dekat dengan Allah."
"Kita akan sama-sama belajar dan saling menasihati dalam kebaikan Fan."
"Aku pecaya kamu bisa jadi lebih baik lagi" ucap Wafa sambil tersenyum.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 62 Episodes
Comments
Agustina Kusuma Dewi
sama.. ana juga masih byk belajar.. bukan hanya berhijab..tp thol\bul imli..ilmu yg bermanfaat u.diakhirat bekal kita nanti
2023-08-20
0
Ummi Alfa
Alhamdulillah.... Fani punya niat baik ingin hijrah.
Tentunya kalau kebaikan itu harus disegerakan.
2023-04-08
0
melia
masih nyicil baca nya.blum bsa maraton😁
2023-03-29
0