Bismillahirohmanirohim.
Sampai di rumah Mira mengurung diri dikamar, dia tak bicara sepatah katapun pada mbok Darmi saat masuk kamar. Mira hanya menatap mbok Darmi dengan tatapan kosong.
"Huhhu, semoga neng Mira baik-baik saja" ucap mbok Darmi lirih, mbok Darmi membiarkan Mira masuk ke dalam kamarnya.
Mbok Darmi tahu Mira pasti butuh waktu sendiri untuk menenangkan dirinya. "Aku bilang sama bapak dulu, tak mungkin membiarkan neng Mira sendirian dirumah" mbok Darmi melangkah pergi dari rumah Mira menuju rumahnya.
Sampai di rumah mbok Darmi mencari keberadaan sang suami. Mang Aceng baru saja selesai membersihkan diri sehabis pulang dari pemakaman orang tua Mira.
"Ibu apa Mira belum mau bicara juga?" tanya mang Aceng saat menyadari kehadiran mbok Darmi.
Mbok Darmi menggeleng lemah. "Belum pak, ibu mau nemenin neng Mira saja dulu ya pak, tak mungkin ibu meninggalkanya sendiri dirumah, sementara kondisinya masih seperti itu"
"Iya bu, lebih baik ibu temani saja dulu neng Mira, syukur-syukur kalau dia sudah mau bicara, bapak juga takut terjadi sesuatu pada neng Mira" sahut mang Aceng.
Setelah mendapat izin dari suaminya mbok Darmi kembali ke rumah Mira, kini gadis 21 tahun itu sudah tak memiliki siapa-siapa lagi, bahkan kerabat dari bapak dan ibunya saja sudah pada tiada di desa itu, dia hanya sebatang kara sekarang.
Hanya mbok Darmi dan suaminya yang masih memperhatikan Mira, karena perekonomian mereka juga dulu dibantu oleh orang tua Mira, mbok Darmi dan mang Aceng merasa berhutang budi pada kedua orang tua Mira, tapi mereka baik pada Mira dan selalu membantu Mira selama kedua orang tuanya sakit keras bukan sekedar hanya membalas kebaikan orang tua Mira, tapi mereka ikhlas melakukan nya.
Mbok Darmi sudah kembali lagi di rumah Mira, untungnya jarak rumah mereka tak terlalu jauh, hanya selang 2 rumah saja.
Di kamar Mira, gadis itu kini sedang meluapkan isi hatinya. Kedua netra Mira memerah layaknya orang yang sedang marah besar.
"Aku akan membalasnya! Siapapun orangnya akan aku pastikan dia mendapatkan yang lebih menyakitkan!" gertak Mira.
Kedua tangannya dia kepal dengan begitu kuat, giginya Mira gesekan atas bawah, netranya yang sudah memerah menyorot tajam keluar jendela kamar.
"Jika aku kehilangan kedua orang tuaku, maka kamu yang sudah membinasakan bapak dan ibuku, harus kehilangan semuanya!" Mira sedari tadi hanya bicara sendiri, dendam yang sudah tertanam di dalam hatinya sudah begitu besar.
"Hahahahah, aku akan menyiksamu lebih sakit dari yang dirasakan oleh ibu dan bapak, hahaha!" ucap Mira tertawa sendiri, dia sudah seperti perempuan gila.
"Kalian akan mati perlahan lahan, hahaha!" tawa Mira kembali menggelegar di kamarnya.
Mbok Darmi yang tak sengaja saat melintasi kamar Mira menuju dapur, mendengar tawa Mira begitu mengerikan, segera mengetuk pintu kamar Mira. "Tok…tok…tok!" suara pintu kamar Mira diketuk oleh mbok Darmi
"Neng Mira makan dulu ya mbok sudah hangatkan makanya, kasihan perut neng Mira belum diisi" ucap mbok Darmi dari balik pintu.
Mira tersadar dia pun bangkit dari kasurnya, Mira perlahan membuka pintu kamarnya, saat membuka pintu mbok Darmi masih berdiri di depan pintu. "Iya mbok" sahut Mira.
Mbok Darmi menghela nafas lega kala Mira sudah mau bicara. "Syukurlah neng Mira, sedari tadi mbok takut terjadi apa-apa pada neng Mira" ujar mbok Darmi.
"Ayo kita makan dulu neng" ajak mbok Darmi, keduanya sama-sama menuju dapur.
Ketika di dapur Mira tak sengaja melihat bambu yang pernah diberikan orang pintar padanya, tadi pagi Mira tak sengaja meninggalkan benda itu di dapur saat mengambilkan sarapan untuk kedua orang tuanya.
Air mata Mira kembali menetes mengingat tadi pagi dia masih memandikan ibu dan bapaknya yang masih bernafas, tapi malam ini ibu dan bapaknya sudah tak lagi diatas kasur, sudah berpindah tempat ke dalam tanah atau kuburan.
"Neng makan dulu, jangan terus ngelamun, mbok tahu pasti sulit, tapi neng Mira juga tak boleh menyiksa diri sendiri seperti ini" tegur mbok Darmi.
"Iya mbok, terima kasih" Mira memasukan satu suap nasi ke dalam mulutnya.
Rasanya Mira tak bisa menelan nasi tersebut, tapi sebisa mungkin Mira mencoba untuk menelannya.
"Ada apa neng?" Mira menggeleng, dia menyambar segelas air putih segera Mira minum sampai habis tak tersisa.
"Nasinya susah untuk Mira telan mbok" ucap Mira jujur, mbok Darmi mengelus pundak Mira untuk memberikan kekuatan, agar gadis itu bisa lebih tegar.
Tiba-tiba Mira kembali melihat bambu itu lagi, kali ini tak tau kenapa netranya, tidak ingin pindah dari bambu yang sudah dibentuk sedemikian rupa itu.
Seakan bambu itu memberikan Mira isyarat untuk mencari sebuah jalan, yang dapat menyelesaikan dendamnya.
Sampai akhirnya Mira kembali membuka suara. "Mbok boleh Mira minta tolong?" tanyanya dengan hati-hati takut merepotkan mbok Darmi dan mang Aceng.
"Ya boleh toh neng Mira, kamu mau minta tolong sama mbok Darmi apa aja boleh, asal mbok masih bisa melakukanya" sahut mbok Darmi cepat.
Mira berpikir sejenak, dia sedang menata hatinya apakah jalan yang dia ambil ini sudah tepat, Mira ingin segera membalaskan dendamnya pada orang yang sudah mencelakai kedua orang tuanya, tapi Mira harus tahu dulu siapa orangnya, Mira yakin orang pintar yang pernah mbok Darmi itu usulkan pasti tahu siapa dalangnya, yang sudah membuat orang tuanya menderita.
"Jadi begini mbok, Mira mau minta tolong diantar ketempat orang pintar yang pernah kita kunjungi satu minggu lalu" ucapnya lirih.
"Owlaah, mau ketemu sama mbah Narto"
"Iya mbok"
"Besok mbok sama mang Aceng antar neng, memangnya neng mau ngapain lagi kesana?" tanya mbok Darmi memastikan, buka kepo, tapi kan orang tua Mira sudah tiada jadi untuk apa lagi dia datang ke tempat mbah Narto yang merupakan orang pintar itu.
"Mira cuman pengeng tahu mbok siapa yang sudah dengan teganya menyantet ibu dan bapak hingga meninggal, mereka tak berperasaan sama sekali" sedih Mira, dia kembali mengingat bapak dan ibunya.
Mbok Darmi tidak peka atas perasaan Mira, mbok Darmi hanya berpikir mungkin Mira hanya ingin tahu siapa yang sudah membuat ibu dan bapaknya seperti itu, padahal di dalam hati Mira sudah ada niat lain, karena rasa dendam tadi.
"Yasudah besok diantar ya neng" Mira mengangguk
"Terima kasih mbok sudah mau bantu Mira, mbok dan mang Aceng begitu baik pada Mira" kali ini Mira berucap dengan tulus.
"Sama-sama neng Mira, sudah tak usah dipikirkan, nanti mbok kasih tahu mang Aceng, kalau neng Mira ingin bertemu pak Narto"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments