DARI SEDAYU ~ JOGJAKARTA, YANKTIE MENGUCAPKAN SELAMAT MEMBACA CERITA SEDERHANA INI
\~\~\~\~\~
Semua sudah makan siang kecuali Putut yang tak bisa bangkit dar ranjang karena tangan kirinya dipegang erat oleh Amie.
“Kamu makan dahulu,” Putro memberikan kotak nasi yang sudah dia buka dan di taruh di paha Putut. Putro juga meletakkan gelas air mineral yang baru dia tusukan sedotan di meja dekat brankar. Dia tahu, begitu Amie bangun, maka Putut tak akan bisa makan.
Aku memandang bingung mengapa Amie memeluk erat tangan Putut.
“Kenapa?” hanya dengan gerak bibir, tanpa suara aku bertanya sambil menunjuk tangan Putut yang dipegang Amie. Mas Putro hanya tersenyum kecil sambil mengangkat bahu.
Putut merasa pegangan Amie mulai mengendur, dia mencoba untuk beringsut. Dia belum salat Dzuhur. Bergegas Putut lari ke toilet dan sesudah itu dia pamit untuk ke mushola.
Sepeninggal Putut, Amie terbangun dan menjerit lalu menangis. Bunda mertuanya mencoba mendekati dan berkata lirih agar menantunya mau diam. Selanjutnya ibu dan bu Cokro. Namun tak juga membuat reda tangis Amie.
“De, cup ya, jangan nangis lagi, diem ya sayang,” bujukku sambil berupaya memeluk kepala Amie. Namun Amie menggeleng dan terus menangis. Putut yang baru kembali dari mushola kaget mendengar isak Amie.
“RA, cukup nangisnya,” bisik Putut lembut sambil memegang kepala Amie agar tak memberontak. Mendengar sapa lembut Putut, Amie mulai menghentikan tangisannya.
“Maem ya?” Putut menerima piring makan jatah rumah sakit dari ibu. Rupanya ibu mengerti, hanya Putut yang bisa membuat Amie berinteraksi. Amie tetap diam, pandangannya masih kosong.
“Buka mulutmu, mas PU akan menyuapi, kalau kamu enggak maem, Mas pulang,” dengan sedikit ancaman Amie menghabiskan makanan jatah rumah sakit. Biasanya bila disuapi Ragil, habis separo saja ibu sudah sangat bersyukur.
Sesudah makan, ibu memberikan obat pada Putut. “Bude, biasanya kalau dia mau pipis atau buang air bagaimana?” tanya Putut.
“Dia akan menurunkan kaki dan mencoba membawa botol infusnya. Lalu kita tolong ke kamar mandi. Pintu jangan di kunci. Nanti dia bisa sendiri kok,” jawab ibu.
“Wah sudah bangun ya bu Rahmi. Sudah habis makannya? Ini pas infus habis, kita copot ya infusnya,” seorang perawat yang aku panggil saat melihat cairan infus habis masuk dan mencopot infus.
Sehabis dicopot infusnya, Amie bergerak turun. Aku coba mendekatinya dan mencoba menjaganya dari dekat walau tidak memegangnya. Biasanya Amie menuju toilet. Namun kali ini tidak, dia menuju pintu kamar. Semua yang ada disana hanya mengamati, mau ke mana Amie melangkah.
“Mau ke mana Dek?” tanyaku pelan. Namun Amie tak merespon, pandangannya tetap kosong.
Mas Putro tak tega, dia mendekati Amie dan menyentuh bahunya. “Kita duduk sini yok?” ajak Putro sambil mengarahkan Amie untuk ke kursi di teras ruang rawat itu. Sekali lagi Amie tak meresponnya, dia tetap melangkah keluar.
Aku mendengar ibu kembali terisak melihat Amie seperti itu.
Sebenarnya sejak tadi Putut ingin bergerak, tapi dia tak ingin ada pandangan yang salah. Di sana ada mertua Amie. Kalau dengan pakde Siswojo sekeluarga, dia tidak takut ada salah pengertian. Tapi melihat Amie makin bergerak ke luar akhirnya dengan terpaksa dia mendekati mas Putro yang sedang membujuk Amie.
“RA. Kita kembali yok, kita duduk di kursi yang tadi mas Putro tunjuk ya?” bisik Putut sambil ikut memegang bahu Amie. Putro jelas mendengar semua kata-kata Putut. Tak ada yang istimewa. Namun membuat Amie bisa menurut.
Amie ikut arahan Putut untuk duduk di teras kamar rawatnya. Tangan Amie memegang erat lengan Putut yang berdiri di sisi kursinya. Pandangannya masih kosong.
Putut mengambil telepon genggamnya, dia membuka Al-Qur’an dari telepon itu, lalu dia membacanya pelan di telinga Amie. Putro yang mengerti mengambilkan kursi agar Putut bisa duduk di sebelah Amie.
“Kita masuk yok, kamu sudah ngantuk, bobo dulu ya?” bisik Putut. Dia meminta mas Putro membimbing Amie untuk kembali ke brankarnya. Tanpa membantah Amie berjalan pelan kembali ke kasurnya. Putro membantunya naik dan menyelimutinya.
Sudah waktunya salat Ashar, para lelaki segera ke mushola dan yang perempuan bergantian salat di ruangan itu. Sehabis salat mas Putro mengajak Ragil dan Jhon serta Putut untuk ngopi di kantin rumah sakit.
“Besok Senin, kamu bisa antar Amie?” tanya mas Putro padaku.
“Ayah dan ibu sepertinya bilang akan izin tidak masuk kerja hari Senin, aku Senin kosong tapi Selasa dini hari ada jadwal terbang, sehingga takutnya enggak bisa ikut antar bila dari sini sore. Kalau dari sini pagi aku masih bisa antar,” jawabku.
“Visite dokternya ‘kan jam tujuh pagi Mas, masa kita ngurus administrasi sampai sore? Begitu dokter bilang sudah bisa pulang, ya kita urus aja surat-suratnya,” cetus Ragil sambil mengunyah risol.
“Kalau begitu ya aku bisa. Maksimal jam tujuh malam aku dari Jogja. Aku masih bisa istirahat sebelum penerbangan dini hari.” Jawabku setelah menyeruput kopi hitam tanpa gula yang aku pesan.
“Malam ini siapa yang jaga?” tanya Putut. Dia ingin memastikan Amie tidak ngamuk.
“Aku dan Ragil,” jawabku.
“Malam ini aku akan pulang. Besok malam aku bisa jaga, sekalian menemani Amie dalam perjalanan ke Jogja. Besok aku berangkat dari Jogja sendiri naik Prameks saja.” jelas Putut.
“Kalau begitu, besok kamu jaga berdua Ayah.” Putro memberitahu Putut siapa teman jaganya besok malam. “Ayo kita kembali ke kamar, aku was-was Amie bangun dan menangis lagi bila tak ada Putut. Padahal sejak kemarin dia no respon.”
***
Saat para bujangan kembali ke kamar rawat, terlihat mertua Amie sedang pamit pada Bu Diah dan Bu Cokro. “Kita kapan pulang?” tanya pak Cokro pada istrinya.
“Tergantung Amie, kalau bisa ditinggal ya kita pulang. Karena Ibu mau cari perawat dan mengatur jadwal kerja mereka. Juga mau minta mbok Pedes cari teman agar mereka berdua memelihara rumah dan simbah.” balas istrinya.
“Hari ini kami full. Sepertinya Amie bisa koq ditinggal sekarang.” saran ibuku.
“Nek menurut saya nunggu jadwal tidur malamnya Amie aja Bude. Kalau tidur malam ‘kan dia lebih lelap dari pada tidur sore seperti ini. Nanti kalau dia bangun dan mencari saya lagi ‘kan malah kasihan,” balas Putut.
Baru saja mulut Putut tertutup menyelesaikan kalimatnya, Amie bangun dan matanya berputar mencari seseorang. Setelah melihat sosok Putut ada di ruang itu dia diam dan kembali menatap langit-langit tanpa ekspresi.
Ragil mengupas jeruk dan duduk di tepi ranjang. “Hai, hari ini belum maem ama Mas ‘kan? Ni Mas sudah kupas jeruk untukmu, maem jeruk dulu ya?” Perlahan Ragil memberikan satu siung jeruk yang sudah di buang bijinya. Disodorkannya kemulut Amie. Dengan telaten Ragil menyuapi jeruk hingga habis satu butir.
\===========================================================
Hallo semua. Semoga selalu sehat yaaaa
YANKTIE mengucapkan terima kasih kalian sudah mampir ke cerita sederhana ini. Ditunggu komen manisnya ya.
Jangan lupa juga kasih LIKE, hadiah secangkir kopi atau setangkai mawar dan setiap hari Senin gunakan VOTE yang kalian dapat gratis dari noveltoon/mangatoon untuk diberikan ke novel ini ya
Salam manis dari Sedayu~Yogyakarta
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments