“Nduk, kamu kecelakaan, apa kamu ingat?” tanya ibu lirih sambil menggenggam jemari Amie.
Aku melihat wajah Amie langsung berubah mendengar perkataan ibu.
“Aku ingat habis pulang periksa kehamilan rutin. Saat pulang, mas Angga tidak tahu ada lubang sehingga motor goyang dan aku terjatuh. Aku enggak ingat yang lainnya.” Jelas Amie, dia langsung meraba perutnya karena ingat terjatuh.
Saat erupsi gunung Kelud memang Jogja dan Solo terdampak parah. Lapisan debu menutup jalan, atap, pohon dan semua permukaan bumi. Wajar Angga yang tidak pernah pakai motor tidak tahu lubang di jalan.
Biasanya Angga pakai mobil, tapi saat akan pergi periksa kehamilan rutin, mesin mobil tak mau menyala. Amie sudah mengatakan periksa ditunda saja sambil nunggu orang bengkel memeriksa mengapa mesin mobil tidak mau menyala.
Sayang Angga bersikeras tetap berangkat periksa dengan menggunakan motor milik Amie
“Apa bayiku tak selamat? Bagaimana mas Angga? Kenapa dia enggak ada di sini? Apa dia dirawat di ruangan lain? Di mana mas Angga?” Amie mulai terisak dan histeris. Ibu langsung memeluknya dan aku langsung memencet bell memanggil perawat.
“Kamu terjatuh sangat keras Nduk, bayimu tak selamat. Kamu harus sabar, belum rizky mu mendapat momongan,” hibur ibuku dengan lirih. “Kamu tak sadar lima hari.”
“Mas Angga?” tanya Amie makin keras. “Ke mana mas Angga, aku mau mas Angga!”
“Mas mu tidak selamat, dia langsung meninggal ditempat kejadian,” jelas ibu sambil memeluk erat Amie.
“Enggaaaaaaaaaaaak … aku mau mas Angga … dia enggak mungkin ninggalin aku!” teriak Amie sambil memberontak, infusnya sampai copot karena tertarik.
Aku berupaya mengurangi gerakan Amie dengan cara memeluknya erat. Suster datang dan langsung membetulkan infus serta menyuntikan obat di cairan infus itu.
“Istigfar Dek, istigfar ya,” hanya itu yang bisa aku katakan berulang-ulang melihat Amie terpuruk.
Karena pengaruh obat yang disuntikkan, Amie langsung tenang dan tidur.
“Segera datang ke rumah sakit. Aku ingin kita semua bicara,” aku meminta mas Putro dan ayah hadir di rumah sakit, untuk membahas kondisi Amie saat ini.
Ragil masuk saat Amie baru saja tidur. Sekolah memang diliburkan akibat tebalnya debu letusan gunung Kelud, tapi karena dia sedang kelas 12 maka tetap harus hadir untuk pendalaman materi karena UAN sudah dekat.
“Ono opo Mas? Kok Ibu nangis?” bisik Tri atau yang lebih ngetop dengan panggilan Ragil ( artinya bungsu ). Dia bertanya ada apa Mas, mengapa ibu menangis?
“Amie baru saja sadar, dan dia histeris tahu kalau Angga dan janinnya tidak selamat. Ini baru saja di suntik agar tenang.” Jelasku,
Aku, ibu dan Tri duduk diteras kamar rawat Amie menunggu ayah dan mas Putro untuk konsultasi ke dokter. Ayah datang lebih dulu, pukul 16.32 beliau sudah sampai ruang rawat Amie. Sedang mas Putro masih lama, karena dia baru selesai praktik di klinik pukul 17.00. paling cepat sampai ke rumah sakit saat maghrib nanti.
“Enaknya nunggu mas Putro, atau Ayah dan Jhon aja sekarang menghadap ke dokter?” tanya ibu, aku mengerti dia sangat sedih anak perempuannya terpuruk seperti itu.
“Nunggu mas Putro aja Bu, dia lebih tahu prosedur rumah sakit, walau dia dokter gigi, tapi setidaknya tidak buta seperti aku,” jawabku.
Sesuai perkiraan mas Putro baru sampai saat waktu Maghrib. Ibu memerintah Ragil membeli makan malam sekalian salat di mushola. Yang lain akan bergantian salat di ruangan.
Sambil makan malam kami berembug bagaimana penanganan Amie. Terutama masalah kejiwaannya. Karena luka badan Amie tak ada, selain lecet-lecet saja. Kalau melihat luka tubuh, Amie bisa langsung pulang, walau baru keguguran. Seperti orang melahirkan, cukup dua atau tiga hari di rumah sakit bisa pulang. Namun masalah kejiwaan tak bisa sembarangan penanganannya.
“Bagaimana bila kita kembali membawa Amie ke Jogja? Karena hanya di sana tak ada tempat kenangan Angga dan Amie. Di rumah kita, walau sesekali, mereka sering bersama. Apalagi sejak mereka menikah di rumah, dan beberapa kali Angga menginap di kamar Amie setelah mereka menikah,” saranku malam itu.
“Benar, hanya di Jogja tak ada tempat kenangan antara Angga dan Amie. Masalahnya siapa di sana yang bisa menemani Amie secara full? Untuk merawat mbah kakung saja kita minta temani dengan mbok Pedes.”
“Sedang Amie bukan hanya butuh di rawat tapi dia wajib dipulihkan kejiwaannya.” mas Putro setuju dengan saranku. Tapi mereka semua bekerja di Solo. Tak ada yang bisa merawat Amie di Jogja.
Kami memang membayar mbok Pedes untuk merawat mbah kakung karena mbah kakung sudah tinggal sendirian dirumah Amie di Jogja.
“Kalau kita sewa perawat bagaimana?” sahut ayah memberi pendapat.
“Amie bukan butuh perawat Yah, dia perlu pendamping agar jiwanya tidak kosong. Harus orang yang sayang dengan dia, atau perawat yang mengerti ilmu kejiwaan,” jelas ibu.
Aku yakin andai dia sudah pensiun, ibu tak akan segan menemani Amie di Jogja. Sayangnya dia belum pensiun, masih dua tahun lagi masa pensiunnya berlaku.
“Sekarang kita konsultasi ke dokter dulu saja. Sambil jalan kita pikirkan siapa yang akan mendampingi Amie hingga pulih. Kita juga belum tahu, seperti apa kondisinya nanti saat dia bangun.” akhirnya aku mengambil keputusan agar bisa ada kepastian.
Malam ini aku harus standby di bandara walau bandara masih ditutup. Tapi kami tetap harus standby untuk terbang bila keadaan memungkinkan.
***
Hari ini di rumah sakit hampir full team. Hari Sabtu ayahku, ibu dan mas Putro libur bekerja. Sekolah tentu juga libur sehingga Ragil pun bisa hadir di ruang rawat Amie.
Baru saja kedua mertua Amie datang. Bundanya Angga awalnya menangis histeris. Namun melihat Amie hanya diam dengan pandangan kosong sang bunda menjadi hanya terus terisak melihat kondisi menantunya itu.
“Makan ini ya,” bujuk sang bunda sambil memberikan potongan buah pear pada Amie. Seperti biasa Amie tak bereaksi. Tak tahan mendapat respon seperti itu, sang bunda hanya bisa terisak sambil mendekap menantunya yang sedang terbaring dengan posisi tempat tidur bagian kepala ditinggikan 45°.
“Assalamu’alaykum,” terdengar salam dari bu Cokro. Keluarga Cokro adalah tetangga ayah di Jogja. Mereka mengenal Amie dari bayi. Rumah mereka tepat disebelah rumah Amie. Dan mereka pula yang membantu mengawasi mbah kakung ( bapak kandungnya ayahku ) di desa Cangkringan, Jogja.
Hampir bersamaan yang ada di ruangan berpaling ke arah pintu dan menjawab salam itu. “Wa’alaykum salam.”
Bu Cokro menghampiri ibuku yang bernama Diah, mereka berpelukan dan menangis. Perkenalan ibu dan bu Pratiwi istri pak Cokro dimulai saat ayahku -Siswojo- membawa calon istrinya ke rumah orang tuanya yang berada di belakang rumah pak Cokro.
Saat itu bu Pratiwi baru saja menikah dengan pak Cokro. Walau menikah lebih dulu, bu Pratiwi lebih lambat punya anak, itu sebabnya usia mas Putro lebih tua dari Putut putra sulung keluarga Cokro.
Putut dan aku hampir seumuran, lebih tua aku beberapa bulan. Sejak kecil bila kami menginap di Jogja, maka kami bertiga main bersama. Sejak sebelum menikah ayahku memang sudah bekerja di Solo. Dan ayah Amie -paklek Sisworo- yang tinggal dengan eyang di desa Cangkringan Jogja.
“Sing sabar Mbak,” bisik bu Cokro pada ibu. Sehabis itu ibu memperkenalkan besannya pada bude Cokro.
***
\==============================================
Hallo semua. Semoga selalu sehat yaaaa
YANKTIE mengucapkan terima kasih kalian sudah mampir ke cerita sederhana ini. Ditunggu komen manisnya ya.
Jangan lupa juga kasih LIKE, hadiah secangkir kopi atau setangkai mawar dan setiap hari Senin gunakan VOTE yang kalian dapat gratis dari noveltoon/mangatoon untuk diberikan ke novel ini ya
Salam manis dari Sedayu~Yogyakarta
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 174 Episodes
Comments