"Selamat pagi, Nyonya HansH Mahesvara."
Ugh! Hari masih pagi saat aku terbangun di ranjang empuk milik Neha, dan gadis itu sudah kembali menggodaku tentang HansH Mahesvara. Dia benar-benar sudah tidak waras.
"Ingat, ya, Teman, kalau doaku terkabul dan kau benar-benar menjadi istri Tuan HansH Mahesvara, jangan pernah melupakan aku. Oke?"
Aku cemberut. "Kau mencoba mengalihkan pikiranku, hmm?"
"Ya, usaha yang lumayan, bukan? Siapa tahu berpengaruh."
Aku mengedikkan bahu, tersenyum geli kepada gadis itu.
"Omong-omong, apa yang akan kau lakukan soal Kak Sanjeev?"
Oh Tuhan, aku bergidik saat curahan dingin kenyataan itu menerpaku. "Entahlah."
"Dia belum meneleponmu?"
"Aku belum menjawab."
"Kau tidak bisa menghindar terus, Sayang."
Aku tahu. Sejujurnya memang Kak Sanjeev menelepon dan mengirimiku pesan via whatsapp hampir sepanjang waktu setelah pengakuanku yang berubah malapetaka, tapi aku tidak sanggup jika harus berbicara dengannya -- belum. Seakan-akan ada aba-aba, ponselku berdengung saat sebuah pesan datang.
》Kumohon bicaralah kepadaku, Zia. Kau tidak pulang dan aku sangat mengkhawatirkanmu.
"Mungkin kau harus meneleponnya."
"Lalu bilang apa?"
"Apa saja."
"Aku membuat diriku tampak bodoh, Neha. Aku masih tidak mengerti mengapa aku pernah berpikir bahwa mengatakan aku mencintainya merupakan gagasan yang bagus."
Neha mengeran*. "Zia, aku pun mengira kalau kau dan Kak Sanjeev akan bersama pada suatu hari. Kita sama-sama menyadari betapa kalian menjadi dekat lebih dari hubungan persaudaraan. Nah, kalau dia panik sewaktu kau memberitahunya, memangnya kenapa? Itu dapat dimengerti. Lagipula, kau memang agak membuatnya terkejut. Tapi biar kukatakan kepadamu satu hal, dia bodoh kalau dia tidak bisa melihat betapa tepatnya kalian untuk satu sama lain. Sejak dulu kalian itu Pasangan Sejati."
"Itu tidak penting sekarang. Pasangan Sejati itu secara resmi sudah mati. Oke?"
Menggeleng. Neha tidak sependapat denganku. "Jelas belum, kalau dia masih berusaha untuk bicara denganmu, itu artinya masih ada kesempatan."
"Dia begitu karena aku adiknya. Dia sangat khawatir karena aku tidak pulang. Tapi hanya sebatas karena hubungan persaudaraan, tidak lebih." Aku menghela napas dalam-dalam. "Aku akan memperbaiki keadaan kami seperti semula. Hubungan kami akan baik-baik saja, aku yakin. Sekarang masih sedikit canggung saja, tapi aku tidak ingin keadaan ini jadi menyulitkan diri kami sendiri. Aku janji, ini akan beres pada akhirnya. Tapi sepertinya aku perlu menghindarinya dulu untuk beberapa hari. Ya, hanya beberapa hari, aku butuh waktu."
Ponsel Neha berdering. Ia memutar layarnya ke arahku, ekspresinya sangat serius. Telepon dari Kak Sanjeev. "Jadi aku mesti bilang apa padanya sekarang?"
Kepanikan membekukanku di tempat. "Tolong jangan bilang kalau aku ada di sini! Please... ya? Aku mohon?"
Dia melototiku lalu menerima telepon. "Hei, Kak. Yah, aku baik-baik saja. Kau? Oh, begitu. Zia? Ya, dia ada di sini. Tapi Kak Sanjeev jangan ke sini, ya." Dia melontarkan tatapannya kepadaku. "Menurutku, dia butuh sedikit waktu. Jadi, tolong beri dia ruang untuk sendiri dulu. Oke? Daaah."
Kuembuskan napas lega. "Terima kasih."
"Akan selalu kuusahakan yang terbaik untukmu. Tapi, ingat, kau harus meneleponnya. Lelaki malang itu panik. Dia sangat mengkhawatirkanmu."
Aku mendesa*. "Besok akan kutelepon."
Neha mengangkat ponselku dari meja lalu menyorongkannya ke dalam genggamanku. "Tidak, Zia. Setidaknya kirimi dia whatsapp. Setidaknya supaya dia tenang. Oke?"
Aaaaah... kata-kata Neha itu mengusikku sepanjang hari. Aku hanya mengiyakan ucapan Neha, tapi aku tidak melakukan seperti yang ia katakan.
Akhirnya, sendirian menatap telepon di kamar tidur Neha pada malam harinya, aku tahu Neha benar, aku harus menelepon Kak Sanjeev. Mengumpulkan tiap serpih keberanian yang mampu kulakukan, kutemukan nomor telepon Kak Sanjeev lalu menghubunginya.
Aku dapat mendengar ketegangan dalam suaranya begitu dia menyahut.
"Zia, hei."
"Hai, Kak."
"Aku tidak tahu apa yang... apa yang harus kulakukan... atau kukatakan...."
"Maafkan aku, Kak. Ini semua salahku. Aku malu. Tapi kuharap... Kakak akan mengerti dan mau memaafkan aku."
"Bukan hanya kau." Kak Sanjeev tertawa. Perutku bergejolak dan kuteguk ludah dengan susah payah. Setelah diam sejenak, dia kembali berkata, "Kau masih di sana?"
Aku berdeham. "Ya."
"Begini, kejadian ini kacau sekali. Bisakah kita bertemu besok pagi?"
Hening.
"Jangan menolak, Zia, dengarkan saja, oke?"
Walau enggan, aku mengiyakan. "Oke," kataku.
Kudengar dia mengembuskan napas dengan gelisah di ujung telepon. "Bagus. Yang kau katakan kemarin, yah, reaksiku tidak terlalu baik. Aku menyadari itu."
Oh ya? Masa? Kau terlambat menyadarinya.
"Mestinya aku bisa menghadapinya dengan lebih baik. Jelas seharusnya aku tidak berhenti mengikutimu ketika kau menyuruhku pulang."
Memang seharusnya begitu....
"Menurutku kita perlu bicara untuk menjernihkan suasana, Zia. Aku benci jika ini mempengaruhi persaudaraan kita."
Hancurkan pikiran itu. "Tidak akan, Kak. Itu tidak akan terjadi."
"Bagus. Jadi, hmm... di Harry's besok sekitar pukul delapan? Kita sarapan bersama, oke?"
Aku meringis di telepon. "Baik. Kalau begitu sampai jumpa besok."
Mengakhiri sambungan telepon, kulempar ponselku ke kaki tempat tidur, melompat kembali ke atasnya, kemudian meletakkan bantal di atas mataku yang berdenyut-denyut.
Tetapi tiba-tiba Neha masuk ke kamar. "Hei, kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Yeah, kurasa."
"Zia...?"
"It's ok, Neha. Aku tidak apa-apa, kok. Tenanglah."
Tapi Neha pantang menyerah. Diambilnya bantal di atas kepalaku dan dia berbaring di sampingku. "Sejujurnya aku... maksudku, aku akan mendukung apa pun keputusanmu. Kau mau melanjutkan perjuanganmu, silakan. Kau mau berhenti pun silakan. Apalagi kalau kau mau move on dan mencari pelabuhan hati yang baru, aku akan sangat mendukungmu. Dengan HansH, misalnya?"
"Haddeh! Kau ini, HansH lagi... HansH lagi."
Neha tergelak. "Mau bagaimana lagi, dari ceritamu sepertinya pria dingin itu bisa merasakan atau melihat sesuatu yang lain dari dirimu. Jadi, seperti yang kukatakan semalam, mungkin itu pertanda baik."
"Jangan menyuruhku bermimpi, Neha."
"Hei, jangan pesimis dulu...."
"Lalu?"
"Dengarkan aku, kau dan Alisah, mantan tunangannya HansH, kalian berdua sama cantiknya. Postur tubuh, tinggimu, perawakan, semuanya sama. Bahkan gaya dan warna rambutmu pun sama. Dan matamu itu, persis sekali dengan mata Alisah. Kalau semalam kau membuka maskermu di hadapan HansH, barangkali dia akan benar-benar jatuh cinta padamu dan melupakan mantan tunangannya, ya kan? Kau cantik, tidak kurang dari Alisah. Aku berani bersumpah untuk itu."
Oh, aku tersentuh. Begitu antusiasnya Neha membicarakan perihal asmara sahabatnya ini.
"Ini, lihat." Neha menunjukkan foto seorang gadis dari ponselnya. "Ini Alisah, mantan tunangannya HansH yang menghilang."
Berdecak kagum. Aku sungguh takjub menatap foto gadis itu. Tidak hanya cantik, dia anggun dan modis. Wajar kalau HansH belum bisa move on darinya.
"Hei, kau sama cantiknya dengan Alisah, tahu! Hanya saja penampilanmu kurang modis. Kau terlalu sederhana. Tapi, yeah, itu yang membuatmu unik. Tapi kalau kau bisa berpenampilan semodis Alisah, aku jamin, HansH akan jatuh cinta padamu. Akan kelepek-kelepek malah."
Huh! Menggelikan. Aku menggeleng-gelengkan kepala mendengar penuturan Neha. "Sama cantiknya bukan berarti bisa membuat seorang pria berpaling dengan mudah, Sayang. Kecuali kalau wajahku ini sama persis. Dia akan mengira kalau aku Alisah dan dia akan mencintaiku sebesar cintanya kepada Alisah. Hmm?"
"Ya sudah, kau operasi saja wajahmu itu. Hmm? Kau akan menjadi Alisah dan HansH Mahesvara akan mencintaimu dengan segenap jiwa dan raganya."
Ya Tuhan, dasar gadis tidak waras!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Deliana
saat pertama aq mmbuka apl NT,, aq lngsung mncari d rak buku q mr hans,, aq sngat kcewa ternyata sdah dihapus,,.
2023-03-23
1