Ramai. Keadaan Pasar Natal yang terkenal di Birmingham memang sedang ramai-ramainya, dipenuhi orang yang berbelanja kado Natal pada menit-menit terakhir dan berkerumun di sekitar stan-stan kayu yang menjual bir. Lampu-lampu berwarna yang digantung di atas kepala berpendar terang dengan latar langit malam bulan Desember yang kelabu sementara musik Natal membahana tanpa malu-malu dari pengeras suara di sepanjang ruas New Street.
"Zia! Kau mau ke mana? Maafkan aku, kumohon kembalilah! Zia!"
Di belakangku, teriakan Kak Sanjeev berbaur ke dalam riuh rendah para pembelanja dan lagu-lagu hit Natal lawas. Kupercepat langkahku, berjalan membabi buta melawan gelombang arus tubuh manusia, wajah-wajah mereka yang tak terhitung jumlahnya berseliweran di depanku, tanpa senyum dan tanpa peduli. Aku sudah cukup mempermalukan diriku sendiri: hal terakhir yang kubutuhkan yaitu hubunganku dan Kak Sanjeev sebelum pernyataan cintaku tadi.
Saat kulewati tiap toko, tulisan obral mereka mulai berubah bentuk menjadi penilaian yang mengutuk tindakan-tindakanku, berseru kepadaku dari tiap jendelanya yang terang:
...Sinting!...
...Dasar bodoh!...
...Apa yang kaupikirkan...?...
Sementara keramaian yang saling sikut itu mendorongku ke arah pilar-pilar marmer balai kota, Paul McCartney menyanyikan Wonderful Christmastime seakan-akan lagu itu seharusnya di akhiri dengan tanda tanya ironis. Tidak mampu membebaskan diri, kudapati diriku bergerak mengikuti arus pengunjung. Tapi aku tidak merasakan apa-apa: pasca inderaku dibuat mati rasa oleh tubuh-tubuh tanpa wajah yang mengimpitku, dan hatiku terlalu terkepung oleh gema kata-kata Kak Sanjeev yang tak berkesudahan untuk bisa lebih mempedulikannya. Sama sekali tidak mampu memahami malapetaka besar yang baru saja kuhasilkan, aku pasrah terhadap kekuatan tak terelakkan dari kerumunan itu dan, cukup harafiah, mengikuti arus saja.
Apa yang terlintas dalam benakku saat mengatakan kepada lelaki terbaik di dalam hidupku ini bahwa aku mencintainya? Aku bahkan sama sekali tidak berencana mengatakan itu -- dan sekarang aku tidak percaya sudah menyemburkan rahasia terbesarku sekonyong-konyong. Semenit sebelumnya kami sedang menertawakan karakter hantu dalam film komedi yang tadi kami tonton, senyumnya begitu hangat dan matanya berbinar sebagaimana biasanya saat kami sedang mengobrol berdua dalam pembahasan yang menyenangkan. Berikutnya aku mengakui perasaan-perasaanku kepadanya yang sudah kupendam selama empat tahun. Apa gerangan yang membuatku mengira itu ide yang bagus?
Mungkin karena Most Wonderful Time of the Year alias Saat Paling Indah dalam Setahun akan segera tiba. Terima kasih untuk lagunya atau suasana meriah yang memenuhi kota hari ini yang menyebabkanku mengungkapkan perasaan-perasaanku terhadap Kak Sanjeev seperti tadi. Mungkin akibat terlalu sering menonton adegan di film-film ceweklah yang mendorong kewarasanku ke jurang dan membuat seluruhnya tampak seperti ide yang terhebat.
Dicampakkan begitu saja oleh keramaian itu di dasar tangga batu besar Victoria Square, aku berhasil menjejalkan diri melalui celah para pembelanja yang berimpitan dan bergerak lambat lalu muncul dengan kehabisan napas di suatu relung kecil yang dipenuhi udara beraroma pinus dekat pagar pembatas yang mengelilingi dasar pohon Natal Swiss raksasa. Air mata menyengat mataku dan aku menelan ludah dengan marah berusaha menahannya agar tidak jatuh namun sia-sia.
Ada apa denganku? Bagaimana aku bisa begitu keliru? Bodoh sekali, Zia! Mestinya kau berpikir ribuan kali sebelum bicara.
Ponselku berdering di dalam tas, tapi aku tidak sanggup menerima telepon, jadi Stevie Wonder melanjutkan nyanyian Sir Duke-nya tanpa kusela seperti yang biasanya terjadi.
Hari itu sabtu terakhir sebelum Natal. Aku sengaja datang ke sana untuk melihat-lihat keramaian orang-orang yang bersuka ria menyambut Natal. Barangkali aku akan menemukan sesuatu yang ingin kubeli. Tapi ternyata, hati yang remuk dan dipenuhi rasa malu yang malah kudapatkan pada hari ini.
"Zia!"
Kepalaku tersentak tegak dengan ngeri ketika melihat Kak Sanjeev berusaha menerobos di antara kerumunan, di jalan sebelah sana. Tidak, ini jelas tidak akan terjadi sekarang. Aku tidak sanggup menghadapinya. Rasa malu seberat timah yang mencengkeram isi perutku saja sudah tidak tertahankan. Berbalik, aku kembali masuk ke dalam keramaian lalu terus berlari.
"Oh, ayolah, Zia! Berhentilah!" Kak Sanjeev memanggil di belakangku, kali ini lebih dekat.
Menoleh, aku balas berseru. "Pulanglah, Kak! Aku butuh waktu untuk sendiri."
Aku melihatnya berhenti, melempar kedua tangannya ke udara lalu berputar kembali ke dalam kawanan pembelanja di belakangnya. Marah terhadap diriku sendiri karena sudah menciptakan situasi buruk ini, aku ingin membuat jarak sejauh mungkin di antara aku dan adegan kuputusan terburukku tadi. Air mata menggenangi mataku saat lagi-lagi aku berlari, bergegas menerobos ketebalan tubuh-tubuh yang mengerubungiku. Sebagian dari diriku menginginkan Kak Sanjeev mengikutiku, menjajari langkahku dan berkata bahwa reaksinya berlebihan, bahwa aku tidak keliru, tapi aku tahu itu tidak akan terjadi dan aku benci diriku sendiri karena menginginkan yang tidak mungkin untuk terjadi. Dengan gusar, kuseka air mata -- sepersekian detik sebelum melihat tubuh tinggi seorang pria muncul persis di depanku dan tubuhku menubruknya tak terkendali.
Hela napas berbarengan terdengar dari kerumunan pembelanja saat aku terjatuh, lengan dan tungkai menggapai-gapai, terjerembap dalam gerakan lambat yang sama sekali tidak anggun. Sialnya, kemalangan ini ditambah lagi dengan kesialan berikutnya, suara derak tak terelakkan yang membuat perut melilit saat tubuhku menghantam jalanan batu bongkah yang keras dan terhenti di atas aspal berlapis es.
Butuh sesaat bagiku untuk mengatur napas, telingaku berdengung akibat pertemuan tak mengenakkan antara kepala dan aspal. Kutahan air mata karena menahan malu dan kucoba untuk bangkit berdiri. Dan...
Pada saat itulah kulihat dia. Pria tinggi yang kutubruk mengulurkan tangan kepadaku. Ketika kuangkat tatapan, aku berhadapan dengan pria yang bisa dibilang paling tampan yang pernah kulihat. Luar biasa tampan. Mata hitamnya menangkap cahaya dari lampu-lampu Natal yang berwarna-warni di atas, sementara helai-helai rambut hitamnya memantulkan cahaya biru berkelap-kelip dari lampu-lampu kecil yang membingkai atap stan mainan. Warna kebiruan bekas cukuran menghiasi garis rahangnya dan kulihat tulang pipinya cukup terpahat jelas.
"Terima kasih," ucapku setelah menerima bantuannya. Aku kembali berdiri tegap. "Maafkan aku. Aku... aku tidak sengaja menabrakmu tadi. Maaf?"
Dia mengangguk. "Tidak apa-apa. Bukan masalah besar," jawabnya sambil mendorong kedua tangan ke dalam saku mantel.
Sesaat, kami berdiri tanpa bicara, napas kami membubung dalam uap air yang bermandikan cahaya lampu Natal. Jelas tidak seorang pun di antara kami tahu harus berkata apa dan rasa canggung dari kesunyian itu membuat rasa malu sebelumnya kembali membanjiriku. Sementara, di sisi lain, aku sadar bahwa dia mengamatiku, seoalah-olah dia penasaran dengan wajah di balik masker yang menutupi wajahku. Terlebih caranya menatap mata hitamku, seolah dia berusaha untuk mengenali diriku. Dan aku tidak bisa menjelaskan sebabnya, karena aku tidak mengenali pria itu. Bagaimana mungkin dia mengenalku?
Tidak masalah. Kupikir tidak ada salahnya jika aku mencoba bersikap ramah. Tanpa berpikir panjang, aku menjulurkan tanganku kepadanya. "Namaku Zia."
Berbalas. Dia menyambut jabat tanganku. "HansH. HansH Mahesvara."
"Senang mengenalmu."
Pria itu hanya mengangguk. Dia jelas hanya bersikap sopan, logikaku berbicara, hatiku melesak, dan sekarang dia mencari alasan untuk pergi.
"Yah, sebaiknya aku...." Aku mengangguk ke arah balai kota di belakang kami, seakan-akan ini akan jadi isyarat universal dari belanja Natal yang masih harus kulakukan sebelum aku bisa pulang. Untungnya, tampaknya dia mengerti, mengangguk sambil menunduk memandangi kakinya. "Sekali lagi terima kasih."
Dia mengangkat tatapan mata indahnya sekali lagi ke arahku. "Tidak masalah. Selamat Natal."
Saat bergegas pergi, aku merasa ingin berteriak. Belum puas hanya dengan menghancurkan persaudaraanku dengan Kak Sanjeev dan membuat diriku sendiri tampak bodoh di hadapan sebagian besar para pembelanja di kota, sekarang aku mempermalukan diri di depan seorang cowok yang sangat tampan.
Bagus, Zia. Bagus sekali! Kau hebat!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Rifa Endro
kok aku masih belum memahami alur ceritanya ya ? apa karena baru bab2 awal ?
2023-06-15
1
Deliana
hans penasaran,, wajah zia...
2023-03-23
1
Ninin Primadona
👍😍
semangat
2022-12-27
1