"Apa? Apa aku tidak salah dengar? Kau berkenalan dengan HansH Mahesvara? Pria yang mau namanya ditulis dengan hurup H kapital depan dan belakang? Serius?"
Ugh! Neha memberondongku dengan heboh ketika aku menceritakan hal itu kepadanya. Sungguh dia berlebihan. "Ayolah, Neha. Aku tidak mengenalnya. Mana aku tahu kalau dia mau namanya ditulis dengan H kapital depan-belakang. Entah kita membicarakan HansH yang sama atau tidak, aku tidak tahu."
"Pasti orang yang sama, Zia. Tapi yang aku tidak habis pikir, bagaimana mungkin pria itu mengulurkan jabat tangan dan memperkenalkan dirinya kepada orang asing kalau perkenalan itu tidak ada hubungannya dengan bisnis keluarga Mahesvara? Apalagi, maaf, untuk orang yang tidak sepenting dirimu bagi seorang HansH. Wow!"
Euw! Kucubit bahu gadis itu keras-keras. "Kau menghinaku, hmm?"
Praktis, gadis itu tergelak hebat. "Semoga saja itu benar, bukan sekadar khayalan karena kau depresi setelah ditolak oleh Kak Sanjeev."
Hmm... kukeluarkan desa* panjang sambil melesak ke dalam sofa berukuran raksasa milik Neha di apartemen pusat kotanya yang apik. "Harusnya tadi aku tidak bercerita kepadamu."
Dengan penuh perhatian, Neha meletakkan sebelah tangan ke lenganku. "Tidak, Teman, kau benar sekali menceritakannya kepadaku. Walaupun hanya supaya bebanmu sedikit berkurang dan kau sedikit lega."
Kadang-kadang aku bertanya-tanya bagaimana aku bisa punya teman seteatrikal Neha padahal dia bekerja sebagai seorang perencana acara. Tapi sudahlah. Aku sudah sangat terbiasa dengan semua kelakuannya.
Aku tidak yakin ingin mendengar ini sekarang, tapi aku masih limbung akibat peristiwa-peristiwa yang baru saja kualami. Dalam keadaan linglung setelah semua yang terjadi di Pasar Natal itu, aku terhuyung-huyung ke stasiun kereta dalam kabut emosi dan shock. Melorot di kursi, dengan otak mati rasa, kutelepon satu-satunya teman yang akan mengerti aku. Neha teman terdekatku sejak sekolah dasar dan dia mengenal Kak Sanjeev hampir selama aku mengenalnya. Kami sama-sama menghabiskan masa kecil di India, hingga beberapa tahun terakhir setelah ibu kami meninggal, Kak Sanjeev memutuskan kami harus meninggalkan India dan menetap di Inggris. Beruntung bagiku karena teman baikku, Neha, dia sudah menetap di Inggris beberapa bulan sebelum aku dan Kak Sanjeev pindah ke negara ini. Jadi, di tempat baru ini, aku tidak kesulitan beradaptasi dan tidak perlu mencari teman baik lain karena aku sudah memilikinya di sini.
Well, Neha bersikeras agar aku naik kereta ke kota lalu langsung ke apartemennya. Dan aku menurut. Aku tiba di apartemen apik milik Neha di samping kanal, sederet dengan bar dan restoran elegan di Brindley Place.
Dengan mata membelalak karena khawatir, Neha mendengarkan tanpa bicara saat aku menceritakan kejadian-kejadian yang aku alami. Namun begitu aku selesai, dia langsung meluncurkan komentar berapi-api.
"Sudahlah, lupakan saja tentang Kak Sanjeev. Cinta tak terbalas itu adalah hal yang biasa. Tidak perlu dipikirkan. Oke? Nah, berhubung kau bertemu dengan HansH Mahesvara dan setidaknya kau mendapatkan respons positif dari pria itu, barangkali saja itu pertanda bagus. Kudoakan kalian berdua segera berjodoh. Aamiin."
Ya Tuhan... gadis itu, sebegitu mudahnya dia mengucapkan sesuatu yang sangat mustahil. "Lupakan saja apa yang baru saja kukatakan, oke? Kau sudah tidak waras."
Neha memberiku tiruan terbaiknya dari tatapan serius. "Oh, Zia, maafkan aku. Tapi harus kuakui itu agak aneh. Aku mengenal HansH. Maksudku, aku pernah menangani pestanya, sudah beberapa kali. Bahkan untuk pesta pertunangannya tahun lalu. Dan kau tahu, dia tidak pernah bicara padaku ataupun tim-ku. Semua diurus oleh tangan kanannya. Tapi, sekarang, kaubilang dia ada di Pasar Natal? Kau menabraknya, dia tidak marah ataupun mengabaikanmu seperti yang ia lakukan pada orang lain, dan, dia malah menolongmu? Itu hal yang mustahil. Demi Tuhan, mungkin itu pertanda baik untuk hidupmu."
Aku menggeleng. "Kau benar-benar tidak waras, Neha. Kau baru saja mengatakan kalau kau mengurusi acara pertunangannya. Dan sekarang kau mendoakan dia berjodoh denganku? Kau hilang akal."
"Tunangannya menghilang. Blasss... seperti angin, tanpa jejak."
Di saat itulah aku terdiam. Pantas saja seolah aku melihat duka di matanya saat dia menatapku.
"Omong-omong, tentang patah hati yang kau alami. Untung saja kau masih berpikiran sehat untuk datang ke sini. Kau merasa baik-baik saja sekarang? Apa kau butuh sesuatu?"
Aku menggeleng. "Aku baik-baik saja."
Neha menjentikkan jari. "Teh! Itulah yang kau butuhkan. Teh panas, kental, manis!" Dia melompat bangkit lalu melesat ke dapurnya yang kecil namun keren sebelum aku sempat protes. Pintu-pintu lemari dibanting, keramik-keramik beradu dan sendok-sendok berdenting di dalam gelas sementara si angin ribut berwujud wanita itu dengan berisik menyiapkan minuman yang tidak kuinginkan. "Teh merupakan hal terbaik untuk mengatasi shock, percaya padaku. Atau itu brendi, ya? Oh, aku selalu saja lupa...."
"Teh sudah cukup, terima kasih," aku cepat-cepat balas berseru.
Yeah, aku tidak menginginkan alkohol meskipun dalam keadaan patah hati seperti ini. Berbeda dengan Neha yang -- kendati sosoknya yang mungil, Neha mampu minum lebih banyak alkohol dibanding siapa pun yang sering minum bersamanya, termasuk Kak Sanjeev.
Ugh, Kak Sanjeev. Dalam kegilaan satu jam terakhir ini, aku hampir lupa kenyataan buruk reaksinya yang membuat usus bergejolak, tapi sekarang kenyataan itu kembali dengan mengerikan ke dalam perutku.
"Bagaimana kau akan mengatasi pertemuan pertamamu dengan Kak Sanjeev setelah ini?" tanya Neha, setelah dia menyodorkan cangkir berisi teh yang luar biasa manis dan panas mendidih ke dalam genggamanku.
Aku bergidik saat rasa malu kembali meluncurkan serangan menghancurkan perutku. "Entahlah. Itu belum terpikirkan sama sekali. Yang jelas aku sangat malu. Maksudku, apa sih yang kupikirkan? Kok bisa aku mengungkapkan perasaanku pada Kak Sanjeev?"
Neha meringis. "Taruhan, kau pasti merasa bodoh sekali." Melihat ekspresiku, dia refleks menaikkan tangan ke mulutnya. "Oh, Zia, maafkan aku! Maksudku bukan begitu."
Lagi, aku menggeleng. "Tidak apa-apa. Kata-katamu itu tepat sekali. Aku hanya tidak mengerti bagaimana aku bisa begitu keliru."
"Menurutku tidak begitu, Sayang. Setidaknya, itulah yang kita kira akan terjadi, cepat atau lambat. Tapi kau tahu benar bagaimana Kak Sanjeev, dia tipikal cowok yang tidak mau langsung mengakui masalah saat merasa terdesak sesuatu. Kau tahu itu."
Tanpa berpikir, aku meneguk teh, dan, aku terlonjak ngeri saat kandungan gula yang tinggi itu menggerus gigiku. Neha sama sekali keliru membaca reaksiku lalu ia menyengir bangga.
"Tuh kan, sudah kubilang teh adalah jawabannya."
Tidak ingin menyakiti perasaannya, aku menelan, sekalipun tiap jaringan dalam tubuhku menjerit melarangku. "Terima kasih."
"Kembali. Jadi, apa kau mau mengubah haluan cintamu? Bulan depan aku akan menangani acara peresmian hotel baru Mr. HansH. Kalau kau mau, kau bisa ikut denganku jika kau ingin mengenalnya lebih dekat. Bagaimana? Hmm? Pikirkan, Sayangku, siapa tahu akan ada jalan baru yang terbuka untukmu, untuk menggantikan tempat Alisah, tunangannya yang menghilang. Barangkali saja, pertemuan dua hati yang patah, bisa bertemu dan menyatu, ya kan? Mungkin kau dan HansH berjodoh."
Euw...! Temanku itu memang tidak waras. Zia menggantikan Alisah di hati HansH? Di dalam mimpi pun aku tidak akan berani mencobanya. Tidak sama sekali.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 128 Episodes
Comments
Deliana
takdir mngantarkn zia ke hans...
2023-03-23
1
Ninin Primadona
sebenernya.. kmrn itu kenapa siih..
kok terus gak ada gitu...
2022-12-27
2