William Joy Moran

...***...

Sudah lima belas menit mobil berjalan, dan Gisha masih tetap duduk diam di dalam sana, dia bahkan tidak berani menangis, karna ada William di sebelahnya.

Gisha cukup terkejut saat melihat William ada di dalam mobil, dia tidak menyangka bahwa pria itu sendiri yang akan datang menjemputnya.

Meskipun begitu, tidak ada kemarahan, tidak ada bentakan yang William lontarkan, dia hanya diam sejak Gisha datang.

"Tidak ada yang ingin istriku jelaskan soal masalah ini?"

Sepertinya William juga tidak tahan. Akhirnya dia membuka suaranya, melirik sang istri yang hanya diam membeku.

"Maaf." Gisha tau dia salah, memberikan penjelasan apapun tidak membuat kesalahannya menjadi benar. Lagipula, dia juga tidak ingin membela diri.

"Hanya itu? Setelah satu minggu pernikahan kita, dan kau kabur kembali kesini, hanya itu penjelasan yang ingin kau katakan?"

Gisha tidak menjawab apa-apa lagi, memang sudah seminggu sejak mereka menikah. Gisha merasa tidak tahan, dan akhirnya dia pergi dari rumah suaminya dan kembali ke rumah ini, tapi sayang kembali ke rumah ini tidak membuat Gisba bahagia. Rumah ini bukan lagi tempatnya untuk pulang, ini sangat jauh dari eskpetasinya.

"Lain kali jangan ulangi itu."

"Anda sendiri kan juga pergi setelah malam pertama kita, kenapa saya tidak boleh pergi?"

Benar, Gisha pergi karna kesal juga dengan William. Bagaimana tidak? Tepat setelah malam pertama mereka, tepat setelah William mengambil keperawanan Gisha, di pagi harinya dia sudah tidak melihat William lagi. Di pagi harinya, sosok disisinya yang memeluknya sepanjang malam telah hilang tanpa kabar apapun.

Bagaimana dia tidak kesal? Bagaimana Gisha tidak marah? Jujur saja, Gisha pikir setelah malam itu, dia tidak akan pernah melihat William lagi, William tidak akan kembali selama-lamanya, tapi nyatanya, sang pria itu datang kembali sekarang, dan kini duduk tepat di sebelah Gisha.

Oh, apakah dia kembali karna Gisha kabur? Mungkin jika Gisha tidak kabur, William tidak akan mencarinya?

"Aku menjalani pengobatan, istri ku ini tau kan? Kalau aku ini penyakitan, dan terkadang memiliki masalah mental." Dia tersenyum, tapi senyuman aneh yang begitu mengundang banyak kecurigaan. Gisha saja sampai begidik ngeri di sampingnya. Aura senyumannya benar-benar berbeda, seperti bukan aura orang yang lemah dan gila.

Orang lemah fisik dan mental, tidak akan bisa memberikan atmosfer dengan tekanan seperti ini.

"Tapi anda pergi tanpa mengatakan apa-apa, tanpa surat dan kabar setelahnya, bahkan itupun pergi setelah malam pertama kita, jadi saya pikir anda sudah bosan dengan saya dan pergi meninggalkan saya sendirian. Dibanding sendirian di rumah itu, saya merasa lebih baik kalau saya kembali ke rumah saya sendiri."

"Tapi nyatanya mereka tidak menerima mu kan, istriku?"

Cup ...

William meninggalkan satu jejak kecupan di pipi Gisha, tepat dimana bekas tamparan itu berada. Dengan tenang, William mengusap darah yang masih sedikit tersisa di pipi Gisha dengan tangannya.

Gisha yang sadar akan hal itu tiba-tiba merinding. Sentuhan sederhana itu mengingatkan dirinya, perih yang harus dia tahan di malam pertama saat itu. Sakit dan nikmat yang perlahan menggerogoti jiwanya di tengah malam.

"Apa ada luka lain?" Tanya William lagi, dia menatap tepat di retina Gisha, pandangan yang penuh makna.

"Tidak ada." Gisha menggeleng pelan.

"Mau ke rumah sakit lebih dulu atau langsung pulang ke rumah?"

"Saya gak punya rumah."

"Bercanda kan?" Lagi dan lagi, William mengeluarkan senyuman yang membuat Gisha ngeri sendiri. Tidak bisa dijelaskan, tapi auranya benar-benar menekan.

Saat William ada di mode seperti ini, Gisha sama sekali tidak berani membantahnya, atau bahkan mengatakan tidak. Senyumannya seperti hipnotis mengerikan yang membuat badan Gisha kaku seperti batu, ketakutan tersendiri hadir saat William tersenyum seperti itu.

"Ya, saya bercanda." Gisha tertekan, dia sesak, kebebasannya seperti direnggut. Jadi dia memilih menerima saja semua perkataan dan perintah William.

"Terdengar lucu, tapi jangan di ulangi ya, istri ku."

*Cup

Satu kecupan lagi William daratkan di kening Gisha, turun perlahan hingga sampai bibirnya. Ciuman yang tidak bisa Gisha tolak, dia tidak kuasa, badannya membeku. William seperti masuk menguasai diri Gisha, melakukan apapun yang dia suka terhadap perempuan yang kini berstatus istrinya.

Sungguh, tidak ada debaran cinta di hati Gisha, hanya ada ketakutan dan tekanan yang tidak ada habisnya. Jangankan menolak, sulit bagi Gisha untuk bernapas dengan normal sekarang.

"Kemari."

William menunjuk pahanya, bermaksud untuk meminta Gisha duduk di pangkuannya.

"Tidak, saya tidak ingin merepotkan Anda. Tubuh saya berat, dan anda juga kan sedang sakit. Anda sendiri yang bilang baru pulang dari perawatan."

Gisha berusaha setengah mati mengumpulkan keberanian untuk menjawab pertanyaan William.

Sungguh, demi apapun, siapapun, tolong bawa Gisha pergi dari sini sekarang, bawa dia jauh dari orang gila ini. Sensasi berada di dekat William benar-benar beda.

"Justru karna aku telah pulang perawatan aku jadi lebih sehat, hingga bisa memangku istri ku yang manis ini. Jadi, kemarilah."

Nada suara, tatapan, dan senyuman khas itu terus menekan Gisha.

"Iya." Hanya satu kata dan anggukan dengan pasrah yang bisa Gisha berikan. Dia duduk perlahan di pangkuan William.

Meski William sangat tampan dan menawan, tapi pria ini juga mengerikan. Sepertinya benar, bahwa ada yang aneh dengan mental orang ini. Gisha selalu berpikir untuk bisa lari dari pria ini.

William langsung memeluk Gisha dengan erat, mendaratkan wajahnya di leher putih sang istri. Tidak bergerak, hanya diam dan bersandar.

"Jangan pernah berpikir untuk lari dari ku." Peringat William lagi dan lagi. Sepertinya dia punya firasat kuat bahwa Gisha akan pergi jauh dari dirinya.

"Saya tidak akan lari, tidak tau juga mau lari kemana."

"Jangan sedih, orang tua seperti mereka memang sampah. Tapi, kita akan menjadi orang tua yang lebih baik untuk anak-anak kita nanti, benarkan istri ku?" William menarik badannya, mensejajarkan wajahnya dengan sang istri, menatap dalam-dalam di keheningan malam itu.

"Saya tidak tau, saya pikir saya tidak ingin menjadi orang tua."

"Kenapa? Kau takut jadi orang tua yang buruk?"

"Mungkin iya."

"Tidak apa-apa, pelan-pelan saja, tapi aku yakin istriku ini akan jadi ibu terbaik di dunia."

William meninggalkan satu jejak sayang di bibir Gisha, menenggelamkan wajahnya di leher sang istri, memeluk tubuh mungil itu dengan erat dan hangat. Mungkin nyaman untuk William, tapi tidak dengan Gisha, dia masih diselimuti rasa ketakutan akan William yang sering berganti-ganti wajah. Khususnya dengan nada suara dan senyuman yang acap kali dia keluarkan untuk meminta suatu hal pada Gisha, yang tidak boleh Gisha tolak sama sekali.

Gisha hanya bisa diam dan menuruti saja segala perkataan William. Benar, Gisha itu seorang wanita yang lemah, Gisha mengakui hal itu. Setelah dia dicampakkan oleh ibu kandungnya, kewarasannya sepertinya sedikit terganggu, masih ada trauma yang tidak bisa Gisha jelaskan. Situasi kacau yang datang secara beruntun ini membuatnya sedikit kehilangan kesadaran.

Benar, Gisha tidak memiliki keberanian untuk membantah William, mendorong pria tampan itu, apalagi sampai lompat dari mobil. Gisha mengaku dia lemah, dengan memasrahkan dirinya. Setidaknya untuk saat ini, saat-saat dimana jiwanya sedang tidak baik-baik saja.

Terpopuler

Comments

Rita

Rita

hmmmmm

2022-12-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!