Zeva merutuki dirinya sendiri ketika kegiatan belajar mengajar telah usai dan seluruh siswa SMA BIMA SAKTI dibolehkan pulang. Ucapan sang guru seni sebelum kelasnya dibubarkan tadi membuatnya terus kepikiran.
Di mana beliau menugaskan murid-muridnya untuk menampilkan sebuah bakat seni sebagai penilaian wajib yang akan dilaksanakan minggu depan. Dalam kegiatan seni tersebut, satu kelompok maksimal terdiri dari lima orang siswa. Dikatakan bahwa seni yang boleh ditampilkan bebas, mau itu bernyanyi, band, memainkan alat musik, menari, maupun paduan suara, yang terpenting adalah seni.
Sedangkan Zeva, ia bingung harus satu kelompok dengan siapa. Dirinya baru dua hari menjadi siswi di sini, dan ia tak mengenal siapa pun di kelasnya.
Ingin Zeva berkenalan dengan salah satu dari mereka. Sayangnya, gadis itu terlalu gugup dan perasaan ragu terus menghinggapi dirinya.
Lalu minggu depan?
“Ck, gak tahu ah! Terserah nanti, deh. Sendirian juga gak pa-pa kali, ya,” gumam Zeva, di sela langkah kakinya menuju gerbang sekolah yang berjarak kurang lebih sepuluh meter dari posisinya saat ini.
Saat sedang tenang-tenangnya berjalan, sebuah lengan panjang terulur mencegat langkahnya. Refleks Zeva terjengit dengan kepalanya yang langsung menoleh, menatap seseorang yang kini tengah tersenyum usil padanya.
“Hai! Lo yang kemaren nempatin tempat duduk gue di kantin, ‘kan? Siapa nama lo?” Cowok yang tak lain ialah Gerald itu pun mulai menjauhkan lengannya dari hadapan Zeva. Kedua lengannya lantas ia lipat di depan dada dengan perhatian yang belum juga beralih dari gadis itu.
Zeva yang ditatap seintens itu oleh lawan jenis pun jelas merasa risih, apalagi ketika mengingat kembali gosip-gosip mengerikan yang tersebar di seluruh sekolah soal cowok yang berada di hadapannya ini.
“Gu-gue …”
“Z-E-V-A. Ooh, nama lo Zeva,” Gerald membaca papan nama gadis itu yang tertera di kemeja seragamnya.
Demi apa pun, tindakan Gerald barusan membuatnya semakin risih. Pikir Zeva, jangan-jangan matanya ke mana-mana?
“I-iya. Kalau gitu gue-” Zeva lagi-lagi menghentikan ucapannya saat Gerald berjalan mendekat ke arahnya. Tatapannya yang terasa begitu menusuk ditambah dengan kedua alisnya yang mengerut, membuat Zeva gelagapan.
Kenapa nih cowok? Marah?
“Tadinya gue mau nagih hutang, tapi .., besok aja, deh.” Ujarnya, sama sekali tak dimengeri Zeva. Selepasnya, cowok itu hendak melenggang dari hadapan Zeva, namun langsung ditahan oleh gadis itu yang dengan berani mencengkram salah satu pergelangan tangannya.
Ditatapnya datar Zeva yang tengah menatapnya dengan sorot kebingungan, tak berapa lama kemudian, Gerald lantas terkekeh pelan seraya melepaskan cengkraman gadis itu.
“Gue punya hutang apa sama lo?” Tanya Zeva. Semakin membuat Gerald merasa bahwa gadis yang baru dikenalnya itu begitu menarik.
“Lo lupa? Lo udah nempatin bangku gue. Tempat di mana gak ada seorang pun yang boleh duduk di sana kecuali gue. Kecuali .., orang itu pengin nyari masalah sama gue,”
Zeva terdiam dengan sepasang bola matanya yang sedikit melebar. Bulu kuduknya ikut berdiri tatkala mendengar penuturan dari cowok di hadapannya.
Pikirnya, apakah saat ini ia dalam bahaya? Apakah cowok yang berada di hadapannya ini akan membalaskan dendam?
“Gue-”
“Stop! Do not say anything!” Gerald menempatkan salah satu tangannya di hadapan Zeva membuat kedua alis gadis itu lantas berkerut bingung.
“Mulai besok, gue jamin hidup lo gak akan tenang di sekolah ini. I will annoy you, every day and every moment. So, see you tomorrow, Pretty!” Pungkasnya, kemudian melenggang begitu saja, tanpa membiarkan Zeva membalas ucapan anehnya.
“What?”
****
Deruman knalpot bising dari berbagai jenis motor, terdengar menggema di seluruh penjuru jalanan yang terbilang cukup sepi, yang senantiasa dijadikan sebagai tempat balapan liar oleh para pemuda yang jauh dari kata taat aturan.
Salah seorang cowok yang masih mengenakan seragam sekolah putih abu-abu, dibalut dengan jaket kulit berwarna khaki, tampak menikmati suasana bising tersebut dengan sesekali menyesap ujung tembakau di mulutnya.
Diapit oleh sepasang gadis berpakaian minim yang berdiri di samping kanan dan kirinya, cowok itu terlihat begitu menikmati ketika kedua gadis itu seolah menggodanya dengan sesekali mendusel-duselkan kepala mereka di bahunya.
Tawanya seolah tak pernah luntur dari sejak pertama kali cowok itu meninginjakkan kakinya di tempat terlarang itu.
“Ger! Gak ikutan lo?” Sahutan diiringi tepukan pelan di motornya membuat cowok yang tak lain ialah Gerald itu pun menoleh. Rokok yang tinggal separuh itu pun ia buang sembarangan, tak lupa ia pun menginjaknya sampai tak tersisa.
“Enggak. Gue lagi gak bawa duit,” ujarnya. Perhatiannya kembali pada pemandangan di mana teman-teman satu gengnya terlihat begitu asyik memainkan motor mereka.
“Ah, gak seru lo!”
“Bodo amat.” Balas Gerald, kemudian menepis kedua gadis di samping kanan dan kirinya itu, membuat mereka lantas menatapnya dengan sorot kecewa.
“Kenapa, Ger?” Tanya salah satu dari kedua gadis itu yang biasa dipanggil Nindi.
“Gue pulang duluan, ya. Besok gue dateng lagi, deh,” ujarnya seraya mengedipkan salah satu matanya pada Nindi, yang dibalas decak sebal oleh Sena, gadis cantik yang satunya.
“Sama gue? Lo gak pamit?” Sena mencebikkan bibirnya seraya bersidekap di tempatnya. Demi apa pun, ia cemburu melihat Gerald lagi-lagi hanya terpesona pada Nindi.
“Kenapa? Cemburu?” Gerald menarik pelan dagu gadis itu, sehingga tatapan keduanya pun bertemu.
Ditatap sedekat dan seintens ini oleh cowok setampan Gerald, bukan tidak mungkin gadis seperti Sena tidak gugup. Bahkan, Nindi yang tadinya menampilkan raut sombong mulai berganti iri kala melihat Sena yang diperlakukan manis oleh Gerald.
“Apaan, sih,” gerutu Sena mencoba tetap cuek, namun tidak bisa. Bibirnya berkata lain ketika seulas senyum malu-malu itu terbit di wajahnya.
“Gue duluan.” Ujar Gerald, sembari berbisik. Tak lama kemudian, cowok itu mulai mejauhkan dirinya dari Sena, lalu memakai helm di kepalanya. Setelahnya, ia mulai menyalakan mesin motor. Kemudian menjalankannya dengan kecepatan di atas rata-rata.
Di perjalanan pulang, Gerald tak henti-hentinya terus memasang senyuman misterius di balik helm full face-nya.
Tidak! Cowok itu bersikap demikian bukan karena memikirkan Nindi maupun Sena. Melainkan karena seorang gadis bernama Zeva yang entah mengapa wajahnya selalu terbayang di benaknya.
Entahlah. Mungkin karena dirinya tahu bahwa Zeva adalah mantan pacar Aldevaro? Sepupu yang selalu ia anggap musuh sampai kapan pun.
“Heh! Karena dia mantan lo, jadi, biarin sekarang dia jadi milik gue.” Gumam Gerald, seraya mempercepat laju motornya.
****
Aldevaro berdesis pelan dengan sepasang bola matanya yang terpejam kuat. Tubuhnya mendadak bangkit dari atas tempat tidur dengan salah satu tangannya yang memijit pelan pelipisnya. Perkataan Daniel tadi siang ketika di rooftop sekolah masih sangat terngiang di kepala.
Mendengar ucapan Aldevaro yang mengatakan bahwa cowok itu baru saja menyapa mantannya sebelum masuk ke dalam kelas, membuat Daniel seketika dibuat syok. Cowok itu yang tengah menikmati sebotol minuman dingin yang ia pesan beberapa saat yang lalu di sebuah kantin, langsung ia muntahkan kembali.
“Sialan! Lo beneran nyapa dia? Ini … cuma bercanda, ‘kan?” Daniel menaikan salah satu alisnya seraya menatap Aldevaro dengan tatapan tak percaya. Berharap apa yang dikatakan oleh salah satu sahabatnya barusan hanyalah tipuan belaka untuk membuatnya sakit jantung.
Aldevaro menghela napas berat dengan tatapannya yang tertuju pada langit cerah yang hampir tak diisi awan-awan. “Gue serius.” Ujarnya singkat. Refleks Daniel mengernyitkan dahinya.
“Gue bahkan berangkat pagi-pagi dari rumah ke sekolah, cuman biar bisa berpapasan sama dia.” Lanjutnya. Seketika membuat Daniel lagi-lagi memuntahkan minumannya yang baru ia tenggak sedikit.
“What?!” Pekik Daniel, tepat di depan telinga Aldevaro.
Aldevaro yang mendengarnya dengan sangat-sangat jelas itu pun lantas menatap Daniel dengan sorot dingin, seolah meminta cowok itu untuk berhenti bersikap terlalu lebay.
Daniel meringis, bukan karena tatapan dingin dari sahabatnya. Melainkan karena cerita serta kejujuran telak yang terucap dari mulut seorang Aldevaro.
“Lo … segitu gak bisa move on-nya lo dari si Zeva? Sampe segitunya, jir. Balikan lagi, gih!” Ujar Daniel asal. Cowok itu sudah muak mendengar cerita dari Aldevaro.
“Lo gila? Ya kali gue balikan sama dia,”
“Nyenyenyenye,” balas Daniel jengah, kemudian lanjut meminum minumannya tanpa mau menatap wajah Aldevaro.
“Gue pengin balas dendam.” Ucap Aldevaro tiba-tiba. Membuat Daniel lantas kembali menolehkan kepalanya menatap cowok itu.
Bertepatan dengan itu, Aldevaro menoleh ke arahnya. Namun tiba-tiba, Daniel menyemburkan minumannya yang berada di dalam mulut tepat di wajah tampan Aldevaro. Refleks cowok itu memejamkan kedua matanya dengan sesekali menahan berbagai kekesalan.
“Lo-”
“Lo mau balas dendam?” Tanya Daniel, seolah lupa dengan apa yang baru saja ia lakukan pada Aldevaro.
Aldevaro mengusap kasar wajahnya, kemudian mengelap tangan yang sempat ia gunakan untuk mengusap wajahnya tersebut tepat di atas seragam sekolah Daniel yang bisa dibilang baru saja dicuci.
Daniel ingin marah, tapi ia tak bisa. Masih untung Aldevaro tidak membalaskan dendam atas kejadian barusan yang menyebabkan wajah, rambut, serta kerah kemejanya basah berwarna oranye dari minuman yang ia semburkan tadi.
“Maka dari itu, gue mau minta bantuan lo. Lo ‘kan, playboy!” Celetuk Aldevaro. Entah itu sebuah pujian atau ledekan, yang jelas, Daniel ingin menghajar mulut cowok itu yang bisa-bisanya mengatainya playboy.
Kek pernah pacaran sama gue aja lu, batin Daniel menggerutu.
“Ya udah, ya udah. Lo maunya dia kayak gimana?”
Aldevaro tampak berpikir sejenak. Tak berapa lama kemudian, cowok itu menjentikkan jarinya. “Gue pengin dia ngerasain hal yang gue rasain pas dia mutusin gue.”
Kini giliran Daniel yang terdiam seraya berpikir sok keras. Tak butuh waktu lama, cowok itu mulai menyunggingkan senyum tipis dirasa telah menemukan sebuah ide.
“Gue tahu!”
“Apa?”
Daniel lagi-lagi tersenyum membuat Aldevaro sedikit dibuat ngeri oleh cowok itu.
“Lo berusaha deketin dia lagi. Entar kalo dirasa dia punya perasaan lagi sama lo, lo tembak dia!” Ujar Daniel. Namun Aldevaro merasa tak cukup yakin akan usulan dari cowok itu.
“Sama aja dong. Ujung-ujungnya ‘kan gue balikan lagi sama dia,”
“Bedalah! Setelah lo balikan lagi sama dia, lo campakkin dia! Seperti yang udah dia lakuin ke elo dua tahun yang lalu.”
Aldevaro menghela napas berat seraya menjatuhkan dirinya kembali di atas tempat tidur. Setelah mengingat setiap inci kilas baliknya dengan Daniel, membuatnya bingung harus bagaimana? Haruskah ia mengikuti saran Daniel dengan kembali berhubungan dengan Zeva?
Lalu, mencampakkannya?
Tidak!
Rasanya, itu bukanlah gayanya. Tetapi, kedatangan gadis itu yang tiba-tiba ke dalam hidupnya sudah membuatnya tersiksa seperti ini. Sudah dua malam ia tidur larut begini.
Lihatlah jam yang berada di dinding kamarnya!
Sudah menunjukkan pukul 1 malam lewat 39 menit.
“Aaghhhh! Pokoknya gue harus balas dendammm!” Teriak Aldevaro dengan suara yang teredam. Bisa-bisa orangtuanya mendadak masuk jika dirinya berteriak kencang di tengah malam begini.
Aldevaro kemudian membenarkan posisi duduknya di atas tempat tidur. Dengan menarik napasnya dalam-dalam, cowok itu memulai latihannya.
“Lo mau ‘kan, balikan sama gue?” Aldevaro berdesis ngilu mendengar suaranya sendiri yang terdengar begitu aneh ketika mengucapkan kalimat keramat itu.
Balikan? Sorry, ini cuman akting. Aldevaro hanya ingin hidup tenang setelah cowok itu menyelesaikan acara balas dendamnya.
****
Kata ‘sial’ seolah sudah melekat dalam diri Aldevaro semenjak kedatangan sang mantan ke sekolahnya. Di pagi yang seharusnya jadi hari pertama ia memulai pembalasan dendam, cowok itu malah datang terlambat akibat kemarin malam ia baru bisa tidur ketika jarum jam pendek menunjukkan pukul dua pagi.
Dan sialnya lagi, ia dihukum oleh satpam penjaga sekolah bersama sang guru BP yang berdiri tepat di depan gerbang sekolah.
Aldevaro diceramahi habis-habisan, karena murid paling teladan kesayangan guru itu bisa-bisanya datang terlambat ke sekolah.
Jika satu menit dua menit, masih dianggap normal. Ini Aldevaro terlambat sampai dua belas menit. Benar-benar keterlaluan!
Dan saat ini, disaat siswa-siswi kelas XI IPA 1 tengah melaksanakan olahraga di lapangan, Aldevaro dengan sial diharuskan melakukan lari keliling lapangan sebanyak sepuluh kali.
Mana para adek kelas perempuan banyak yang memerhatikan gerak-geriknya, lagi. Benar-benar membuat risih.
“Semangat, Bang! Hahaha!” Sebuah sahutan melengking diiringi gelak tawa dari arah yang cukup berjauhan, membuat Aldevaro sedikit tertarik untuk menoleh.
Dan saat menoleh, sudah ada Chiko tengah tertawa terbahak-bahak dikelilingi teman-temannya.
Ya. Kelas yang sedang berolahraga tersebut tak lain adalah kelasnya si Chiko.
“Awas lo, Chika!” Aldevaro melemparkan tatapan mautnya pada Chiko, membuat cowok itu tanpa sadar mengepalkan kepalan tangannya. Tidak dengan para siswi di kelasnya yang tiba-tiba menjerit mendengar suara adem milik Aldevaro.
Dengan menarik napasnya dalam-dalam, Chiko berkata, “CHIKA ADEK GUE! GUE CHIKO, ANJ*R! CHIIIKKOOOO!”
Siapa sangka, kini giliran Chiko yang ditertawai teman sekelasnya akibat panggilan asal yang diberikan oleh Aldevaro padanya.
“Diem lu pada!” Gertak Chiko, membuat teman-temannya lantas menghentikan candaan mereka.
****
“Al! Lo dari mana aja? Pak Sepno dari tadi nyariin lo tahu? Kok, lo baru masuk sekarang, sih?” Setibanya di dalam kelas, kehadiran Aldevaro langsung kena semprot Diandra, teman sekelas sekaligus sepupu angkatnya itu.
Jam masih menunjukkan waktu belajar. Namun beruntung, setelah kedatangan Pak Sepno tadi yang hanya memberikan tugas karena beliau sedang ada urusan penting, tidak ada lagi yang masuk ke dalam kelas XII IPA 1.
Setidaknya, Aldevaro tidak akan kena semprot oleh guru yang mengajar atas keterlambatannya
Aldevaro tidak memedulikan pertanyaan merentet dari mulut Diandra. Cowok itu memilih mendudukkan dirinya di tempat duduknya yang berada di meja paling pinggir samping jendela di urutan paling depan.
“Sekarang Pak Sepno mana?” Tanya Aldevaro, dirasa dirinya sudah merasa jauh lebih tenang dari sebelumnya.
Diandra menghela singkat. “Sekarang dia lagi dinas, katanya ada perlu. Lo ke mana aja, sih? Kok, baru sampe? Gak biasanya lho, lo kayak gini,”
“Gue terlambat dua belas menit. Jadinya ya, gue dihukum lari keliling lapangan sepuluh putaran.” Ujar Aldevaro, membuat Diandra seketika melebarkan matanya.
“Dihukum? Serius?” Tanya Diandra sekali lagi mencoba memastikan. Dan anggukan singkat dari Aldevaro membuatnya seketika tergelak.
Aldevaro berdecak sebal melihat gadis itu yang bisa-bisanya tertawa disaat seperti ini. Dengan kesal, Adevaro menarik hidung Diandra sampai membuatnya dibuat meringis sampai menghentikan tawanya. Kini gantian, giliran Aldevaro yang tertawa.
“Sakit!” Adu gadis itu seraya mengusap pelan hidungnya yang tampak memerah.
“Makanya jangan ngeledek. Karma tuh,” ujar Aldevaro, kemudian bangkit dari kursinya.
“Wei! Mau ke mana? Tanggung jawab hidung gue sakitttt!” Pekik Diandra pada Aldevaro yang mulai melenggang keluar kelas.
“Kantin!” Ujar cowok itu singkat. Salah satu tangannya ia lambaikan ke belakang tanpa sedikitpun menoleh pada Diandra.
Di sisi lain, Diandra terdiam membeku dengan jantungnya yang mulai berdegup kencang. Pipinya bahkan terasa begitu panas saat ini. Jangan-jangan, pipinya memerah?
Buru-buru gadis itu meraih cermin bulat yang selalu ia taruh di dalam saku roknya. Dan ketika ia melihat pantulan wajahnya di cermin tersebut, seketika dirinya langsung berdeham dan kembali memasukkan cerminnya ke tempat semula.
Sial! Wajahnya benar-benar memerah!
Beruntung Aldevaro sudah lebih dulu pergi, sehingga cowok itu tidak melihat perubahan rona wajahnya. Dan beruntungnya lagi, kelas tengah sepi. Pengaruh guru yang hanya masuk memberikan tugas membuat Diandra bersyukur setulus-tulusnya.
Beberepa saat terdiam sendirian, seulas senyum malu-malu tiba-tiba terbit di wajah cantik gadis itu. Kedua tangannya pun terus-menerus memainkan rambutnya yang tergerai panjang.
“Dasar!” Gerutu Diandra, kemudian melenggang keluar dari dalam kelas.
Niatnya saat ini adalah, ia akan pergi menyusul Aldevaro ke kantin. Ia akan kembali mendekati cowok itu dengan caranya.
Setidaknya, Diandra dapat kembali melihat senyuman Aldevaro yang terbilang langka itu, walaupun senyuman itu tak berarti apa-apa baginya.
Suatu hari, lo akan sadar bahwa orang yang mencintai dan yang selalu ada buat lo, adalah gue, Al!
To be continue...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Anya
segans apa si s gerald smpe cewek" pd ngarep bgt
2023-01-29
0
Anya
ngeri jga wataknya
2023-01-29
0
Istrinya Kim Mingyu
tdk menyangka seorang chiko yg ngeselin punya ade jga hahahaa
2023-01-24
0