Mimpi…
Kejadian yang sudah cukup lama itu kembali terulang dalam mimpi. Kejadian yang seharusnya telah aku lupakan, namun malah berakhir terus terbayang.
Senyumnya, tawanya, dan tingkah konyolnya, serta sikapnya yang perhatian, seakan menjadi kutukan buatku yang telah begitu tega mencampakkan.
Dia yang memiliki hati bak malaikat diharuskan bertemu diri ini yang memiliki banyak rahasia dan tipu muslihat. Satu saja kata maaf, rasanya takkan pernah bisa diterima olehnya yang telah begitu dalam kusakiti.
Cintanya yang tulus harus kuakhiri dengan sepihak. Tak peduli bagaimana responnya ketika mendengar kalimat itu.
“Kita cukup sampai di sini aja,”
Maaf! Kata-kata itu pasti telah sangat menyakiti kamu. Bukannya aku sudah tak memiliki rasa, namun karena aku tak ingin menyakitimu terlalu dalam.
Cukup hanya aku yang terluka. Jangan sampai kamu terkena imbasnya.
Zeva mulai menutup buku diary-nya setelah gadis itu dirasa selesai mengungkapkan curahan hatinya di sana. Ya, gadis itu baru saja menuliskan berbagai emosi dan perasaannya ke dalam sebuah buku binder berukuran A5 dengan sampul berwarna pink yang terbuat dari kulit sintetis.
Helaan napas berat ia embuskan tatkala ingatannya lagi-lagi melayang pada kejadian dua tahun yang lalu di mana keluarganya yang harmonis hancur berantakan dalam satu malam. Bukan hanya itu saja. Hubungan cintanya yang baik-baik saja diharuskan kandas tanpa arah dan tujuan, akibat keadaannya yang waktu itu tak cukup memungkinkan.
Zeva mulai menarik napasnya dalam-dalam ketika salah satu sudut matanya mengeluarkan air mata. Tak ingin terus-menerus berlarut dalam kesedihan, gadis itu pun memilih bangkit dari posisi duduknya, kemudian melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda.
“Zeva! Kamu udah selesai beres-beresnya, Nak?” Suara sahutan dari luar kamarnya seketika mengalihkan perhatian gadis itu dari apa yang tengah ia lakukan.
Ketika ia menoleh ke arah pintu kamarnya yang setengah terbuka, Raya, sang mama berdiri dengan salah satu tangannya menggenggam ponsel. Spontan Zeva yang tadinya tengah memasang wajah muram langsung menarik kedua sudut bibirnya membentuk seulas senyuman.
“Bentar lagi, Ma. Tinggal alat-alat sekolahnya aja,”
“Cepetan, ya! Mobil yang akan bantu kita pindahan bentar lagi sampe, loh.” Ucap Raya. Membuat Zeva hanya dapat mengangguk seraya mempercepat geraknya seperti yang diinginkan sang mama.
“Mama tenang aja. Ini juga paling-“ Zeva langsung menghentikan ucapannya ketika suara dering ponsel terdengar memekakkan telinga mereka.
Diliriknya ke arah sumber suara, ponsel milik sang mama yang berada di genggamannya berdering dengan nama ‘penjual rumah’ tertera besar di layer ponselnya.
“Mama angkat dulu, ya. Kamu cepetan beres-beresnya. Nanti Mama ke sini lagi,” ujar Raya. Dan setelahnya, wanita paruh baya tersebut mulai melenggang dari dalam kamar puterinya.
Sepeninggalan sang mama dari kamarnya, Zeva lagi-lagi menghela napasnya cukup dalam dengan raut wajahnya yang kian masam. Omong-omong soal hari ini, ya, hari ini adalah hari di mana ia beserta sang mama akan kembali pindah rumah.
Sudah hampir menjadi ritual mereka setiap tahun untuk pindah dari satu kota ke kota lainnya. Zeva bahkan hampir tak memiliki teman akibat dirinya yang sering sekali pindah sekolah dan rumah. Beruntung tujuannya kali ini adalah Jakarta, kota di mana ia dilahirkan sekaligus kota di mana hubungan percintaannya dimulai.
Oh, ya, rumah yang akan Zeva tempati nanti bukanlah rumah lama mereka yang letaknya bertetanggaan dengan Aldevaro. Jadi, ia tidak akan merasa canggung jika sewaktu-waktu harus bertemu dengan cowok itu.
Ekhem. Omong-omong soal Aldevaro, kira-kira sekarang bagaimana kabarnya, ya?
“Zeva! Kamu udah beres-beresnya?” Teriakan nyaring dari luar kamarnya lagi-lagi mengenyahkan Zeva dari apa yang tengah ia lakukan. Dengan terburu-buru, gadis itu pun mulai mengambil sebuah kardus berukuran cukup besar yang berisi barang-barangnya yang baru saja ia bereskan.
Tak berapa lama kemudian, mamanya kembali mengunjungi kamar Zeva. Dirasa semuanya telah selesai dipindahkan, seulas senyuman terbit di wajah cantiknya. “Udah, Sayang?” Tanyanya sekali lagi, mencoba memastikan.
“Udah, Mah.”
“Ya udah. Kamu bawain satu-satu barangnya ke luar, ya. Yang nggak berat aja. Sisanya biar orang lain yang urus, oke?” Tutur Raya, yang dibalas anggukan kecil oleh Zeva.
****
“Nah, gimana menurut kamu soal rumah baru kita, Sayang? Kamu suka?” Raya mengalihkan perhatiannya pada Zeva, ketika setibanya ia beserta sang puteri di depan pekarangan rumah baru mereka.
Zeva tak langsung menjawab pertanyaan sang mama. Sepasang netranya terlalu sibuk menatap sekeliling halaman rumah barunya yang terlihat lebih kecil dibandingkan dengan rumah lamanya.
“Bagus kok, Mah.” Ujar Zeva, sesaat ketika netranya dirasa cukup melihat-lihat.
Kini giliran Raya yang tak langsung menjawab perkataan puterinya. Sepasang netranya bahkan mulai menatap Zeva dengan tatapan sendu yang hampir berkaca-kaca. “Maafin Mama, ya. Karena keegoisan Mama, kamu malah harus terus pindah-pindah kayak gini.”
Zeva yang tadinya tengah menunduk hendak mengambil tas yang ia taruh di teras langsung terjeda. Perhatiannya bahkan langsung beralih menatap sang mama yang baru saja mengatakan beberapa patah kata padanya.
“Kok, Mama ngomongnya gitu, sih? Aku gak pa-pa, kok, Ma. Serius! Lagian juga bisa nambah pengalaman juga, ‘kan, kalau pindah-pindah kota? Sekaligus bisa jalan-jalan juga. Iya, ‘kan?” Zeva menyunggingkan seulas senyuman, membuat Raya semakin dibuat tak dapat berkata-kata.
“Oh, iya. Mama bilang, besok aku bisa mulai sekolah, ‘kan? Gimana kalau sekarang kita masuk dulu, habis itu beres-beres?” Raya terkekeh pelan mendengar penuturan lain dari puterinya. Selang berapa lama, wanita itu pun mengangguk diiringi seulas senyum yang kembali terukir di wajah sendunya.
“Ya sudah. Nih, kamu yang bukain pintunya.” Ujar Raya, seraya menyerahkan kunci rumah baru mereka kepada Zeva.
****
Di sepanjang langkah menyusuri trotoar jalan raya, Zeva tak henti-hentinya terus termenung menatap sepasang kakinya yang berbalutkan kaos kaki dan sepatu. Raut wajahnya yang cantik terlihat begitu murung dengan sesekali mengehela napas Lelah.
Bukan tanpa alasan ia begitu. Hanya saja, hari ini adalah hari pertamanya kembali ke sekolah. Dan itu pun bukan sekolah lamanya, melainkan sekolah baru.
Berutung jarak antara sekolah dan rumahnya hampir berdekatan. Hanya perlu lurus sampai perempatan jalan, kemudian belok kanan terus lurus kembali, dan sampailah ia di sekolah barunya.
Sayangnya, ekspektasi tak sesuai dengan realita. Walaupun kedengarannya seperti dekat, nyatanya jarak yang ditempuh lumayan jauh juga. Ini sudah hampir lewat sepuluh menit, namun Zeva masih belum juga sampai di depan gerbang sekolah.
“Harusnya tadi dengerin kata Mama aja buat naik ojek, huuh!” Dengus Zeva, kemudian berdecak.
Cukup lama Zeva berjalan kaki sampai langkahnya terasa pegal, akhirnya gadis itu sampai juga di depan sebuah gerbang sekolah yang masih terbuka lebar dengan beberapa kendaraan beroda dua yang berlalu-lalang masuk dipandu oleh seorang satpam penjaga sekolah.
“Selamat datang di SMA BIMA SAKTI.” Zeva membaca tulisan besar yang tertulis di bangunan pintu gerbang yang paling atas dengan sesekali terkekeh pelan.
“Fix, gue harus betah di sekolah ini. Karena kalau enggak, gue akan tersiksa. Seperti yang dibilang sama Mama, ini pindahan yang terakhir kali.” Gumamnya lagi, kemudian melanjutkan langkah kakinya yang sempat tertunda akibat mengagumi tampilan sekolah barunya.
****
“Anak-anak, kita kedatangan murid baru. Perkenalkan, namanya Zeva. Mulai hari ini, Zeva akan tinggal di kelas kita, XII IPA 2.” Bu Rita, sang wali kelas XII IPA 2 membeberkan pengumuman singkatnya pada seluruh murid-muridnya di depan kelas.
Di depan sana sudah ada beliau dan juga si murid baru, alias Zeva, yang berdiri kaku dengan raut wajahnya yang gugup. Sedangkan siswa siswi lain yang berada di kelas tersebut perlahan mulai bosan dengan sesekali menguap.
“Ekhem. Namaku-”
“Bu! Tugas minggu kemarin dikumpulin kapan?” Sahutan seorang siswi yang berada di meja paling depan dekat meja guru lantas menghentikan niatan Zeva yang hendak memperkenalkan diri.
Perhatian Zeva serta seluruh kelas tak terkecuali Bu Rita lantas beralih pada gadis itu. Namun yang membuat Zeva terkejut adalah, satu kelas seolah menyela gadis itu dengan tatapan mereka.
“Oh! Tugas yang bikin makalah itu, ya? Ya sudah, kumpulin sekarang di meja Ibu. Dan untuk Zeva, kamu boleh duduk di meja paling belakang yang masih kosong.” Ujar Bu Rita. Dengan lesu sekaligus pasrah, Zeva pun mengangguk seraya melangkahkan kakinya ke meja paling belakang yang kebetulan masih kosong.
****
Bel tanda istirahat pertama berbunyi membuat seluruh siswa dan siswi yang masih berkutat dengan pelajaran yang diberikan masing-masing guru yang mengajar, perlahan mulai menutup buku mereka dengan perasaan riang. Apalagi saat guru yang mengajar di kelas tersebut langsung menghentikan sesi belajarnya, membuat perasaan senang itu semakin menyeruak. Seperti halnya yang terjadi di kelass XII IPA 2.
“Selamat istirahat anak-anak!” Pamit Bu Rita, kemudian melenggang membawa serta barang-barangnya meninggalkan kelas.
Sepeninggalan beliau, kelas menjadi riuh dengan suara ocehan para siswi yang lebih mendominasi. Suara bisikan-bisikan yang terdengar cukup jelas di telinga Zeva yang berada di meja paling belakang membuat gadis itu hanya bisa menghela napas atas pembicaraan mereka yang tak berbeda jauh dengan para siswi di sekolahnya dulu.
Ya. Apalagi kalau bukan membahas tentang laki-laki?
“Eh, eh! Katanya hari ini ada pertandingan seru di gor sekolah kita, lho!”
“Al lawan Si Gerald Begajulan itu bukan?”
“Lo tahu? Ke sana, yuk! Gue denger-denger mereka mulai pertandingannya pas istirahat pertama,”
“Hah? Gue kira pas istirahat kedua! Ya udah, yuk, ke sana!”
Zeva lagi-lagi menghela napas saat para siswi di kelas barunya terlihat begitu bersemangat berlarian keluar kelas. Dasar cewek!
Pertandingan di gor sekolah katanya? Apakah adu pertandingan badminton?
Kenapa rasanya Zeva juga pengin ke sana? Sudah lama Zeva tidak menonton pertandingan badminton secara langsung. Terakhir ia menontonnya ketika ia masih berada di sekolah lama.
“Gak tahu, ah! Mending gue ke kantin aja,” ujar Zeva bermonolog. Setelahnya, gadis itu mulai bangkit dari posisi duduknya dengan perasaan campur aduk.
****
Risih.
Ya. Satu kata itu mampu mendeskripsikan perasaan Zeva saat ini.
Ketika sesampainya di salah satu kantin yang cukup jauh dari kelasnya, semua mata seolah tertuju pada Zeva saat gadis itu menginjakkan kakinya di sana. Apalagi ketika Zeva mendudukkan dirinya di salah satu bangku kantin paling pojok yang berhadapan langsung dengan dinding yang penuh dengan coretan tinta bertuliskan berbagai kata-kata kasar.
Mereka kenapa pada lihatin gue gitu, sih? Batin Zeva. Sepasang netranya tak henti-hentinya menatap sekitar yang sesekali melayangkan tatapan padanya, entah itu tatapan tak bersahabat maupun tatapan cemas. Zeva pun tak paham dengan situasinya saat ini.
Memilih diam dan acuh tak acuh, namun suara bisikan dari beberapa siswa maupun siswi di dalam kantin semakin membuatnya tak nyaman untuk sekadar menyantap makan siangnya.
“Dia siswi baru bukan?”
“Kayaknya sih, iya! Kalau dia murid lama, dia gak akan nempatin bangku keramat itu,”
Bangku keramat katanya?
“Kasih tahu, gih! Kasian nanti kalau ketahuan orangnya bakal jadi objek bully!”
“Lo aja sana! Gue males. Tar tiba-tiba orangnya dateng lagi, ewhh! Gak mau gue!”
Sudah cukup!
Zeva benar-benar sudah tidak kuat dengan pandangan serta bisikan para siswa terhadapnya.
Walaupun ia hanya mendengarnya sekilas, tapi itu sudah cukup membuat Zeva paham maksud dari tatapan aneh mereka padannya.
Bangku ini. Bangku kosong yang berada di pojok ini sudah diklaim oleh seseorang. Daripada mendapat bully seperti yang mereka bisikan di sana, lebih baik Zeva mengalah dan kembali menuju kelasnya.
Namun, belum sempat Zeva benar-benar meninggalkan bangku itu, seseorang dengan lantang menggebrak meja di depannya, membuat Zeva yang baru saja bangkit dibuat berjengit dengan sepasang bola matanya yang terpejam.
“Siapa lo? Ngapain di bangku gue?” Sahutan dingin dengan nada rendah itu lantas menyapa gendang telinga Zeva.
Dengan sangat bersusah payah menelan salivanya, Zeva mulai memberanikan diri membuka kedua matanya. Dan hal pertama yang ia lihat adalah, seorang laki-laki dengan seragam olahraga acak-acakan tengah menatapnya dengan tatapan menusuk.
Demi apa pun, raut wajah cowok itu terlihat begitu tidak bersahabat. Namun, entah mengapa wajah cowok itu sedikit mengingatkannya akan seseorang yang sangat ia kenali.
Ya! Wajahnya hampir serupa, namun tatapannya serta cara berbicaranya jauh berbeda.
“Gu-gue-”
“Lo murid baru?” Selanya. Refleks Zeva mengangguk. Raut wajahnya masih begitu tegang dan laki-laki itu menyadarinya.
“Gak ada yang ngasih tahu lo gitu, kalau bangku paling pojok di kantin ini milik gue?” Tanyanya lagi. Nada suaranya terdengar sedikit lebih baik dari sebelumnya.
Zeva menggeleng pelan sebagai jawaban atas pertanyaan cowok itu padanya. Cowok yang tak lain adalah Gerald itu pun mendengus pelan, kemudian mendudukkan dirinya di bangku lain yang berhadapan dengan posisi Zeva saat ini.
“Pergi! Gue lagi gak mood berurusan sama lo.” Pungkas Gerald, kemudian meraih ponselnya yang ia taruh di dalam saku celana.
“Sorry!” Ucap Zeva pelan, sebelum pada akhirnya ia mulai pergi meninggalkan cowok mengerikan itu.
****
Helaan napas lega lantas Zeva embuskan kala gadis itu telah sepenuhnya meninggalkan kantin sekolah. Apa yang terjadi beberapa saat yang lalu benar-benar membuatnya dilanda takut. Apalagi dengan tatapan matanya yang super duper menusuk itu.
Membayangkannya saja sudah membuat Zeva bergidik ngeri.
“Padahal muka tuh cowok imut-imut gitu. Bisa-bisanya muka gak mencerminkan sifat!” Gerutu Zeva, ketika ia telah sampai di koridor kelas sebelas.
Omong-omong soal cowok yang tadi, kenapa wajahnya sedikit mirip dengan Varo?
“Astaga! Kenapa gue mikirin dia lagi, sih? Sadar, Va! Lo udah putus sama dia dua tahun yang lalu. Move on dikit, kek,” gerutunya lagi, seraya mempercepat langkah kakinya.
Ketika langkah Zeva sudah hampir menyentuh penyangga tangga, seseorang dari arah lain berjalan menerobos, sampai pada akhirnya tabrakan kecil di antara mereka tak dapat terelakan.
Keduanya sama-sama mengaduh dengan kepala yang sedikit menunduk. Tak berapa lama kemudian, Zeva dan cowok yang baru saja tidak sengaja bertabrakan dengannya itu saling mengucapkan kata ‘maaf’, lagi-lagi berucap bersamaan.
Cukup penasaran, perlahan keduanya mulai mengangkat kepala masing-masing untuk melihat siapa orang yang baru saja saling bertabrakan dengan mereka.
Namun, rasa penasaran itu lantas sirna dan berganti dengan perasaan berkecamuk yang tak seharusnya kembali mereka rasakan.
Varo? Batin Zeva tak percaya.
Ya, cowok tinggi yang saat ini berhadapan dengannya adalah Varo! Atau pemilik nama kengkap Aldevaro Wirathama. Mantan pacar sekaligus cinta pertamanya.
Demi apa pun, Zeva tidak pernah menyangka akan kembali dipertemukan dengan sosok laki-laki itu. Zeva kira, ia tidak akan bertemu dengan Varo lagi. Karena bagaimanapun, Jakarta itu luas, jadi pikirnya ia tidak akan bertemu dengan Aldevaro.
Namun nyatanya, dirinya salah!
Duhh… Gue harus ngapain, ya? Masa terus bengong gini aja? Mana dia natap gue kek punya dendam gitu, lagi! Zeva lagi-lagi membatin dengan jantungnya yang mendadak berdegup kencang.
Bodo ah!
“Va-varo? Em … Gi-gimana kabar kamu? Kamu baik-baik aja, ‘kan?”
Sial! Entah keberanian dari mana Zeva sampai-sampai melontarkan pertanyaan basa-basi itu teruntuk mantan pacarnya.
Dan lihatlah respon Varo! Cowok itu terlihat berdecih dengan pandangannya yang menusuk menatap tampilan Zeva dari atas sampai bawah.
Demi apa pun, Zeva berasa tengah ditelanjangi oleh cowok itu! Bahkan hanya sekadar ditatap seperti itu olehnya.
Bukannya membalas sapaan dari Zeva, Aldevaro malah melenggang begitu saja menaiki puluhan undakan tangga yang tak terhitung jumlahnya.
Ya! Tanpa mengatakan sepatah dua patah kata, cowok itu pergi meninggalkan sedikit perasaan kecewa di hati Zeva.
To be continue...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Anya
emang iya!
mantan lo dendam sma lo va
2023-01-29
0
Anya
sad bgtttt s zevaaaa:(
2023-01-29
0
DyanaR
so hurt
2023-01-23
1